Ia sedang membersihkan popor
senapan ketika handphone-nya berbunyi. Seperti biasa ia segera membaca
pesannya. Isinya juga biasa: ada deal jam lima. Janji rutin, pekerjaan
rutin. Ia kembali melanjutkan pekerjaan membersihkan popor, lalu diteruskan
membersihkan laras dan terakhir membersihkan teleskopnya. Benda itulah yang
selalu memberinya pekerjaan tetap sebagai penembak jitu bayaran.
Ia selalu menonton film-film Amerika yang
mempertontonkan kehebatan pasukan SWAT atau para sniper-nya. Ia juga
menyukai film jenis spionase dan film James Bond adalah kesukaannya. Saya
merasa dunia saya adalah dunia eksklusif. Ia telah dilatih dengan
berbagai keahlian ketika dulu menjadi anggauta pasukan khusus. Ia dituntut bisa
menghadapi lawan yang paling tangguh sekalipun. Ia bangga dengan pekerjaan yang
langka ini. Banyak teman-temannya setelah keluar dari dinas militer melakukan
pekerjaan seperti dirinya. Ia tidak punya pesangon dan ia juga tidak bisa
membiarkan dirinya kelaparan karena tidak punya pekerjaan. Rasanya juga
menyedihkan dirinya yang dilatih menjadi mesin pembunuh, tidak bisa mencari
makan dengan layak. Sampai kepada kebulatan tekadnya untuk menjadi pembunuh
bayaran.
Entah sudah berapa ratus nyawa melayang dari
bidikan senapannya. Jam terbangnya boleh dibilang spektakuler. Tapi ia tidak
pernah mencatatkan dalam buku setiap order yang diterimanya. Ia
melakukan pekerjaan, bukan hobby yang lebih banyak unsur
kesenangannya. Tugas terakhirnya adalah di Aceh selama beberapa bulan, sampai
ia diperintahkan kembali setelah diberlakukannya Undang-Undang Otonomi
Khusus Nangroe Aceh Darussalam.
Beberapa waktu setelah pulang dari Aceh, ia merasa muak dengan pekerjaannya.
Seperti dulu setelah ia bertugas di Timor Timur sebagai serdadu dan terlibat
dalam operasi khusus menumpas pemberontak bersenjata. Sampai ia memutuskan desersi. Apa yang dilakukannya di Aceh, tidak
berbeda dengan yang dilakukannya di Timor Timur. Tapi sekarang ia tidak
berpikir untuk pensiun dari pekerjaannya.
Ia pernah ditawari bekerja tetap sebagai
pengawal pribadi seorang konglomerat yang sedang tersangkut masalah korupsi.
Bayarannya gede dan diberi berbagai fasilitas.Tapi ia menolaknya. Ia lebih suka
bekerja freelance. Tidak terikat oleh aturan apapun karena ia tidak
suka diatur. Ia menikmati hidup sendiri tanpa dipusingkan dengan berbagai
masalah keseharian seperti dalam sebuah keluarga. Makanya ia tidak berpikir
untuk beristri. Sedangkan orangtua dan
saudaranya yang hampir semuanya berada di Sumatra, hanya mengetahui ia
bekerja di sebuah perusahaan cleaning service. Tapi ia merasa memang
itulah pekerjaannya. Ia hanya tukang membersihkan. Ia menerima order, melakukan
pekerjaan dan menerima bayaran.
Ia masuk barbershop itu. Pemiliknya
sedang membersihkan lantai dari gumpalan rambut yang berserakan bekas orang
memotong rambut. Terdengar musik jazz mengalun. Dari dulu ia berpikir kalau
selera pemilik barbershop ini tinggi juga. Biasanya tukang cukur berasal dari
tanah Sunda dan musik yang selalu di dengarnya musik Sunda. Tapi ini jazz. Penikmat jazz biasanya kalangan
tertentu. Orang yang merasa hidupnya telah mapan dan untuk itu membutuhkan
musik yang bisa menenangkan jiwanya. Lembut dan tidak mendayu-dayu. Tempatnyapun
harus tertentu. Di café atau ruang-ruang khusus. Begitulah jazz.
Tapi ia sedang tidak begitu peduli dengan
jazz, karena ia memang tidak menyukai musik jazz. Ia duduk disebelah laki-laki
botak berkumis yang sedang membaca koran sore yang menyajikan headline: PAPUA TENANG
SETELAH KUNJUNGAN PRESIDEN. Ia menyalakan sebatang rokoknya dan begitu saja
bicara, "Aku ada permintaan."
"Katakan saja."
"Ada yang mau aku bicarakan."
"Biasanya kamu ambil amplop dan terus
pergi. Tidak pernah bicara."
"Tapi sekarang aku mau bicara."
"Disini saja."
"Aku mau ditempat sepi."
"Disini juga sepi."
Ia mendengus. "Aku butuh surat
ijin."
"Surat ijin apa?"
"Surat ijin membunuh."
Laki-laki botak berkumis itu menurunkan
korannya. Jidatnya yang bersinar itu berkerut-kerut seperti lipatan kertas.
"Mana ada surat seperti itu."
"Selalu ada."
"Buat apa."
"Semua sedang berubah.”
“Tidak ada yang berubah.”
“Semua bisa di sentuh sekarang. Aku tidak
mau mati konyol.”
“Tidak
ada surat begituan.”
"Bapak kan tinggal minta."
"Sinting."
Laki-laki botak berkumis itu pergi dengan
dongkol. Tapi ia tak peduli. Ia membuka laci meja disampingnya dan mengambil
amplop besar dan segera ngeloyor pergi. Lalu jalan-jalan mencari makan malam.
Setelah itu ia harus mencari film baru. Ia tidak pernah menonton film di
bioskop tapi selalu membeli DVD. Hanya itu kesenangan yang bisa didapatkannya.
Ia bisa saja pergi ke bar dan minum atau ke tempat pelacuran untuk menyalurkan
hasrat seksualnya. Tapi ia tidak mau melakukan pekerjaan paling bodoh yang bisa
dilakukan manusia itu. Ia memang
bukan orang suci, tapi ia harus selalu terus menerus waspada menjaga diri
karena nyawanya setiap saat bisa terancam oleh musuh-musuhnya atau orang-orang
yang tahu siapa dirinya sesungguhnya.
Makanya sekarang ia sangat membutuhkan surat
ijin membunuh itu. Ia akan berangkat ke Papua. Paling tidak, ia bisa
menjalankan pekerjaannya dengan lebih tenang dengan surat itu ditangannya.
Seperti halnya James Bond. Ya, hanya James Bond 007 yang mempunyai ijin
membunuh. Bahkan agen CIA atau Mossad atau KGB tidak ada yang mengantongi ijin
itu. Sekarang kalau ia berhasil mendapatkan surat ijin itu, maka ia orang kedua
didunia yang mempunyai ijin membunuh. Bahkan mungkin pertama didunia karena ia
dilengkapi dengan surat yang menandakan sahnya pekerjaan yang dilakukannya.
Sesampai di rumah, ia buka amplop besar itu
sambil menyalakan televisi yang menayangkan acara berita. Isi amplopnya
bertambah satu. Biasanya berisi kertas kerja dan foto-foto, tapi sekarang tiket
pesawat sudah dipersiapkan dengan tujuan Papua. Di televisi seorang pembawa
berita yang cantik berambut pendek
berkacamata dengan suara merdu berkata, "Kunjungan Presiden ke Papua
diharapkan mampu mempercepat proses penyelesaian konflik di wilayah itu,
termasuk sekembalinya Presiden ke Jakarta….."
Handphone-nya berbunyi, di bacanya sms: Datanglah
jam sebelas di Jaksa. Rupanya permintaaannya sangat cepat di proses.
Barangkali karena pekerjaan yang akan dilakukannya sangat serius kali ini. Ia
mematikan televisi yang sedang menayangkan berita tewasnya seorang Kapolsek dan
anggota-nya yang di bunuh oleh kelompok yang tidak diketahui. Ia segera mencari
taksi karena ingin segera sampai. Biasanya ia berjalan kaki. Disamping lebih
aman, juga bisa menjadikannya sebagai olahraga sehat.
Ia minta berhenti di ujung jalan Jaksa dan
meneruskannya dengan jalan kaki. Jalanan sudah sepi. Hanya beberapa orang
nongkrong di warung rokok. Beberapa bule masih terlihat jalan-jalan.
Ia masuk ke sebuah café. Hanya ada beberapa orang bule yang sedang
minum bir. Ia melihat laki-laki botak berkumis yang duduk sendiri di sudut
ruangan sedang merokok dan didepannya ada sebotol bir lokal. Ia tidak pernah
melihat laki-laki botak berkumis itu merokok. Wajahnya kelihatan tegang.
Baru saja ia duduk, laki-laki botak berkumis
itu sudah bicara, "Permintaanmu ditolak."
"Aku juga menolak order itu."
"Kamu tahu risikonya kalau
menentang."
"Makanya berikan saja surat itu."
"Jaga suaramu."
"Biarin saja. Bagaimana?"
"Mana ada surat begituan di dunia
ini."
"James Bond punya."
"Itu kan cuma film."
"Anggap saja kita sedang main
film."
"Dasar gila."
Laki-laki botak berkumis itu pergi dengan
geram. Tapi ia tak peduli. Ia merasa harus aman dan tenang menjalankan
pekerjaannya. Setelah minum susu panas, ia segera pulang dan tidur.
***
Seperti biasa, jam setengah lima bangun,
berolahraga, memasak, nonton berita di televisi, mandi dan sarapan pagi sambil
menunggu handphone-nya berbunyi. Tapi handphone-nya tidak berbunyi sampai jam
sembilan. Meskipun begitu ia tetap berkemas. Hari ini ia harus berangkat ke
Papua sesuai tiketnya. Kalau sampai batas waktu ia berangkat surat ijin
membunuh belum juga diterimanya, ia tetap tidak berangkat. Apapun yang terjadi,
ia akan menolak pekerjaannya kali ini. Bahkan mungkin ia akan berpikir untuk
pensiun. Tapi pasti akan merepotkan kalau ia berhenti dari pekerjaannya. Banyak
pihak yang akan memburunya sebagai musuh. Makanya ia selalu menyimpan uang
hasil pekerjannya agar suatu saat bisa hidup di suatu tempat yang tidak bisa
disentuh oleh orang-orang yang pernah disakitinya.
Handphone-nya berbunyi: Aku tunggu di
tempat biasa. Ia melihat jam dan masih tersisa beberapa jam sebelum pesawat
berangkat ke Poso. Ia segera ke barbershop dan laki-laki botak
berkumis itu sudah menunggunya. Begitu ia duduk, laki-laki botak berkumis itu
menyodorkan amplop.
"Ini suratnya."
Ia membukanya dan membacanya. "Kenapa
tidak ada tandatangan sama stempelnya?"
"Kalau mau, teken kamu saja."
"Berarti tidak resmi dong."
"Yang penting kan itu surat ijin
membunuh."
"Kalu begitu aku tidak mau."
"Ini perintah."
"Ini pasti main-main."
"Apalah namanya."
"Bapak saja yang teken."
"Mana aku berani." Laki-laki botak
berkumis itu berdiri. "Nanti kamu ketinggalan pesawat." Ia segera
menghilang dibalik pintu.
Ia membacanya sekali lagi. Isinya meyakinkan
dan memang seperti sangat resmi sebagai surat ijin membunuh. Tapi tidak ada
satupun tanda yang membuatnya yakin kalau surat itu sah. Seperti tanda tangan
dan stempel, seperti biasa surat ijin dibuat. Ia mulai ragu untuk melakukan
pekerjaannya. Bisa saja ia membuat stempel dan tanda tangan palsu, tapi
bukankah justru itu yang membuat surat itu kelihatan tidak sahnya. Ia segera
pulang dan mengambil barangnya. Berangkat ke bandara sambil mendengarkan musik
jazz lewat walkman. Enak juga musik jazz, pikirnya.
***
No comments:
Post a Comment