Wednesday, April 27, 2011

SAM (9)


BAB 9

JUN Maher berdiri dengan tegang. Semuanya telah bersiap. Waktu buat mereka bergerak sudah ditentukan. Tidak bisa lagi ditawar.
     “Beny Reza menempatkan mobil utama menghadap timur di selatan jalan raya, di sudut lapangan, disebelah barat jalan masuk ke rumah target,” kata Jun Maher memberi pengarahan. “Saat target menyebrang jalan, mobil maju persis dimana target menyebrang dan Tigor menyergapnya lalu memasukan ke dalam mobil. Dan mobil Parwata di sebelah utara jalan, duapuluhmeter dibelakang mobil utama, menghadap timur. Kita akan berhenti di terminal Mandiraja dan berganti mobil. Kalau semua berjalan lancar, kita akan kembali ke base camp melewati jalan yang sama. Kalau ada masalah, kita jalankan rencana B lewat daerah Rakit.”
     “Dimana posisi Mustajab?” Tanya Warsito.
     “Mustajab dari Purwokerto akan turun di terminal Mandiraja dan menunggu kita. Ada pertanyaan?”
     “Saya lebih suka mobil utama masuk ke jalan arah rumah target,” ujar Tigor memberi pendapat. “Lalu lintas masih belum aman seratus persen.”
     “Posisi itu memang lebih aman karena tidak terlihat dari arah barat, tapi akan makan waktu lebih lama. Waktu maksimal kita adalah limabelas detik.”
     “Pastikan saja kau tidak salah menginjak rem, Beny.”
     “Oke.”     
     “Warsito, kau beri tanda kami situasi sekitarnya,” kata Jun Maher yakin. “Kami tidak mau ada orang mengganggu kami sebelum target diambil.”
     “Siap, Bos.”
     “Tidak ada kata gagal. Kita harus berhasil.” Kata Jun Maher memastikan. “Semoga Tuhan melindungi kita semua.”
     Lalu semua keluar.
     Hanya dokter Syahrial Anwar yang tinggal didalam rumah itu. Beny Reza membawa satu mobil dan Jun Maher serta Tigor Naipospos. Parwata dan Warsito Abdul Khamid berada di satu mobil lainnya dan didalam mobil mereka tersimpan semua senjata. Warsito yang membawa mobilnya. Dua mobil itu melintasi jalan aspal yang dingin.
     Hanya beberapa menit kemudian mobil sudah berada dalam posisi masing-masing. Beny Reza membuka kap mobilnya dan harus sibuk mengotak-atik seolah mogok. Jun Maher dan Tigor Naipospos diam didalam mobil. Berjarak duapuluh meter di arah baratnya, disebelah utara jalan, mobil Parwata berhenti dengan mesin mati. Warsito tegang mendengarkan suasana sekitar lewat radio dan dia mendengarkan lewat headphone.
     Jun Maher mengangkat telpon pribadinya. Seperti biasa ia berkata, “Aku sudah dalam posisi.”
     “Tiga menit lagi sampai di Serayu.” Terdengar suara Mustajab dan langsung terputus hubungan telpon itu.
     Tigor mengetuk kaca depan mobilnya untuk memberi tanda kepada Beny Reza diluar. Tapi Beny sendiri sedang menenangkan diri karena seorang lelaki separuh baya memakai kain sarung dan membawa lampu senter berjalan ke arahnya. Sudah pasti lelaki paruh baya itu akan bertanya kepada Beny dan memperhatikan mobil yang dikiranya mogok.
     “Mobilnya kenapa, Mas?” Tanya lelaki separuh baya itu.
     “Oh, hanya kehabisan air radiator Pak. Sudah selesai,” Jawab Beny sambil menutup kap mobilnya buru-buru.
     “Tidak perlu bantuan?”
     Sudah pergi saja. “Tidak, Pak. Terimakasih.”  
     Beny sudah masuk ke dalam mobilnya dan membunyikan mobilnya. Lelaki separuh baya itu dengan sendirianya pergi begitu saja. Beny mengelap keringat yang muncul di mukanya.
     “Bisnya datang,” kata Jun Maher melihat ke belakang.
     “Saya siap,Bos,” kata Beny begitu saja.
     Warsito dan Parwata bukan tidak tahu apa yang terjadi dengan Beny saat lelaki paruh baya itu datang. Parwata jauh lebih tenang. Warsito yang gelisah karena ia yakin lelaki paruh baya itu akan tetap berada didekat Beny sebelum Beny menutup kap mobilnya. Saat bis itu melewati mobil mereka, ketegangan jauh lebih merambat di kepala mereka.
     “Itu bisnya,”ujar Parwata.
     “Ya. Itu mobilnya.” Suara Warsito gemetar.
     Bis jurusan Purwokerto Semarang itu berjalan melambat dan benar-benar berhenti di seberang lapangan itu. Tidak berapa lama Abusono turun seorang diri. Lalu menunggu bis itu pergi agak jauh dan lelaki tua itu menoleh kanan kiri. Dia sempat memperhatikan mobil Jun Maher di ujung jalan. Tapi ia lebih serius melihat kanan kiri dan menyebrang jalan dengan langkah pendek. Saat jarak aspal dan tanah tinggal tiga langkah, mobil Beny Reza maju dan berhenti persis didepan Abusono. Pintu belakang terbuka dan turun Tigor dan tangan kekarnya mencengkeram Abusono dan menariknya seperti karung beras. Tidak sampai delapan detik, Abusono sudah dalam mobil Jun Maher.
     Beny Reza sudah menjalankan mobilnya dengan senormal mungkin begitu pintu tertutup. Mobil Parwata mengatur jarak sudah berjalan juga. Tidak sampai setengah menit, nampak Noor Amini keluar dari rumahnya dan berjalan ke depan rumahnya dan melihat ke arah jalan raya. Wanita itu terus berdiri disana dan kemudian berjalan ke arah jalan raya.
     Wanita itu tahu seharusnya suaminya sudah sampai di rumah. Tapi kesunyian di tempat itu tidak bisa menjawab pertanyaannya.

JUN Maher sudah memasang penutup mata ke muka Abusono. Tanpa ada omongan satu kata pun keluar dari mulut mereka. Tigor Naipospos duduk melihat ke belakang dengan tegang. Beny Reza menambah laju mobilnya. Setelah selesai mengikat tangan Abusono dengan kain, Jun Maher baru bisa bernafas lega. Sengaja dia tidak memakai borgol.
     Senyap dalam mobil itu.
     “Siapa kalian?” Abusono berkata tiba-tiba.
     Jun Maher tidak menjawabnya.
     Tigor terus melihat ke belakang dan melihat ke jam tangannya. Lalu memberi kode aman kepada Jun Maher. Setelah itu Jun Maher menepuk bahu Beny Reza sekali sebagai tanda aman. Delapan menit kemudian Beny Reza menghentikan mobil persis di samping mobil yang sudah disiapkan di terminal Mandiraja. Mustajab sudah dibelakang setir. Posisi mobil sama-sama menghadapkan pintu mobil. Jadi saat Tigor membuka pintu dan Mustajab membuka pintu dari dalam, tidak akan terlihat saat  Tigor menarik Abusono. Jun Maher mengikuti dan menutup pintunya. Tigor juga sudah menutup pintu mobil pertamanya dan kembali berada dibelakang Beny dan langsung pergi. Mustajab melihat Abusono dibelakangnya dan Jun Maher memberi kode supaya jalan. Mustajab menjalankan mobilnya.
     Mobil Parwata di luar terminal dan diam menunggu. Warsito mendengarkan pantauan udaranya dengan serius, dan dia mendadak memutuskan lain.
     “Jalankan rencana B,” kata Warsito di radio kepada Jun Maher.
     Jun Maher mendengarkan ditelinganya dengan tegang. Lalu dia menepuk bahu Mustajab dua kali. Tanpa berpikir dua kali Mustajab mengarahkan mobil keluar dari terminal dan menyebrang jalan dan masuk ke jalan kecil ke arah utara terminal.
     “Beny, tetap dengan rencana A ke base camp,” terdengar kata Warsito mengingatkan.
     “Roger,” Tigor Naipospos menjawab singkat dan menatap ke depan. “Aku tidak melihat ada gerakan lain.”
     “Mungkin bukan lawan,” jawab Beny membawa mobilnya melewati jalur semula.
      Mustajab tahu jalan yang harus dilewati. Ia lahir di kota itu dan jalan yang dilewatinya adalah jalan saat dari kecil ia lewati dengan ayahnya dengan motor. Dibelakangnya mengikuti mobil Parwata. 
     Apa yang di khawatirkan Tigor terbukti. Didepan sana, nampak berhenti mobil Polisi dan sedang mengadakan razia.
     “Warsito hebat,” bisik Tigor melihat ke arah polisi yang menghentikan mobilnya. Beny menurunkan kaca mobilnya.
     “Selamat malam, bisa lihat SIM dan STNK?”
     Beny mengeluarkannya.
     “Pak Ahmad Turmudi?” Tanya Polisi itu melihat SIM Beny Reza.
     “Ya.”
     “Anda tinggal di Jakarta Timur ya?”
     “Sesuai tertera di SIM, Pak.” Beny terus tersenyum
     “Sebentar ya.”
     Polisi itu membawa STNK dan SIM Beny ke arah mobil patrolinya. Lalu dia menjulurunkan tangannya ke dalam mobil. Tampak ada bayangan seseorang didalam mobil polisi itu.
     “Ada yang tidak beres,” Tigor berkata lirih.
     “Kita ikuti saja.”
     Polisi itu sudah kembali.
     “Maaf Pak Ahmad Turmudi, silahkan keluar. Juga teman bapak.”
     “Ada apa, Pak?”
     “Mobil yang bapak bawa adalah mobil curian.”
     Ada yang tahu operasi ini, batin Tigor keluar mobil.
     “Silahkan masuk ke bagian belakang,” kata Polisi itu masuk mobil ke belakang setir.
     Beny dan Tigor masuk mobil kembali ke belakang.
     “Kita mau dibawa kemana?” Tanya Tigor Naipospos penasaran.
     “Polres, Pak.”
     Lalu kembali ke arah timur. Juga mobil patroli polisi itu. Tidak ada lagi patroli jalan raya. Polisi hanya menghentikan mereka.
     (bersambung)

No comments: