Universitas Trisakti,
12 Mei 1998
Di halaman utama kampus, bendera merah putih
dikibarkan setengah tiang. Lagu kebangsaan Indonesia Raya sedang dikumandangkan
oleh para mahasiswa yang memenuhi halaman yang luas itu. Mereka tumpah ruah
memenuhi sudut-sudut halaman. Di pintu masuk, masih saja terus berdatangan para
mahasiswa Universitas itu dan juga dari Universitas lain yang ikut bergabung.
Pada
hari itu, telah ditetapkan untuk berdemonstrasi besar-besaran dan akan
dilanjutkan untuk berjalan jauh menuju gedung wakil rakyat. Pasti akan
menimbulkan keramaian yang tidak biasanya. Jalanan yang biasanya macet oleh
mobil-mobil, sekarang akan lebih macet dengan perjalanan mahasiswa ke gedung
wakil rakyat. Demonstrasi di Universitas dan di jalanan telah selesai
jadwalnya. Mereka ingin menuju gedung dimana mereka katanya di wakili untuk
bersuara membela kepentingan mereka. Pada kenyataannya selama ini mereka tidak
pernah mendengar mereka bersuara untuk mereka. Para wakil rakyat hanya bersuara
untuk kepentingan mereka sendiri. Apa yang diperjuangkan para wakil rakyat
tidak ada hubungannya dengan rakyat.
Maka
para mahasiswa menuju gedung wakil rakyat.
Fajar
Sidik dan Inaya beserta teman-temannya yang lain telah datang dan bergabung
menjadi satu barisan. Tidak lagi ada perbedaan mereka datang dari mana. Mereka
hanya mempunyai satu tekad untuk berubah.
Jumlah mahasiswa yang begitu
banyak telah memaksa aparat keamanan mengerahkan pasukan dalam jumlah besar.
Armada Brigade Mobil telah berderet-deret membentuk pagar di jalan raya di luar
kampus, seolah akan menghadapi perusuh brutal dan bersenjata. Pasukan
bertuliskan PHH membentuk pagar pertahanan memanjang di tepi jalan raya. Para
komandan berjalan kesana kemari sambil berteriak-teriak lewat radio
komunikasinya untuk mengalihkan jalur lalu lintas yang mengalami kemacetan
panjang. Semua ruas jalan telah penuh, juga di atas jembatan layang Grogol.
Kawasan itu adalah kawasan
padat. Perkantoran, pusat perbelanjaan, terminal dan kampus serta jalan-jalan
pintas menuju kawasan lain.
Universitas yang letaknya bersebelahan dengan terminal bis itu telah
menjadi pusat perhatian masyarakat luas. Orang-orang sudah berdiri di tepi
jalan, menonton. Menonton mahasiswa demonstrasi dan menonton para polisi yang
begitu banyak jumlahnya dan bersenjatakan lengkap.
Rosita dan Harry berada di
suatu sudut untuk pengambilan gambar. Para wartawan dan reporter sesibuk
Komandan aparat keamanan yang mengatur koordinasi anak buahnya. Semua tiba-tiba
begitu sibuk, hiruk pikuk dan ketegangan menjalar di setiap kepala mereka.
Matahari yang beranjak siang segera menghujam ubun-ubun kepala. Dalam keadaan
seperti itu, kemarahan mudah sekali keluar dan dilampiaskan.
Fajar berdiri diatas mimbar,
dengan kepalan tangan sambil berteriak. “Saya membuktikan sendiri bahwa rezim
ini biadab. Dan jalan satu-satunya harus ditumbangkan!!!” Teriakan Fajar segera
disambut dengan gemuruh yang memenuhi seluruh halaman kampus.
Suaranya memantul ke langit.
“Hari ini kita akan berjalan
jauh, ke rumah kita yang sesungguhnya, gedung wakil rakyat. Disana kita harus
membuat perubahan!!!!”
Gemuruh dimana-mana.
Sorak dimana-mana.
*****
Di jalan raya, diluar pagar
aparat keamanan, orang-orang yang menonton semakin banyak. Seperti sedang
terjadi sebuah perhelatan akbar, mereka datang dari semua arah. Kebanyakan dari
mereka hanya ingin menonton, karena bagi mereka demonstrasi mahasiswa
menyenangkan. Apalagi dalam jumlah yang sangat banyak. Tapi Hadi berada disana
tidak hanya menjadi penonton. Nalurinya sebagai wartawan memaksanya keluar
untuk melihat perubahan seperti yang pernah dilihatnya sewaktu muda dulu. Ia
mengajak Pak Ong ikut serta. Jadilah mereka seperti dua orang manusia lanjut
usia yang sedang tersesat jalan.
Hadi tahu betul dalam suasana
seperti itu banyak berkeliaran mata-mata yang bisa bekerja untuk siapa saja.
Perhatiannya lebih tertuju kepada orang-orang di sekitarnya. Mengamati setiap
orang yang dilewatinya. Ia hafal diluar kepala untuk membedakan mana orang
biasa dan mana mata-mata.Walaupun penampilan mereka sama dengan kebanyakan
orang, tapi ada ciri-ciri tertentu mereka. Sampai kemudian matanya menangkap
temannya, si doyan rokok. Kali ini lelaki seusianya itu memakai jaket hitam dan
memakai baret prancis. Hadi mendekatinya. Memandangnya lama untuk menarik
perhatian Sam.
"Apa kabar?"
Sam menoleh. "Baik."
Air mukanya tidak berubah menjadi ramah. Tapi ia lalu melanjutkan, "Apa kau sedang melakukan
perburuan lagi?"
"Saya sudah pensiun.
Sudah bau tanah. Tapi aku tahu semua sudah berubah. Kecuali barangkali dunia
spionase."
Sam melihat sekeliling, dan
berkata, "Sebaiknya carilah jalan keluar dari sini, Hadi."
"Oh, ada sesuatu yang
akan terjadi ya?"
"Pergi saja." Ia
bersiap pergi.
"Sebentar, Sam. Benar itu namamu?"
Sam menatap Hadi dengan
serius. "Apa aku pernah menyebutkan namaku?"
"Tidak pernah. Apa kau
merasa kaget aku tahu namamu sementara kamu hanya dikenal dengan sebutan si
doyan rokok?"
"Tidak."
"Kalau begitu terimakasih
atas peringatannya."
Sam pergi tanpa menoleh lagi,
menghilang dibalik kerumunan orang banyak.
"Menurutmu dia bisa
dipercaya?"
"Saat seperti sekarang,
informasinya pasti benar. Tapi bagiku dia hanya seorang penghianat." Hadi
mencari jalan keluar dari kerumunan. "Ayo kita pergi dari sini, Ong.
Langit sebentar lagi akan mendung."
Apa yang menarik dari dunia
mata-mata adalah kerahasiaannya. Sebuah dunia yang gelap dan terdiri dari
manusia-manusia penuh dengan beban rahasia busuk yang mungkin akan dibawanya
sampai ke liang kubur. Walaupun tidak mengenal dengan baik, mengatahui nama dan
latar belakang hidupnya, dan cenderung merugikan dirinya, karena keselamatannya
selalu terancam, Hadi telah mendapatkan suatu rahasia besar dibalik peristiwa
besar yang menimpa negerinya. Selain karena Tuhan belum berkenan mencabut
nyawanya, ia masih hidup dengan bebas dan tenang, karena ia telah berjanji
secara tidak resmi kepada kenalannya itu untuk tidak mempublikasikan rahasia
besar itu lewat media atau kepada orang lain. Dan Hadi memegang teguh janji
itu, sampai hari dimana ia bertemu kembali dengan laki-laki yang selalu merokok
itu. Tapi laki-laki itu tidak mengetahuinya bahwa ia telah menuliskan semua
rahasia itu dalam bukunya yang ia berikan kepada Rosita.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment