BAB SEMBILANBELAS
Di atap gedung pusat perbelanjaan, di sebelah
selatan Universitas Trisakti, dua laki-laki tinggi besar dengan seragam
hitam-hitam serta rompi tebal, menempati posisi searah dengan demonstrasi
mahasiswa. Di mulut mereka terpasang alat komunikasi. Mereka membuka tas hitam
dan mengeluarkan senapan yang masih terdiri dari dua bagian, yaitu bagian popor
dan bagian laras. Lalu laras dan popor senapan itu dipasang dengan hati-hati
tapi cepat sekali gerakannya, kemudian memasang teropong yang sanggup mendekatkan
jarak sampai ratusan meter. Setelah itu dua Penembak Jitu itu mencari posisi
menembak sambil menyalakan radio komunikasi.
"Elang satu dan dua pada
komando," Salah seorang dari mereka berkata sambil memperbaiki letak earphone
di
telinganya.
"Komando disini." Terdengar
suara berat di telinga mereka.
"Kami sudah dalam
posisi."
"Tunggu perintah
selanjutnya."
Di bagian barat, diatas jalan
layang yang telah di kosongkan, dua Penembak Jitu lain sudah menempati
posisinya dan sedang mengarahkan senapan ke arah demonstrasi mahasiswa.
"Elang tiga dan empat,
kalian sudah di posisi?" Terdengar suara Komando di telinga dua Penembak Jitu
itu.
"Kami sudah dalam posisi,
Pak."
"Tunggu perintah
selanjutnya."
"Siap."
Di sebelah utara Universitas
Trisakti, ada sebuah bangunan gedung tinggi yang belum jadi dan masih dalam
tahap penyelesaian. Di atap gedung itu, telah dalam posisi dua Penembak Jitu
dan mengarahkan teropong infra merah mereka ke arah halaman kampus di depan
gedung Syarif Thayib.
"Kami dalam posisi,"
Salah satu dari mereka berkata.
"Tunggu perintah
selanjutnya."
Hari telah menjadi sore.
Matahari cepat sekali menghilang dibalik awan dan berganti dengan hujan. Suasana tidak menyenangkan tapi para
mahasiswa tampak bergerak ke luar halaman kampus, menuju jalan raya dimana
aparat keamanan sudah menghadang mereka. Begitu panjang barisan aparat keamanan
menutup setiap sudut jalan. Para mahasiswa yang merapatkan barisan dalam jumlah
lebih banyak dari aparat keamanan, terpaksa berhenti. Pemimpin demonstrasi dan
Komandan aparat keamanan mengadakan perundingan. Pemimpin demonstran berdarah
muda penuh semangat dan siap mengadakan perlawanan, sedangkan Komandan keamanan
adalah jenis orang yang takut dengan atasan kalau gagal menjalankan tugasnya
dan lebih takut lagi apabila di mutasi ke suatu daerah terpencil yang tidak
memungkinkannya mendapatkan uang tambahan setiap hari.
Semua ngotot dan saling
memegang suatu keputusan yang tidak bisa ditawar. Tawaran tertinggi pihak
keamanan adalah adanya senjata yang siap digunakan kalau mahasiswa terus
melanjutkan niatnya. Soal kenekatan bisa dimiliki siapa saja, tapi pikiran
waras hanya dimiliki oleh orang yang mempunyai perhitungan. Pemimpin demonstran
menyadari pihak mahasiswa tidak dalam
posisi tawar menawar yang menguntungkan, tapi kehendak teman-temannya sulit
ditahan. Maka jalan tengah harus segera ditempuh. Beberapa saat kemudian, massa
mahasiswa mengadakan mimbar bebas di jalan raya itu.
Fajar dan Inaya berada di
depan barisan. Apa saja kemudian mereka lakukan. Menyanyi, berlari membawa
bendera, membagikan bunga kepada aparat keamanan dan diletakkannya di pelatuk
senapan. Mereka melakukan itu semua dengan semangat dan berusaha menarik
simpati pihak keamanan yang berjajar tanpa bergerak sedikitpun. Tapi
wajah-wajah aparat keamanan itu bagai patung, dengan ekspresi yang tidak
bersahabat.
***
Penembak jitu yang berada di
atap gedung perbelanjaan, terus melihat lewat teropong, berkata, "Saatnya
pertunjukan, Pak."
"Bersiap."
Hampir bersamaan, dua Penembak
Jitu memasukkan peluru ke dalam senapan, mengokangnya dan menegakkan senapan untuk diarahkan ke bawah, dimana para mahasiswa
berkumpul. Menggunakan sinar infra merah agar mendapatkan sasaran dan
mematikan.
Dua Penembak Jitu diatas
jembatan layang, sudah mencari sasaran. .
Begitu juga dua Penembak Jitu
diatap gedung di sebelah utara kampus, sudah menyalakan sinar infra merah untuk
mencari korban.
***
Hari sudah menjelang malam.
Hujan sudah mereda dan massa mahasiswa yang berkumpul di jalan raya itu tampak
mulai kepayahan. Wajah-wajah mereka kelihatan sangat letih walaupun semangatnya
masih meledak-ledak. Perundingan telah selesai dan salah seorang pemimpin
demonstrasi segera memegang megaphone.
“Teman-teman semua, kita
disuruh masuk kembali ke dalam kampus karena situasi yang tidak mendukung kita
terus berjalan…..!!!”
Para mahasiswa menyambut
dengan kecewa sambil bergerak masuk kembali ke halaman kampus. Termasuk Fajar
yang menggandeng Inaya. Tiba-tiba seorang laki-laki berdasi berteriak lantang,
yang masih berdiri di jalan raya di dekat aparat keamanan.
“Hei, jangan jadi pengecut.
Jangan masuk kampus! Semuanya pengecut!!!”
Beberapa orang mahasiswa
berbalik mengejar laki-laki berdasi itu dan menghajarnya beramai-ramai. Fajar
bersama beberapa pemimpin demonstrasi melerainya. Laki-laki berdasi yang
dihajar itu sudah berlari kabur dan menyelinap ke arah aparat keamanan dan
hilang entah kemana. Mahasiswa bergerak kembali ke dalam kampus.
***
“Kami siap.” kata Penembak
Jitu diatap gedung pusat perbelanjaan dengan bola matanya terus ditempelkan
pada teleskop.
Terdengar suara Komando, “Buat
situasi mendukung.”
“Ada gerakan.” Penembak Jitu
di atas jalan layang berkata. Lewat teleskop ia melihat seseorang dari arah
aparat keamanan berteriak-teriak ke arah mahasiswa dan tampaknya membakar emosi
mahasiswa. Beberapa mahasiswa tampak terpancing dan mengejar laki-laki berdasi
itu, yang lari ke arah aparat keamanan dan hilang entah kemana.
Tiba-tiba saja situasi
kelihatan kacau.
“Dalam lima detik tidak ada
kekacauan, buat gerakan pembuka,” Suara Komando terdengar disetiap telinga
Penembak Jitu.
***
Keadaan sudah mulai tidak
terkendali. Botol-botol minuman sudah beterbangan ke arah aparat keamanan.
Disusul dengan lemparan batu dan benda apasaja yang bisa di lempar. Tidak
diketahui dengan jelas benar apakah
pihak mahasiswa atau aparat keamanan yang memulainya lebih dahulu.
Keadaan sudah kacau, saling lempar apasaja.
***
“Sasaran terkunci, Pak.!” kata
Penembak Jitu diatas gedung utara.
“Selesaikan target dalam
satu menit!” Suara Komando memutuskan.
***
Suasana sudah hujan batu dan
botol minuman. Mahasiswa lari tunggang langgang masuk ke halaman kampus. Panik
dan menabrak apasaja. Mereka tampak sekali ketakutan, karena aparat kemanan
bergerak maju sambil memberondongkan senapan yang sejak pagi mereka
timang-timang.
Suara tembakan terdengar
dimana-mana.
Para polisi itu kelihatan
begitu bernafsu melakukan serangan. Seperti sudah kehabisan kesabaran. Mereka
bergerak dengan brutal. Setelah selesai menggunakan senapan, mereka memburu
para mahasiswa yang terus lari tunggang langgang masuk ke halaman kampus.
Dengan tongkat pemukul yang dibeli dari uang rakyat, mereka menggebuk
mahasiswa.
Fajar menyeret Inaya masuk
gedung Syarif Thayib. Ia tak bisa membiarkan Inaya dalam keadaan bahaya.
Seorang polisi yang memburu dengan tongkat pemukul, seperti memburu musuh
bebuyutannya, langsung Fajar hadapi. Bagi Fajar itu harus dilakukannya.
Mestinya ia mengenal aparat itu sebagai pelindungnya, tapi yang dihadapannya
sekarang adalah orang yang
kehilangan kesadaran. Ia tidak bisa menyerahkan nyawanya dengan cuma-cuma. Ia
siap bertarung ketika seorang mahasiswa lain datang membantu dan melawan aparat
itu. Fajar langsung menyeret Inaya lari kembali.
Terdengar suara
berdesing-desing diatas kepala mereka. Peluru beterbangan seperti hujan meteor.
Datangnya dari atas dan dari berbagai arah. Seperti mengepung tempat itu.
Mendadak Fajar roboh. Inaya
yang berpegangan erat dengan tangan Fajar merasakan tubuh Fajar jatuh ke tanah.
Dilihatnya tak ada luka apapun di dada Fajar. Tapi tangannya yang menopang
punggung Fajar, merasakan darah segar keluar deras. Ketika Inaya membalik tubuh
Fajar yang terkulai, dilihatnya punggung Fajar berdarah dan ada lubang lebar
disana. Seperti telah kemasukan benda besar dan tajam. Inaya histeris, tapi
tidak ada yang mempedulikannya.
Semua sedang sibuk dengan
urusan keselamatannya sendiri. Inaya begitu saja mengangkat Fajar yang sudah tidak sadarkan diri
dan dibawanya lari. Ia yakin sebenarnya ia tidak pernah kuat mengangkat tubuh Fajar yang
sepuluh kilo lebih berat dari berat tubuhnya. Tapi ia benar-benar bisa
mengangkat tubuh Fajar dan dibawanya lari. Lari menembus kepanikan mahasiswa
dan peluru-peluru beterbangan. Berdesing-desing seperti pesawat pembom yang
sedang beroperasi.
(bersambung)