Wednesday, November 28, 2012

SURAT IJIN MEMBUNUH


Ia sedang membersihkan popor senapan ketika handphone-nya berbunyi. Seperti biasa ia segera membaca pesannya. Isinya juga biasa: ada deal jam lima. Janji rutin, pekerjaan rutin. Ia kembali melanjutkan pekerjaan membersihkan popor, lalu diteruskan membersihkan laras dan terakhir membersihkan teleskopnya. Benda itulah yang selalu memberinya pekerjaan tetap sebagai penembak jitu bayaran.
     Ia selalu menonton film-film Amerika yang mempertontonkan kehebatan pasukan SWAT atau para sniper-nya. Ia juga menyukai film jenis spionase dan film James Bond adalah kesukaannya. Saya merasa dunia saya adalah dunia eksklusif. Ia telah dilatih dengan berbagai keahlian ketika dulu menjadi anggauta pasukan khusus. Ia dituntut bisa menghadapi lawan yang paling tangguh sekalipun. Ia bangga dengan pekerjaan yang langka ini. Banyak teman-temannya setelah keluar dari dinas militer melakukan pekerjaan seperti dirinya. Ia tidak punya pesangon dan ia juga tidak bisa membiarkan dirinya kelaparan karena tidak punya pekerjaan. Rasanya juga menyedihkan dirinya yang dilatih menjadi mesin pembunuh, tidak bisa mencari makan dengan layak. Sampai kepada kebulatan tekadnya untuk menjadi pembunuh bayaran.
     Entah sudah berapa ratus nyawa melayang dari bidikan senapannya. Jam terbangnya boleh dibilang spektakuler. Tapi ia tidak pernah mencatatkan dalam buku setiap order yang diterimanya. Ia melakukan pekerjaan, bukan hobby yang lebih banyak unsur kesenangannya. Tugas terakhirnya adalah di Aceh selama beberapa bulan, sampai ia diperintahkan kembali setelah diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Khusus  Nangroe Aceh Darussalam. Beberapa waktu setelah pulang dari Aceh, ia merasa muak dengan pekerjaannya. Seperti dulu setelah ia bertugas di Timor Timur sebagai serdadu dan terlibat dalam operasi khusus menumpas pemberontak bersenjata. Sampai ia memutuskan desersi.  Apa yang dilakukannya di Aceh, tidak berbeda dengan yang dilakukannya di Timor Timur. Tapi sekarang ia tidak berpikir untuk pensiun dari pekerjaannya.
     Ia pernah ditawari bekerja tetap sebagai pengawal pribadi seorang konglomerat yang sedang tersangkut masalah korupsi. Bayarannya gede dan diberi berbagai fasilitas.Tapi ia menolaknya. Ia lebih suka bekerja freelance. Tidak terikat oleh aturan apapun karena ia tidak suka diatur. Ia menikmati hidup sendiri tanpa dipusingkan dengan berbagai masalah keseharian seperti dalam sebuah keluarga. Makanya ia tidak berpikir untuk beristri. Sedangkan orangtua dan  saudaranya yang hampir semuanya berada di Sumatra, hanya mengetahui ia bekerja di sebuah perusahaan cleaning service. Tapi ia merasa memang itulah pekerjaannya. Ia hanya tukang membersihkan. Ia menerima order, melakukan pekerjaan dan menerima bayaran.
     Ia masuk barbershop itu. Pemiliknya sedang membersihkan lantai dari gumpalan rambut yang berserakan bekas orang memotong rambut. Terdengar musik jazz mengalun. Dari dulu ia berpikir kalau selera pemilik barbershop ini tinggi juga. Biasanya tukang cukur berasal dari tanah Sunda dan musik yang selalu di dengarnya musik Sunda. Tapi ini jazz.  Penikmat jazz biasanya kalangan tertentu. Orang yang merasa hidupnya telah mapan dan untuk itu membutuhkan musik yang bisa menenangkan jiwanya. Lembut dan tidak mendayu-dayu. Tempatnyapun harus tertentu. Di café atau ruang-ruang khusus. Begitulah jazz.
     Tapi ia sedang tidak begitu peduli dengan jazz, karena ia memang tidak menyukai musik jazz. Ia duduk disebelah laki-laki botak berkumis yang sedang membaca koran sore yang menyajikan headline: PAPUA TENANG SETELAH KUNJUNGAN PRESIDEN. Ia menyalakan sebatang rokoknya dan begitu saja bicara, "Aku ada permintaan."
     "Katakan saja."
     "Ada yang mau aku bicarakan."
     "Biasanya kamu ambil amplop dan terus pergi. Tidak pernah bicara." 
     "Tapi sekarang aku mau bicara."
     "Disini saja."
     "Aku mau ditempat sepi."
     "Disini juga sepi."
     Ia mendengus. "Aku butuh surat ijin."
     "Surat ijin apa?"
     "Surat ijin membunuh."
     Laki-laki botak berkumis itu menurunkan korannya. Jidatnya yang bersinar itu berkerut-kerut seperti lipatan kertas. "Mana ada surat seperti itu."
     "Selalu ada."
     "Buat apa."
     "Semua sedang berubah.”
     “Tidak ada yang berubah.”
     “Semua bisa di sentuh sekarang. Aku tidak mau mati konyol.”
      “Tidak ada surat begituan.”
     "Bapak kan tinggal minta."
     "Sinting."
     Laki-laki botak berkumis itu pergi dengan dongkol. Tapi ia tak peduli. Ia membuka laci meja disampingnya dan mengambil amplop besar dan segera ngeloyor pergi. Lalu jalan-jalan mencari makan malam. Setelah itu ia harus mencari film baru. Ia tidak pernah menonton film di bioskop tapi selalu membeli DVD. Hanya itu kesenangan yang bisa didapatkannya. Ia bisa saja pergi ke bar dan minum atau ke tempat pelacuran untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Tapi ia tidak mau melakukan pekerjaan paling bodoh yang bisa dilakukan manusia itu. Ia  memang bukan orang suci, tapi ia harus selalu terus menerus waspada menjaga diri karena nyawanya setiap saat bisa terancam oleh musuh-musuhnya atau orang-orang yang tahu siapa dirinya sesungguhnya.
     Makanya sekarang ia sangat membutuhkan surat ijin membunuh itu. Ia akan berangkat ke Papua. Paling tidak, ia bisa menjalankan pekerjaannya dengan lebih tenang dengan surat itu ditangannya. Seperti halnya James Bond. Ya, hanya James Bond 007 yang mempunyai ijin membunuh. Bahkan agen CIA atau Mossad atau KGB tidak ada yang mengantongi ijin itu. Sekarang kalau ia berhasil mendapatkan surat ijin itu, maka ia orang kedua didunia yang mempunyai ijin membunuh. Bahkan mungkin pertama didunia karena ia dilengkapi dengan surat yang menandakan sahnya pekerjaan yang dilakukannya.
     Sesampai di rumah, ia buka amplop besar itu sambil menyalakan televisi yang menayangkan acara berita. Isi amplopnya bertambah satu. Biasanya berisi kertas kerja dan foto-foto, tapi sekarang tiket pesawat sudah dipersiapkan dengan tujuan Papua. Di televisi seorang pembawa berita  yang cantik berambut pendek berkacamata dengan suara merdu berkata, "Kunjungan Presiden ke Papua diharapkan mampu mempercepat proses penyelesaian konflik di wilayah itu, termasuk sekembalinya Presiden ke Jakarta….."
     Handphone-nya berbunyi, di bacanya sms: Datanglah jam sebelas di Jaksa. Rupanya permintaaannya sangat cepat di proses. Barangkali karena pekerjaan yang akan dilakukannya sangat serius kali ini. Ia mematikan televisi yang sedang menayangkan berita tewasnya seorang Kapolsek dan anggota-nya yang di bunuh oleh kelompok yang tidak diketahui. Ia segera mencari taksi karena ingin segera sampai. Biasanya ia berjalan kaki. Disamping lebih aman, juga bisa menjadikannya sebagai olahraga sehat.
     Ia minta berhenti di ujung jalan Jaksa dan meneruskannya dengan jalan kaki. Jalanan sudah sepi. Hanya beberapa orang nongkrong di warung rokok. Beberapa bule masih terlihat jalan-jalan. Ia masuk ke sebuah café. Hanya ada beberapa orang bule yang sedang minum bir. Ia melihat laki-laki botak berkumis yang duduk sendiri di sudut ruangan sedang merokok dan didepannya ada sebotol bir lokal. Ia tidak pernah melihat laki-laki botak berkumis itu merokok. Wajahnya kelihatan tegang.
     Baru saja ia duduk, laki-laki botak berkumis itu sudah bicara, "Permintaanmu ditolak."
     "Aku juga menolak order itu."
     "Kamu tahu risikonya kalau menentang."
     "Makanya berikan saja surat itu."
     "Jaga suaramu."
     "Biarin saja. Bagaimana?"
     "Mana ada surat begituan di dunia ini."
     "James Bond punya."
     "Itu kan cuma film."
     "Anggap saja kita sedang main film."
     "Dasar gila."
     Laki-laki botak berkumis itu pergi dengan geram. Tapi ia tak peduli. Ia merasa harus aman dan tenang menjalankan pekerjaannya. Setelah minum susu panas, ia segera pulang dan tidur.
***
     Seperti biasa, jam setengah lima bangun, berolahraga, memasak, nonton berita di televisi, mandi dan sarapan pagi sambil menunggu handphone-nya berbunyi. Tapi handphone-nya tidak berbunyi sampai jam sembilan. Meskipun begitu ia tetap berkemas. Hari ini ia harus berangkat ke Papua sesuai tiketnya. Kalau sampai batas waktu ia berangkat surat ijin membunuh belum juga diterimanya, ia tetap tidak berangkat. Apapun yang terjadi, ia akan menolak pekerjaannya kali ini. Bahkan mungkin ia akan berpikir untuk pensiun. Tapi pasti akan merepotkan kalau ia berhenti dari pekerjaannya. Banyak pihak yang akan memburunya sebagai musuh. Makanya ia selalu menyimpan uang hasil pekerjannya agar suatu saat bisa hidup di suatu tempat yang tidak bisa disentuh oleh orang-orang yang pernah disakitinya.
     Handphone-nya berbunyi: Aku tunggu di tempat biasa. Ia melihat jam dan masih tersisa beberapa jam sebelum pesawat berangkat ke Poso. Ia segera ke barbershop dan laki-laki botak berkumis itu sudah menunggunya. Begitu ia duduk, laki-laki botak berkumis itu menyodorkan amplop.
     "Ini suratnya."
     Ia membukanya dan membacanya. "Kenapa tidak ada tandatangan sama stempelnya?"
     "Kalau mau, teken kamu saja."
     "Berarti tidak resmi dong."
     "Yang penting kan itu surat ijin membunuh."
     "Kalu begitu aku tidak mau."
     "Ini perintah."
     "Ini pasti main-main."
     "Apalah namanya."
     "Bapak saja yang teken."
     "Mana aku berani." Laki-laki botak berkumis itu berdiri. "Nanti kamu ketinggalan pesawat." Ia segera menghilang dibalik pintu.
     Ia membacanya sekali lagi. Isinya meyakinkan dan memang seperti sangat resmi sebagai surat ijin membunuh. Tapi tidak ada satupun tanda yang membuatnya yakin kalau surat itu sah. Seperti tanda tangan dan stempel, seperti biasa surat ijin dibuat. Ia mulai ragu untuk melakukan pekerjaannya. Bisa saja ia membuat stempel dan tanda tangan palsu, tapi bukankah justru itu yang membuat surat itu kelihatan tidak sahnya. Ia segera pulang dan mengambil barangnya. Berangkat ke bandara sambil mendengarkan musik jazz lewat walkman. Enak juga musik jazz, pikirnya.
***


    



No comments: