BAB 3
DI pinggiran pedukuhan Karangsaga,
hari sudah gelap dan mendekati tengah malam. Tapi Karta dan Istrinya sedang
menuju sungai yang ada di pedukuhan itu. Sungai pedukuhan yang lebar dan airnya
tenang. Pada siang hari saja sungai itu akan menyeramkan, apalagi saat malam
hari. Itu sebabnya, istri Karta terus mengeluh. Meskipun Karta membawa obor
sambil menggandengnya.
"Apa
sih maksudnya harus mencuci kain malam-malam begini, Kang?"
"Jangan
mengeluh begitu, ini kan syarat yang diberi mbah dukun," Karta meyakinkan
istrinya. " Yang penting kita bisa punya anak."
"Iya
tapi kalau syaratnya aneh-aneh begini, masa juga kita jalani." Istri Karta
tetap ngotot. "Bukannya dapat anak, kita malah bisa dianggap gila sama
tetangga."
"Jangan
ngomel terus, kamu cuci saja kainnya."
Dengan
rasa takut yang ditahankan, Istri Karta jongkok diatas bambu-bambu yang
menjorok ke tengah sungai untuk mencuci kain-kainnya. Ia sering ke sungai itu
dan mencuci, tapi itu dilakukannya siang hari dan banyak temannya. Tapi yang ia
lakukan sekarang adalah syarat dari dukun yang membantunya untuk bisa mempunyai
anak. Mereka sudah menikah lebih dari lima tahun tapi belum juga dikarunia
seorang anak pun. Mereka sudah berobat ke dukun mana saja dan menuruti semua
syarat-syarat anehnya. Tapi hasilnya masih tidak ada. Sampai kepada dukun yang
terakhir ini, yang menyarankannya untuk mencuci semua kain yang dipakainya saat
tengah malam menjelang.
Istri
Karta menjerit tertahan.
Karta sigap
memeganginya. "Ada apa, Nyai?"
"Sepertinya
ada sesuatu di air, kang," kata Istri Karta menunjuk ke arah tengah air.
Karta
melihat ke arah air yang nampak tenang. "Tidak ada apa-apa."
"Aku
takut, Kang."
"Tidak
ada apa-apa."
Istri
Karta jongkok lagi. Tapi belum juga sempurna duduknya, dari dalam air muncul
kepala seekor buaya besar dengan mulutnya yang menganga lebar dan bergigi
runcing. Istri Karta menjerit di kerongkongan. Dalam kedipan mata, buaya besar
itu sudah mencaplok kepala istri Karta dan menariknya ke dalam air sungai yang
gelap. Karta bukannya tidak tahu ada seekor buaya muncul, tapi ia terlambat
melakukan sesuatu untuk menolong istrinya. Kekagetannya membuat refleknya tidak
muncul seketika. Ia baru bergerak ketika istrinya telah lenyap didepan mata
kepalanya sendiri. Lenyap ditelan buaya sungai.
Karta menjerit dan
menangis.
Ia seorang laki-laki,
tapi apa yang dilihat didepan matanya adalah kejadian yang memilukan hatinya.
Segarang apapun laki-laki, tapi melihat besarnya buaya itu, pasti akan
ketakutan juga. Karta harus menangis. Menangis ketakutan dan
ketidakberdayaannya untuk menolong istrinya. Dan kata yang terakhir ia ucapkan
adalah, " Ya Allah….!"
***
Penduduk pedukuhan
Karangsaga berdatangan ke halaman kelurahan.
Bahkan bukan hanya
penduduk Karangsaga, tapi dari beberapa pedukuhan tetangga. Nampak juga
beberapa pendekar yang entah datang dari mana asalnya. Ki Lurah Warno sebagai
pemimpin tertinggi pedukuhan mempunyai tanggung jawab atas keselamatan
warganya. Memang ada Jagabaya sebagai kepala keamanan pedukuhan. Tapi yang
terjadi di Karangsaga sekarang bukan kejadian biasa. Menghadapi buaya yang
begitu besar bukanlah pekerjaan para penduduk yang kebanyakan sebagai petani.
Ini sudah harus melibatkan orang yang mempunyai ilmu kanuragan tinggi. Itulah
sebabnya, setelah Ki Lurah Warno bermusyawarah dengan para tetua pedukuhan,
akhirnya diambil keputusan untuk mengadakan sayembara.
Biasanya
sebuah sayembara akan memberikan hadiah yang begitu menggiurkan. Hadiah
terbesar dari sayembara adalah seorang gadis yang akan dikawinkan apabila
seorang peserta sayembara memenangkannya. Hal itu yang menyebabkan kebanyakan
peserta adalah laki-laki dan hampir tidak pernah ada peserta sayembara
perempuan.
“Saudara-saudara,
pedukuhan Karangsaga sekarang berada dalam keadaan bahaya karena ulah buaya
sungai yang terus membuat kita tidak bisa tidur,” Ki Lurah Warno memulai
pidatonya dihadapan ratusan orang yang memadati halaman kelurahan. “Saya
sebagai pemimpin disini mengumumkan sayembara. Barangsiapa yang mampu membunuh
buaya sungai itu, kalau perempuan akan saya angkat sebagai anak, dan kalau
laki-laki saya akan jadikan menantu saya, menikah dengan Roro Anteng.”
Setelah
itu muncul seorang gadis yang belum genap berusia duapuluh tahun, berkulit
bersih dan berwajah manis dengan rambut panjang. Nampak lebih dewasa daripada
umurnya. Ki Lurah Warno merangkul gadis itu.
“Inilah
Roro Anteng anak saya.”
Untuk
warga pedukuhan Karangsaga, Roro Anteng adalah gadis yang istimewa. Bukan hanya
karena memang cantik secara fisik, akan tetapi juga karena ia anak lurah.
Sebuah jabatan paling tinggi di pedukuhan. Menjadi menantu ki lurah berarti
menaikkan derajat kehidupannya. Baik moril maupun materiil. Bagi pendatang
menjadi kebanggaan bukan main. Bahkan ibarat mimpi menjadi kenyataan.
Seorang
pemuda yang membawa sebuah tombak maju ke depan. Bajunya menunjukkan sebagai
seorang pendekar. “Saya akan bawa buaya itu sore ini juga, Ki Lurah!”
Semua
orang menoleh kepada pemuda itu.
“Nama
saya Tunggul, dari lembah Serayu.”
“Kau
datang dari jauh, anak muda. Apa tidak lebih baik istirahat lebih dulu?”
“Saya
tidak sabar menjadi menantumu, Ki Lurah!” Mata Tunggul menatap kepada Roro
Anteng dengan penuh birahi.
“Baiklah
kalau kau memaksa.”
Tunggul
kemudian berbalik pergi meninggalkan kerumunan penduduk itu. Seperti mempunyai
daya tarik, hampir semua penduduk mengikuti pemuda itu pergi. Tujuannya pasti
hanya menuju sungai dimana terdapat buaya pemangsa manusia itu. Dari semua
orang-orang yang berkumpul di halaman itu, hanya Tunggul yang bicara lantang.
Masih ada beberapa pendekar yang lain, tapi mereka lebih banyak berdiam diri.
Bagi
warga pedukuhan Karangsaga, sungai yang mengalir di pedukuhan mereka adalah
sumber kehidupan. Disamping untuk mengairi sawah-sawah, sungai juga diambil
pasirnya, diambil batunya dan diambil ikannya. Semua bermanfaat. Tapi sejak
munculnya buaya pemangsa, semua kegiatan warga di sungai itu berhenti sendiri.
Setiap anak dicegah bermain oangtuanya di sungai. Setiap perempuan tidak berani
lagi mencuci dan mandi di sungai. Setiap laki-laki tidak lagi berani mengambil
pasir di sungai. Sampai kepada kejadian yang menggembarkan warga saat istri
Karta menjadi korban terakhir keganasan buaya sungai itu.
(bersambung)