Sunday, March 28, 2010

1998 (11)

BAB TUJUHBELAS




Alice Springs, Australia.
Dalam sebuah bangunan kolonial yang megah, telah berkumpul semua anggota dari seluruh cabang. Mereka nampak santai dan duduk dengan cara yang menunjukkan bahwa mereka berada di rumah sendiri.
            Sang Ketua duduk lebih santai. Ia sudah memberikan wewenangnya kepada Sam. Seperti biasa, Sam menyalakan rokok filter-nya terlebih dahulu, sebelum akhirnya berkata, "Saya ingin menyampaikan kabar gembira dari Jakarta. Semua berjalan sesuai rencana. Tahap terakhir rencana kita akan segera dilaksanakan dan pasti sukses. Rencana itu akan dilaksanakan di bagian Barat dari Jakarta, tanggal 12 Mei dan akan dilanjutkan dua hari kemudian dengan aksi massa untuk menciptakan chaos di Jakarta dan kota besar lainnya."
            Uncle Sam (nama sandi), bicara, "Bagaimana kemungkinan militer bertindak."
            "Kita akan memotong jalur komunikasi pada hari H untuk mengacaukan jalur komando. Dan kita telah menempatkan orang-orang kita didalamnya untuk memperlancar rencana. Ada pertanyaan?"
            Tak ada pertanyaan.
***     

            Ruangan Senat Universitas sibuk luar biasa. Jadwal demonstrasi yang padat membuat semua harus bergerak. Mereka mulai membiasakan diri bahwa kuliah bukan hanya belajar di kelas. Kampus tidak sebatas memberikan mereka masa depan dan selanjutnya terserah mau menjadi apa. Musim demonstrasi ini memberikan pilihan lain bahwa masa depan itu bisa mereka rintis menjadi seperti apa. Mereka mulai mempunyai posisi tawar menawar yang menguntungkan. Paling tidak pada saat musim demonstrasi sedang marak-maraknya.
Inaya duduk di meja rapat dengan beberapa teman aktivis. Membuka kertas-kertas undangan yang datang dari Universitas lain. Agaknya semua sedang berlomba membuat jadwal demonstrasi dan bagaimana bisa menonjol dengan didukung massa dalam jumlah banyak.
“Kita menerima undangan dari Trisakti. Mereka akan mengadakan longmarch ke gedung wakil rakyat.” Inaya memberikan pidato sambil membacakan sebuah surat.
Seorang mahasiswa berkulit gelap angkat tangan. "Maaf, Inaya."
"Saya belum selesai, Luther. Interupsi nanti saja kalau sudah selesai."
"Sama sekali bukan mau interupsi, tapi saya mau minta ijin kencing."
Ruangan tertawa.                  
Belum sampai Luther keluar, pintu didepannya terbuka dan mata Luther seperti mau keluar sambil berteriak kegirangan. "Hei, hei, lihat, siapa yang datang!! Si anak hilang!”
Semua kegiatan ruangan itu terhenti seketika. Melihat hantu pun mereka tidak akan setegang itu. Padahal yang berdiri kaku di pintu itu adalah Fajar Sidik, teman mereka yang telah hilang.  Ruangan mendadak sepi. Inaya juga berdiri kaku. Semenit kemudian ruangan berubah menjadi penuh sorak. Fajar dikerubuti seperti seorang pahlawan yang baru kembali dari medan perang.
Inaya masih berdiri kaku dan menangis. Ia mulai menyadari bahwa Fajar ternyata bukan hanya miliknya sekarang. Ia menunggu sampai teman-temannya berhenti sendiri, tapi penantiannya sia-sia karena semua orang ingin mendengar kisahnya.
Fajar menolak usul teman-temannya untuk mengadakan konferensi pers. Ia memilih pulang ke rumah dan menolak pengawalan teman-temannya yang menghawatirkan keselamatannya. Ia memilih mengajak Inaya yang telah lama menunggunya untuk berbicara. Tapi dalam perjalanan dalam taksi, mereka tidak berbicara. Seperti orang yang belum lama berkenalan dan tidak tahu apa yang harus dibicarakan.
"Saya sekarang tinggal di rumahmu." Inaya tidak tahan untuk tidak berbicara.
"Kalau itu menurutmu baik, lakukan saja."
Inaya tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Biasanya yang keluar adalah pertanyaan dan bukan pilihan jawaban. Inaya melihat Fajar telah berubah. Tenang dan dingin. Ya, dingin. Inaya bisa merasakan perubahan itu.
"Apakah mereka menyakitimu?"
Fajar diam dan segera terbayang di kepalanya sebuah ruangan sempit dan gelap, orang-orang di balik terali besi, pistol menyalak dan kepala pecah dengan darah muncrat kemana-mana. Fajar tiba-tiba menggigil tubuhnya. Pandangan matanya liar dan gelisah.
Inaya memeluknya.  Dilihatnya Fajar begitu ketakutan. Menghadapi perlakuan  Ibunya yang sangat kasar saja tidak sampai begitu menderitanya. Fajar yang dikenalnya adalah orang yang tegar, paling sabar dan penuh pengertian. Tapi yang dihadapinya sekarang Fajar lain. Yang pernah hilang entah kemana dan tiba-tiba muncul begitu saja. Seperti hantu.  Ia yakin  telah terjadi sesuatu yang sangat menakutkan yang menimpa Fajar.
Sesampainya di rumah, Fajar langsung berbaring diatas tempat tidur yang telah membesarkan tubuhnya. Ia menangis bertemu kembali dengan Ibu dan dua orang adiknya. Ia ingin terus bersama mereka. Telah ia janjikan bahwa ia adalah kepala keluarga. Ia biarkan kedua adiknya terus menangis. Ia biarkan Ibunya memberikan perhatiannya yang berlebihan, seperti ketika ia masih kecil. Membelai rambut dan mengusap airmatanya. Ia tidak marah Inaya menempati kamarnya. Tiba-tiba ia merelakan semua apa yang dimilikinya dan apa yang ia tidak suka sebelumnya.
Berita kemunculan Fajar didengar banyak orang, termasuk Rosita. Ia datang sendiri dan melepas atribut reporternya. Begitu bertemu, langsung memeluk Fajar dan menangis. "Kamu orang terakhir di dunia yang saya tunggu hari ini," katanya membuat Fajar tersenyum.
Inaya melihatnya dengan perasaan yang ditekannya sedemikian rupa. Ia tahu harus cemburu pada Rosita karena wanita itu juga menangis. Dan air mata itu jelas untuk Fajar. Apalagi ketika Rosita bicara sambil menggenggam tangan Fajar.
“Kakek saya mengatakan nyawanya sedang terancam sekarang.” Rosita sudah tidak menangis. “Kakek dianggap sebagai musuh oleh penguasa negeri ini. Dua hari yang lalu saya juga baru menerima ancaman karena membuat berita penculikan kamu. Saya siap dipecat dari karir saya tapi saya tidak bisa dipisahkan oleh tekad saya.”
Inaya kalah dewasa daripada Rosita. Ia masih bisa menangis dan wanita didepannya itu begitu tegar, walaupun airmatanya sudah tumpah. Semakin tertekan perasaannya ketika Fajar menatap Rosita lama. Seperti memendam perasaan cinta yang menggelora dan segera ingin dilampiaskannya.
"Bicaralah kepada saya dan Inaya, supaya kita juga bisa merasakan apa yang kamu rasakan." Rosita memohon.
"Kita sudah terlalu banyak bicara."
"Tapi kita tidak bisa menolak duduk meskipun kita tahu kursi itu berduri."
"Kita tidak perlu duduk kalau kita masih bisa berdiri."
Rosita tersenyum. "Saya memang selalu yakin kamu tidak pernah kehilangan semangat."
Inaya semakin kehilangan tempat di ruangan itu.
 (bersambung)

1 comment:

saepul adha said...
This comment has been removed by a blog administrator.