Friday, November 30, 2012

MAS KAREBET 2

 BAB 2


SEBELUM benar-benar meninggalkan bukit Telomoyo, Karebet hendak berpamitan kepada Mbah Marjo. Lelaki tua yang selalu berada di warung makannya yang sederhana. Letaknya di pojok jalan yang menghubungkan daerah-daerah perdagangan di sekitar wilayah gunung Tidar. Hampir semua pedagang yang melewati jalan itu, tahu kelezatan makanan racikan Mbah Marjo. Langganan warungnya bukan saja para pedagang yang lewat, tapi juga para pengembara. Karebet bukan orang yang suka menonjolkan diri, tapi pertamakali datang ke warung itu, ia disambut Mbah Marjo seperti orang yang lama ditunggunya.
     Karebet baru mengerti setelah Mbah Marjo bercerita bahwa selama tiga malam berturut-turut bermimpi bertemu dengannya. Sebuah cara bertemu yang aneh. Ia dan Mbah Marjo tidak mempunyai hubungan persaudaraan. Ia bahagia bisa akrab dengan lelaki tua itu, tapi tidak mau karena keakraban itu, setiap makan jadi gratis. Justru Mbah Marjo yang menolak habis-habisan. Lelaki tua itu mengatakan bahwa bertemu dengan Karebet adalah suatu anugerah dari Yang Maha Kuasa yang tidak dimilikinya saat berhubungan dengan orang lain.
     “Saya harus pulang, Mbah.”
     “Sudah selesai tapamu, Ngger?”
     “Saya bermimpi aneh, Mbah.”
     “Apakah mimpi itu mengharuskan Angger pulang?”
     “Sejak mimpi itu, saya tidak pernah bisa tidur.”
     Angger ingin tahu arti mimpi Angger?”      
     “Mbah Marjo tidak ingin tahu mimpi saya?”
     “Mimpi yang sangat mengganggu, pastilah bukan mimpi biasa. Seperti dulu aku bermimpi tiga malam bertemu Angger,” Mbah Marjo menata nafasnya, lalu melanjutkan, “Ada seseorang yang mungkin bisa membantumu, Ngger.”
     “Siapa mbah??
     “Di pedukuhan Mangli, Kanjeng Sunan Kalijaga sedang memberikan wejangan agama. Datanglah kesana dan temuilah beliau, mimpi Angger akan ditafsirkan beliau dengan gamblang.”
     Karebet pernah mendengar nama Sunan Kalijaga disebut beberapa orang penduduk desa yang ia singgahi dalam mengembara, juga pedagang keliling dan pengembara yang ditemuinya. Sepertinya Sunan kalijaga berada dimana-mana. Dan sekarang Mbah Marjo menyuruhnya menemui orang yang sering didengarnya sebagai juru dakwah agama islam itu. Apakah benar orang itu bisa menafsirkan mimpinya? 
     “Saya sering mendengar nama Sunan Kalijaga.”
     “Yah, temuilah beliau, Ngger. Temuilah.”
     “Bagaimana saya bisa tahu, Sunan Kalijaga masih di pedukuhan Mangli saat saya datang?”
     Ngger, Sunan Kalijaga memang manusia, tapi beliau itu Waliullah. Beliau itu  weruh sak sedurunge winarah.”
     Karebet sering juga mendengar kalau Sunan Kalijaga mampu menaklukan jawara-jawara di tempat-tempat yang baru di datanginya, yang menantangnya karena ia berdakwah islam. Itu saja sudah membuktikan bahwa orang itu mempunyai ilmu kanuragan tinggi. Tapi weruh sak durunge winarah adalah sesuatu yang sangat langka yang bisa dimiliki seseorang. Hanya orang-orang dengan tingkat keilmuan batin yang tinggi yang mampu melihat sesuatu sebelum kejadian. Tapi bagaimana Mbah Marjo bisa memastikan saat sekarang Sunan Kalijaga masih berada di pedukuhan Mangli yang letaknya di lereng gunung Andong. Padahal jaraknya cukup jauh dari tempatnya?
     Ia tidak pernah bertanya kepada siapapun perihal Mbah Marjo. Karena baginya Mbah Marjo hanya lelaki tua yang memilik sebuah warung makan pinggir jalan di sebuah persimpangan yang ramai di lalui orang. Ia hanya mengagumi kecerdasan Mbah Marjo memilih lokasi yang tepat untuk berdagang. Tapi Mbah Marjo seperti kenal baik dengan Sunan Kalijaga, bahkan bisa mengetahui kalau Sunan Kalijaga mampu mengetahui sesuatu sebelum terjadi. Karebet ingin sekali bertanya, tapi melihat ketulusan Mbah Marjo selama ini memberinya semangat, sering memberinya makan gratis, ia tidak tega melukai hati seandainya pertanyaannya akan membuatnya tersinggung.  
     Karebet memeluk Mbah Marjo. Erat dan mulai merasakan dadanya bergemuruh. Lelaki tua ini telah memberinya ketenangan batin saat ia membutuhkan semangat. Ia langsung berbalik pergi. Ia tahu bibit air mata sudah menggenang di sudut mata tua Mbah Marjo. Seperti peprisahan seorang kakek dengan cucu kesayangannya.
     Lengkap sudah pengalaman yang didapatnya selama di bukit Telomoyo. Sebuah mimpi yang aneh dan sebuah persahabatan yang aneh pula. Sekarang ia harus ke pedukuhan Mangli. Letak pedukuhan itu ia tahu jauh. Bahkan mungkin malam hari ia baru sampai di pedukuhan itu. Tapi petunjuk Mbah Marjo seperti sebuah perintah gaib.
     Dan keanehan itu terbukti lagi. Belum seperempat hari perjalanan, Karebet melihat sebuah tugu batu pedukuhan bertuliskan Mangli. Ia benar-benar tidak percaya. Tidak mungkin jarak kaki bukit Telomoyo begitu dekat dengan pedukuhan Mangli yang berada di lereng gunung Andong. Ia tahu persis jalan yang akan dilaluinya menembus hutan belantara dan berliku. Pedukuhan Mangli berada di atas ketinggian. Ia harus memutari punggung bukit Telomoyo terlebih dahulu sebelum melewati jalan yang menuju gunung Andong. Jalur yang dilewatinya juga bukan jalur perdagangan. Bahkan untuk seorang pengembara, jalan yang ditempuhnya sering di hindari.
     Tapi sekarang ia sudah di depan tugu pedukuhan Mangli. 
Saat Karebet masih dihinggapi segenap keheranan, beberapa pedagang sambil memikul sisa dagangannya, berjalan keluar pedukuhan dan terdengar terlibat berbincang.
     “Semakin enak ya wejangan Kanjeng Sunan Kalijaga.”
     “Iya. Hati ini jadi adem.”
     “Aku makin mantap masuk agama islam.”
     “Tapi aku masih belum mengerti soal sembahyang lima waktu. Gunanya apa ya?”
     “Sampeyan baru dua kali ikut wejangan, nanti juga ketemu jawabannya.”
     Karebet memberanikan diri mencegat mereka.
     Nuwun sewu….”
     Mereka berhenti. Seorang pemuda berbaju lusuh dan gagah menghentikan langkah mereka dengan bahasa yang halus. Sikap sopan Karebet membuat mereka juga jadi sopan.
     “Dimana Sunan Kalijaga memberi wejangan?”
     “Sudah selesai dari tadi.”
     “Sudah selesai?”
     “Kanjeng Sunan Kalijaga juga sudah pergi.”  
     “Pergi kemana?”
     “Tidak tahu. Beliau itu datang dan pergi tidak ada yang tahu. Seperti hantu.”
     Kaki Karebet jadi lemas dan terduduk dekat tugu pedukuhan. Perjalanannya yang jauh bisa dilewatinya dengan cukup singkat, bahkan masih memberikannya tanda tanya. Tapi tetap saja ia terlambat. Ia tidak bisa mengerti dengan waktu yang sedang terjadi dengan dirinya. Waktu yang seharusnya ditempuh masih lebih lama sampai di pedukuhan Mangli, tapi ia seperti melakukan perjalanan gaib. Ia juga yakin Mbah Marjo tidak akan memberikan petunjuk yang salah.
     Nuwun sewu, Kisanak yang bernama Karebet?”
     Seperti disambar petir di siang bolong, Karebet menatap seseorang yang mendadak sudah mendatanginya. Orang itu berdiri sambil membawa pikulan dagangannya. Siapa lelaki ini?
     Nuwun sewu, benar Kisanak bernama Karebet?” Lelaki itu mengulangi lagi pertanyaanya dengan pandangan yang tidak yakin.
     “Ya-saya Karebet…..”
     “Ini saya dapat amanat menyerahkan layang…”
     Karebet menerima surat berupa gulungan kulit kerbau. Lelaki itu terus pergi begitu saja. Karebet masih dihinggapi bingung, tapi ia harus bertanya.
     “Kisanak, dari siapa surat ini?”
     Lelaki itu berhenti dan berbalik. “Dari kanjeng Sunan Kalijaga.” Lalu pergi tergesa tanpa menoleh, sepertinya takut akan ditanya lagi.
     Kali ini kepala Karebet benar-benar penuh pertanyaan. Terlalu banyak keanehan, terlalu banyak kebetulan, dan terlalu banyak petunjuk-petunjuk aneh. Siapa yang harus menjawabnya? Ia diam beberapa saat untuk memulihkan kesadarannya. Sepanjang ia mengembara untuk bertapa dan menyepi, baru kali ia mengalami kejadian yang luar biasa tidak masuk akal. Ia sering melihat kemunculan makhluk menyeramkan dan mengerikan saat bertapa, dan ia merasa masih menganggap hal yang wajar. Ia juga pernah bertemu berbagai macam pendekar dengan ilmu yang mengagumkan.
     Tapi yang dialaminya sekarang luar biasa.
Ia tidak tahu berapa lama sampai keberaniannya muncul untuk membuka surat yang terbuat dari kulit kerbau itu. Tulisannya jelas dan mudah dibaca.
     “Pulanglah ke Ibumu. Turutilah nasehatnya. Adapun soal mimpi yang kau dapatkan di bukit Telomoyo itu membawa suatu pesan gaib dari Allah Subhanahuwata’ala. Kelak, suatu saat yang akan sampai waktunya, kau akan menjadi seorang Khalifah, seorang pemimpin.”     
     Tidak ada nama Sunan Kalijaga dibawahnya.
Karebet tidak peduli itu.
Tapi isi surat itu.
Haruskah ia mempercayainya?
Ia merasa mau pingsan.

(Bersambung)

No comments: