Friday, November 30, 2012

MAS KAREBET 3

 BAB 3



DI pinggiran pedukuhan Karangsaga, hari sudah gelap dan mendekati tengah malam. Tapi Karta dan Istrinya sedang menuju sungai yang ada di pedukuhan itu. Sungai pedukuhan yang lebar dan airnya tenang. Pada siang hari saja sungai itu akan menyeramkan, apalagi saat malam hari. Itu sebabnya, istri Karta terus mengeluh. Meskipun Karta membawa obor sambil menggandengnya.
     "Apa sih maksudnya harus mencuci kain malam-malam begini, Kang?"
     "Jangan mengeluh begitu, ini kan syarat yang diberi mbah dukun," Karta meyakinkan istrinya. " Yang penting kita bisa punya anak."
     "Iya tapi kalau syaratnya aneh-aneh begini, masa juga kita jalani." Istri Karta tetap ngotot. "Bukannya dapat anak, kita malah bisa dianggap gila sama tetangga."
     "Jangan ngomel terus, kamu cuci saja kainnya."
     Dengan rasa takut yang ditahankan, Istri Karta jongkok diatas bambu-bambu yang menjorok ke tengah sungai untuk mencuci kain-kainnya. Ia sering ke sungai itu dan mencuci, tapi itu dilakukannya siang hari dan banyak temannya. Tapi yang ia lakukan sekarang adalah syarat dari dukun yang membantunya untuk bisa mempunyai anak. Mereka sudah menikah lebih dari lima tahun tapi belum juga dikarunia seorang anak pun. Mereka sudah berobat ke dukun mana saja dan menuruti semua syarat-syarat anehnya. Tapi hasilnya masih tidak ada. Sampai kepada dukun yang terakhir ini, yang menyarankannya untuk mencuci semua kain yang dipakainya saat tengah malam menjelang.
     Istri Karta menjerit tertahan.
Karta sigap memeganginya. "Ada apa, Nyai?"
     "Sepertinya ada sesuatu di air, kang," kata Istri Karta menunjuk ke arah tengah air.
     Karta melihat ke arah air yang nampak tenang. "Tidak ada apa-apa."
     "Aku takut, Kang."
     "Tidak ada apa-apa."
     Istri Karta jongkok lagi. Tapi belum juga sempurna duduknya, dari dalam air muncul kepala seekor buaya besar dengan mulutnya yang menganga lebar dan bergigi runcing. Istri Karta menjerit di kerongkongan. Dalam kedipan mata, buaya besar itu sudah mencaplok kepala istri Karta dan menariknya ke dalam air sungai yang gelap. Karta bukannya tidak tahu ada seekor buaya muncul, tapi ia terlambat melakukan sesuatu untuk menolong istrinya. Kekagetannya membuat refleknya tidak muncul seketika. Ia baru bergerak ketika istrinya telah lenyap didepan mata kepalanya sendiri. Lenyap ditelan buaya sungai.
Karta menjerit dan menangis.
Ia seorang laki-laki, tapi apa yang dilihat didepan matanya adalah kejadian yang memilukan hatinya. Segarang apapun laki-laki, tapi melihat besarnya buaya itu, pasti akan ketakutan juga. Karta harus menangis. Menangis ketakutan dan ketidakberdayaannya untuk menolong istrinya. Dan kata yang terakhir ia ucapkan adalah, " Ya Allah….!"
***
Penduduk pedukuhan Karangsaga berdatangan ke halaman kelurahan.
Bahkan bukan hanya penduduk Karangsaga, tapi dari beberapa pedukuhan tetangga. Nampak juga beberapa pendekar yang entah datang dari mana asalnya. Ki Lurah Warno sebagai pemimpin tertinggi pedukuhan mempunyai tanggung jawab atas keselamatan warganya. Memang ada Jagabaya sebagai kepala keamanan pedukuhan. Tapi yang terjadi di Karangsaga sekarang bukan kejadian biasa. Menghadapi buaya yang begitu besar bukanlah pekerjaan para penduduk yang kebanyakan sebagai petani. Ini sudah harus melibatkan orang yang mempunyai ilmu kanuragan tinggi. Itulah sebabnya, setelah Ki Lurah Warno bermusyawarah dengan para tetua pedukuhan, akhirnya diambil keputusan untuk mengadakan sayembara.
     Biasanya sebuah sayembara akan memberikan hadiah yang begitu menggiurkan. Hadiah terbesar dari sayembara adalah seorang gadis yang akan dikawinkan apabila seorang peserta sayembara memenangkannya. Hal itu yang menyebabkan kebanyakan peserta adalah laki-laki dan hampir tidak pernah ada peserta sayembara perempuan.
     “Saudara-saudara, pedukuhan Karangsaga sekarang berada dalam keadaan bahaya karena ulah buaya sungai yang terus membuat kita tidak bisa tidur,” Ki Lurah Warno memulai pidatonya dihadapan ratusan orang yang memadati halaman kelurahan. “Saya sebagai pemimpin disini mengumumkan sayembara. Barangsiapa yang mampu membunuh buaya sungai itu, kalau perempuan akan saya angkat sebagai anak, dan kalau laki-laki saya akan jadikan menantu saya, menikah dengan Roro Anteng.”
     Setelah itu muncul seorang gadis yang belum genap berusia duapuluh tahun, berkulit bersih dan berwajah manis dengan rambut panjang. Nampak lebih dewasa daripada umurnya. Ki Lurah Warno merangkul gadis itu.
     “Inilah Roro Anteng anak saya.”
     Untuk warga pedukuhan Karangsaga, Roro Anteng adalah gadis yang istimewa. Bukan hanya karena memang cantik secara fisik, akan tetapi juga karena ia anak lurah. Sebuah jabatan paling tinggi di pedukuhan. Menjadi menantu ki lurah berarti menaikkan derajat kehidupannya. Baik moril maupun materiil. Bagi pendatang menjadi kebanggaan bukan main. Bahkan ibarat mimpi menjadi kenyataan.
     Seorang pemuda yang membawa sebuah tombak maju ke depan. Bajunya menunjukkan sebagai seorang pendekar. “Saya akan bawa buaya itu sore ini juga, Ki Lurah!”
     Semua orang menoleh kepada pemuda itu.
     “Nama saya Tunggul, dari lembah Serayu.”
     “Kau datang dari jauh, anak muda. Apa tidak lebih baik istirahat lebih dulu?”
     “Saya tidak sabar menjadi menantumu, Ki Lurah!” Mata Tunggul menatap kepada Roro Anteng dengan penuh birahi.
     “Baiklah kalau kau memaksa.”
     Tunggul kemudian berbalik pergi meninggalkan kerumunan penduduk itu. Seperti mempunyai daya tarik, hampir semua penduduk mengikuti pemuda itu pergi. Tujuannya pasti hanya menuju sungai dimana terdapat buaya pemangsa manusia itu. Dari semua orang-orang yang berkumpul di halaman itu, hanya Tunggul yang bicara lantang. Masih ada beberapa pendekar yang lain, tapi mereka lebih banyak berdiam diri.
     Bagi warga pedukuhan Karangsaga, sungai yang mengalir di pedukuhan mereka adalah sumber kehidupan. Disamping untuk mengairi sawah-sawah, sungai juga diambil pasirnya, diambil batunya dan diambil ikannya. Semua bermanfaat. Tapi sejak munculnya buaya pemangsa, semua kegiatan warga di sungai itu berhenti sendiri. Setiap anak dicegah bermain oangtuanya di sungai. Setiap perempuan tidak berani lagi mencuci dan mandi di sungai. Setiap laki-laki tidak lagi berani mengambil pasir di sungai. Sampai kepada kejadian yang menggembarkan warga saat istri Karta menjadi korban terakhir keganasan buaya sungai itu.
(bersambung)

No comments: