BAB 2
SEBELUM benar-benar meninggalkan
bukit Telomoyo, Karebet hendak berpamitan kepada Mbah Marjo. Lelaki tua yang
selalu berada di warung makannya yang sederhana. Letaknya di pojok jalan yang
menghubungkan daerah-daerah perdagangan di sekitar wilayah gunung Tidar. Hampir
semua pedagang yang melewati jalan itu, tahu kelezatan makanan racikan Mbah
Marjo. Langganan warungnya bukan saja para pedagang yang lewat, tapi juga para
pengembara. Karebet bukan orang yang suka menonjolkan diri, tapi pertamakali
datang ke warung itu, ia disambut Mbah Marjo seperti orang yang lama
ditunggunya.
Karebet
baru mengerti setelah Mbah Marjo bercerita bahwa selama tiga malam
berturut-turut bermimpi bertemu dengannya. Sebuah cara bertemu yang aneh. Ia
dan Mbah Marjo tidak mempunyai hubungan persaudaraan. Ia bahagia bisa akrab
dengan lelaki tua itu, tapi tidak mau karena keakraban itu, setiap makan jadi
gratis. Justru Mbah Marjo yang menolak habis-habisan. Lelaki tua itu mengatakan
bahwa bertemu dengan Karebet adalah suatu anugerah dari Yang Maha Kuasa yang
tidak dimilikinya saat berhubungan dengan orang lain.
“Saya
harus pulang, Mbah.”
“Sudah
selesai tapamu, Ngger?”
“Saya
bermimpi aneh, Mbah.”
“Apakah
mimpi itu mengharuskan Angger pulang?”
“Sejak
mimpi itu, saya tidak pernah bisa tidur.”
“Angger ingin tahu arti mimpi Angger?”
“Mbah
Marjo tidak ingin tahu mimpi saya?”
“Mimpi
yang sangat mengganggu, pastilah bukan mimpi biasa. Seperti dulu aku bermimpi
tiga malam bertemu Angger,” Mbah Marjo menata nafasnya, lalu melanjutkan, “Ada
seseorang yang mungkin bisa membantumu, Ngger.”
“Siapa
mbah??
“Di
pedukuhan Mangli, Kanjeng Sunan Kalijaga sedang memberikan wejangan agama.
Datanglah kesana dan temuilah beliau, mimpi Angger akan ditafsirkan
beliau dengan gamblang.”
Karebet
pernah mendengar nama Sunan Kalijaga disebut beberapa orang penduduk desa yang
ia singgahi dalam mengembara, juga pedagang keliling dan pengembara yang
ditemuinya. Sepertinya Sunan kalijaga berada dimana-mana. Dan sekarang Mbah
Marjo menyuruhnya menemui orang yang sering didengarnya sebagai juru dakwah
agama islam itu. Apakah benar orang itu bisa menafsirkan mimpinya?
“Saya
sering mendengar nama Sunan Kalijaga.”
“Yah,
temuilah beliau, Ngger. Temuilah.”
“Bagaimana
saya bisa tahu, Sunan Kalijaga masih di pedukuhan Mangli saat saya datang?”
“Ngger, Sunan Kalijaga memang
manusia, tapi beliau itu Waliullah. Beliau itu weruh sak sedurunge winarah.”
Karebet
sering juga mendengar kalau Sunan Kalijaga mampu menaklukan jawara-jawara di
tempat-tempat yang baru di datanginya, yang menantangnya karena ia berdakwah
islam. Itu saja sudah membuktikan bahwa orang itu mempunyai ilmu kanuragan
tinggi. Tapi weruh sak durunge winarah adalah sesuatu yang sangat langka
yang bisa dimiliki seseorang. Hanya orang-orang dengan tingkat keilmuan batin
yang tinggi yang mampu melihat sesuatu sebelum kejadian. Tapi bagaimana Mbah
Marjo bisa memastikan saat sekarang Sunan Kalijaga masih berada di pedukuhan
Mangli yang letaknya di lereng gunung Andong. Padahal jaraknya cukup jauh dari
tempatnya?
Ia
tidak pernah bertanya kepada siapapun perihal Mbah Marjo. Karena baginya Mbah
Marjo hanya lelaki tua yang memilik sebuah warung makan pinggir jalan di sebuah
persimpangan yang ramai di lalui orang. Ia hanya mengagumi kecerdasan Mbah
Marjo memilih lokasi yang tepat untuk berdagang. Tapi Mbah Marjo seperti kenal
baik dengan Sunan Kalijaga, bahkan bisa mengetahui kalau Sunan Kalijaga mampu
mengetahui sesuatu sebelum terjadi. Karebet ingin sekali bertanya, tapi melihat
ketulusan Mbah Marjo selama ini memberinya semangat, sering memberinya makan
gratis, ia tidak tega melukai hati seandainya pertanyaannya akan membuatnya
tersinggung.
Karebet
memeluk Mbah Marjo. Erat dan mulai merasakan dadanya bergemuruh. Lelaki tua ini
telah memberinya ketenangan batin saat ia membutuhkan semangat. Ia langsung
berbalik pergi. Ia tahu bibit air mata sudah menggenang di sudut mata tua Mbah
Marjo. Seperti peprisahan seorang kakek dengan cucu kesayangannya.
Lengkap
sudah pengalaman yang didapatnya selama di bukit Telomoyo. Sebuah mimpi yang aneh
dan sebuah persahabatan yang aneh pula. Sekarang ia harus ke pedukuhan Mangli.
Letak pedukuhan itu ia tahu jauh. Bahkan mungkin malam hari ia baru sampai di
pedukuhan itu. Tapi petunjuk Mbah Marjo seperti sebuah perintah gaib.
Dan
keanehan itu terbukti lagi. Belum seperempat hari perjalanan, Karebet melihat
sebuah tugu batu pedukuhan bertuliskan Mangli. Ia benar-benar tidak percaya.
Tidak mungkin jarak kaki bukit Telomoyo begitu dekat dengan pedukuhan Mangli
yang berada di lereng gunung Andong. Ia tahu persis jalan yang akan dilaluinya
menembus hutan belantara dan berliku. Pedukuhan Mangli berada di atas
ketinggian. Ia harus memutari punggung bukit Telomoyo terlebih dahulu sebelum
melewati jalan yang menuju gunung Andong. Jalur yang dilewatinya juga bukan
jalur perdagangan. Bahkan untuk seorang pengembara, jalan yang ditempuhnya
sering di hindari.
Tapi
sekarang ia sudah di depan tugu pedukuhan Mangli.
Saat Karebet masih
dihinggapi segenap keheranan, beberapa pedagang sambil memikul sisa dagangannya,
berjalan keluar pedukuhan dan terdengar terlibat berbincang.
“Semakin
enak ya wejangan Kanjeng Sunan Kalijaga.”
“Iya.
Hati ini jadi adem.”
“Aku
makin mantap masuk agama islam.”
“Tapi
aku masih belum mengerti soal sembahyang lima waktu. Gunanya apa ya?”
“Sampeyan
baru dua kali ikut wejangan, nanti juga ketemu jawabannya.”
Karebet
memberanikan diri mencegat mereka.
“Nuwun
sewu….”
Mereka
berhenti. Seorang pemuda berbaju lusuh dan gagah menghentikan langkah mereka
dengan bahasa yang halus. Sikap sopan Karebet membuat mereka juga jadi sopan.
“Dimana
Sunan Kalijaga memberi wejangan?”
“Sudah
selesai dari tadi.”
“Sudah
selesai?”
“Kanjeng
Sunan Kalijaga juga sudah pergi.”
“Pergi
kemana?”
“Tidak
tahu. Beliau itu datang dan pergi tidak ada yang tahu. Seperti hantu.”
Kaki
Karebet jadi lemas dan terduduk dekat tugu pedukuhan. Perjalanannya yang jauh
bisa dilewatinya dengan cukup singkat, bahkan masih memberikannya tanda tanya.
Tapi tetap saja ia terlambat. Ia tidak bisa mengerti dengan waktu yang sedang terjadi
dengan dirinya. Waktu yang seharusnya ditempuh masih lebih lama sampai di
pedukuhan Mangli, tapi ia seperti melakukan perjalanan gaib. Ia juga yakin Mbah
Marjo tidak akan memberikan petunjuk yang salah.
“Nuwun
sewu,
Kisanak yang bernama Karebet?”
Seperti
disambar petir di siang bolong, Karebet menatap seseorang yang mendadak sudah
mendatanginya. Orang itu berdiri sambil membawa pikulan dagangannya. Siapa
lelaki ini?
“Nuwun
sewu,
benar Kisanak bernama Karebet?” Lelaki itu mengulangi lagi pertanyaanya dengan
pandangan yang tidak yakin.
“Ya-saya Karebet…..”
“Ini
saya dapat amanat menyerahkan layang…”
Karebet
menerima surat berupa gulungan kulit kerbau. Lelaki itu terus pergi begitu
saja. Karebet masih dihinggapi bingung, tapi ia harus bertanya.
“Kisanak,
dari siapa surat ini?”
Lelaki
itu berhenti dan berbalik. “Dari kanjeng Sunan Kalijaga.” Lalu pergi tergesa
tanpa menoleh, sepertinya takut akan ditanya lagi.
Kali
ini kepala Karebet benar-benar penuh pertanyaan. Terlalu banyak keanehan,
terlalu banyak kebetulan, dan terlalu banyak petunjuk-petunjuk aneh. Siapa yang
harus menjawabnya? Ia diam beberapa saat untuk memulihkan kesadarannya.
Sepanjang ia mengembara untuk bertapa dan menyepi, baru kali ia mengalami
kejadian yang luar biasa tidak masuk akal. Ia sering melihat kemunculan makhluk
menyeramkan dan mengerikan saat bertapa, dan ia merasa masih menganggap hal
yang wajar. Ia juga pernah bertemu berbagai macam pendekar dengan ilmu yang
mengagumkan.
Tapi
yang dialaminya sekarang luar biasa.
Ia tidak tahu berapa
lama sampai keberaniannya muncul untuk membuka surat yang terbuat dari kulit
kerbau itu. Tulisannya jelas dan mudah dibaca.
“Pulanglah
ke Ibumu. Turutilah nasehatnya. Adapun soal mimpi yang kau dapatkan di bukit
Telomoyo itu membawa suatu pesan gaib dari Allah Subhanahuwata’ala. Kelak,
suatu saat yang akan sampai waktunya, kau akan menjadi seorang Khalifah,
seorang pemimpin.”
Tidak
ada nama Sunan Kalijaga dibawahnya.
Karebet tidak peduli
itu.
Tapi isi surat itu.
Haruskah ia mempercayainya?
Ia merasa mau pingsan.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment