Alice Springs, Australia.
Dalam sebuah bangunan kolonial yang megah, telah
berkumpul semua anggota dari seluruh cabang. Mereka nampak santai dan duduk
dengan cara yang menunjukkan bahwa mereka berada di rumah sendiri.
Sang
Ketua duduk lebih santai. Ia sudah memberikan wewenangnya kepada Sam. Seperti
biasa, Sam menyalakan rokok filter-nya terlebih dahulu, sebelum akhirnya
berkata, "Saya ingin menyampaikan kabar gembira dari Jakarta. Semua
berjalan sesuai rencana. Tahap terakhir rencana kita akan segera dilaksanakan
dan pasti sukses. Rencana itu akan dilaksanakan di bagian Barat dari Jakarta,
tanggal 12 Mei dan akan dilanjutkan dua hari kemudian dengan aksi massa untuk
menciptakan chaos di Jakarta dan kota besar lainnya."
Uncle
Sam (nama sandi), bicara, "Bagaimana kemungkinan militer bertindak."
"Kita
akan memotong jalur komunikasi pada hari H untuk mengacaukan jalur komando. Dan
kita telah menempatkan orang-orang kita didalamnya untuk memperlancar rencana.
Ada pertanyaan?"
Tak
ada pertanyaan.
***
Ruangan
Senat Universitas sibuk luar biasa. Jadwal demonstrasi yang padat membuat semua
harus bergerak. Mereka mulai membiasakan diri bahwa kuliah bukan hanya belajar
di kelas. Kampus tidak sebatas memberikan mereka masa depan dan selanjutnya
terserah mau menjadi apa. Musim demonstrasi ini memberikan pilihan lain bahwa
masa depan itu bisa mereka rintis menjadi seperti apa. Mereka mulai mempunyai
posisi tawar menawar yang menguntungkan. Paling tidak pada saat musim
demonstrasi sedang marak-maraknya.
Inaya duduk di meja rapat
dengan beberapa teman aktivis. Membuka kertas-kertas undangan yang datang dari
Universitas lain. Agaknya semua sedang berlomba membuat jadwal demonstrasi dan
bagaimana bisa menonjol dengan didukung massa dalam jumlah banyak.
“Kita menerima undangan dari
Trisakti. Mereka akan mengadakan longmarch ke gedung wakil rakyat.”
Inaya memberikan pidato sambil membacakan sebuah surat.
Seorang mahasiswa berkulit
gelap angkat tangan. "Maaf, Inaya."
"Saya belum selesai,
Luther. Interupsi nanti saja kalau sudah selesai."
"Sama sekali bukan mau
interupsi, tapi saya mau minta ijin kencing."
Ruangan tertawa.
Belum sampai Luther keluar,
pintu didepannya terbuka dan mata Luther seperti mau keluar sambil berteriak
kegirangan. "Hei, hei, lihat, siapa yang datang!! Si anak hilang!”
Semua kegiatan ruangan itu
terhenti seketika. Melihat hantu pun mereka tidak akan setegang itu. Padahal
yang berdiri kaku di pintu itu adalah Fajar Sidik, teman mereka yang telah
hilang. Ruangan mendadak sepi.
Inaya juga berdiri kaku. Semenit kemudian ruangan berubah menjadi penuh sorak.
Fajar dikerubuti seperti seorang pahlawan yang baru kembali dari medan perang.
Inaya masih berdiri kaku dan
menangis. Ia mulai menyadari bahwa Fajar ternyata bukan hanya miliknya
sekarang. Ia menunggu sampai teman-temannya berhenti sendiri, tapi penantiannya
sia-sia karena semua orang ingin mendengar kisahnya.
Fajar menolak usul
teman-temannya untuk mengadakan konferensi pers. Ia memilih pulang ke rumah dan
menolak pengawalan teman-temannya yang menghawatirkan keselamatannya. Ia
memilih mengajak Inaya yang telah lama menunggunya untuk berbicara. Tapi dalam
perjalanan dalam taksi, mereka tidak berbicara. Seperti orang yang belum lama
berkenalan dan tidak tahu apa yang harus dibicarakan.
"Saya sekarang tinggal di
rumahmu." Inaya tidak tahan untuk tidak berbicara.
"Kalau itu menurutmu
baik, lakukan saja."
Inaya tidak menyangka akan
mendapat jawaban seperti itu. Biasanya yang keluar adalah pertanyaan dan bukan
pilihan jawaban. Inaya melihat Fajar telah berubah. Tenang dan dingin. Ya,
dingin. Inaya bisa merasakan perubahan itu.
"Apakah mereka
menyakitimu?"
Fajar diam dan segera
terbayang di kepalanya sebuah ruangan sempit dan gelap, orang-orang di balik
terali besi, pistol menyalak dan kepala pecah dengan darah muncrat kemana-mana.
Fajar tiba-tiba menggigil tubuhnya. Pandangan matanya liar dan gelisah.
Inaya memeluknya. Dilihatnya Fajar begitu ketakutan.
Menghadapi perlakuan Ibunya yang
sangat kasar saja tidak sampai begitu menderitanya. Fajar yang dikenalnya
adalah orang yang tegar, paling sabar dan penuh pengertian. Tapi yang
dihadapinya sekarang Fajar lain. Yang pernah hilang entah kemana dan tiba-tiba
muncul begitu saja. Seperti hantu.
Ia yakin telah terjadi
sesuatu yang sangat menakutkan yang menimpa Fajar.
Sesampainya di rumah, Fajar
langsung berbaring diatas tempat tidur yang telah membesarkan tubuhnya. Ia
menangis bertemu kembali dengan Ibu dan dua orang adiknya. Ia ingin terus
bersama mereka. Telah ia janjikan bahwa ia adalah kepala keluarga. Ia biarkan
kedua adiknya terus menangis. Ia biarkan Ibunya memberikan perhatiannya yang
berlebihan, seperti ketika ia masih kecil. Membelai rambut dan mengusap
airmatanya. Ia tidak marah Inaya menempati kamarnya. Tiba-tiba ia merelakan
semua apa yang dimilikinya dan apa yang ia tidak suka sebelumnya.
Berita kemunculan Fajar
didengar banyak orang, termasuk Rosita. Ia datang sendiri dan melepas atribut
reporternya. Begitu bertemu, langsung memeluk Fajar dan menangis. "Kamu orang
terakhir di dunia yang saya tunggu hari ini," katanya membuat Fajar
tersenyum.
Inaya melihatnya dengan
perasaan yang ditekannya sedemikian rupa. Ia tahu harus cemburu pada Rosita
karena wanita itu juga menangis. Dan air mata itu jelas untuk Fajar. Apalagi
ketika Rosita bicara sambil menggenggam tangan Fajar.
“Kakek saya mengatakan
nyawanya sedang terancam sekarang.” Rosita sudah tidak menangis. “Kakek
dianggap sebagai musuh oleh penguasa negeri ini. Dua hari yang lalu saya juga
baru menerima ancaman karena membuat berita penculikan kamu. Saya siap dipecat
dari karir saya tapi saya tidak bisa dipisahkan oleh tekad saya.”
Inaya kalah dewasa daripada
Rosita. Ia masih bisa menangis dan wanita didepannya itu begitu tegar, walaupun
airmatanya sudah tumpah. Semakin tertekan perasaannya ketika Fajar menatap
Rosita lama. Seperti memendam perasaan cinta yang menggelora dan segera ingin
dilampiaskannya.
"Bicaralah kepada saya
dan Inaya, supaya kita juga bisa merasakan apa yang kamu rasakan." Rosita
memohon.
"Kita sudah terlalu
banyak bicara."
"Tapi kita tidak bisa
menolak duduk meskipun kita tahu kursi itu berduri."
"Kita tidak perlu duduk
kalau kita masih bisa berdiri."
Rosita tersenyum. "Saya
memang selalu yakin kamu tidak pernah kehilangan semangat."
Inaya semakin kehilangan
tempat di ruangan itu.
(bersambung)
1 comment:
Post a Comment