Sunday, March 28, 2010

1998 (12)

BAB DELAPANBELAS




Universitas Trisakti,
 12 Mei 1998
Di halaman utama kampus, bendera merah putih dikibarkan setengah tiang. Lagu kebangsaan Indonesia Raya sedang dikumandangkan oleh para mahasiswa yang memenuhi halaman yang luas itu. Mereka tumpah ruah memenuhi sudut-sudut halaman. Di pintu masuk, masih saja terus berdatangan para mahasiswa Universitas itu dan juga dari Universitas lain  yang ikut bergabung.
            Pada hari itu, telah ditetapkan untuk berdemonstrasi besar-besaran dan akan dilanjutkan untuk berjalan jauh menuju gedung wakil rakyat. Pasti akan menimbulkan keramaian yang tidak biasanya. Jalanan yang biasanya macet oleh mobil-mobil, sekarang akan lebih macet dengan perjalanan mahasiswa ke gedung wakil rakyat. Demonstrasi di Universitas dan di jalanan telah selesai jadwalnya. Mereka ingin menuju gedung dimana mereka katanya di wakili untuk bersuara membela kepentingan mereka. Pada kenyataannya selama ini mereka tidak pernah mendengar mereka bersuara untuk mereka. Para wakil rakyat hanya bersuara untuk kepentingan mereka sendiri. Apa yang diperjuangkan para wakil rakyat tidak ada hubungannya dengan rakyat.
            Maka para mahasiswa menuju gedung wakil rakyat.
            Fajar Sidik dan Inaya beserta teman-temannya yang lain telah datang dan bergabung menjadi satu barisan. Tidak lagi ada perbedaan mereka datang dari mana. Mereka hanya mempunyai satu tekad untuk berubah.
Jumlah mahasiswa yang begitu banyak telah memaksa aparat keamanan mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Armada Brigade Mobil telah berderet-deret membentuk pagar di jalan raya di luar kampus, seolah akan menghadapi perusuh brutal dan bersenjata. Pasukan bertuliskan PHH membentuk pagar pertahanan memanjang di tepi jalan raya. Para komandan berjalan kesana kemari sambil berteriak-teriak lewat radio komunikasinya untuk mengalihkan jalur lalu lintas yang mengalami kemacetan panjang. Semua ruas jalan telah penuh, juga di atas jembatan layang Grogol.
Kawasan itu adalah kawasan padat. Perkantoran, pusat perbelanjaan, terminal dan kampus serta jalan-jalan pintas menuju kawasan lain.  Universitas yang letaknya bersebelahan dengan terminal bis itu telah menjadi pusat perhatian masyarakat luas. Orang-orang sudah berdiri di tepi jalan, menonton. Menonton mahasiswa demonstrasi dan menonton para polisi yang begitu banyak jumlahnya dan bersenjatakan lengkap.
Rosita dan Harry berada di suatu sudut untuk pengambilan gambar. Para wartawan dan reporter sesibuk Komandan aparat keamanan yang mengatur koordinasi anak buahnya. Semua tiba-tiba begitu sibuk, hiruk pikuk dan ketegangan menjalar di setiap kepala mereka. Matahari yang beranjak siang segera menghujam ubun-ubun kepala. Dalam keadaan seperti itu, kemarahan mudah sekali keluar dan dilampiaskan.
Fajar berdiri diatas mimbar, dengan kepalan tangan sambil berteriak. “Saya membuktikan sendiri bahwa rezim ini biadab. Dan jalan satu-satunya harus ditumbangkan!!!” Teriakan Fajar segera disambut dengan gemuruh yang memenuhi seluruh halaman kampus.
Suaranya memantul ke langit.
“Hari ini kita akan berjalan jauh, ke rumah kita yang sesungguhnya, gedung wakil rakyat. Disana kita harus membuat perubahan!!!!”
Gemuruh dimana-mana.
Sorak dimana-mana.
*****
Di jalan raya, diluar pagar aparat keamanan, orang-orang yang menonton semakin banyak. Seperti sedang terjadi sebuah perhelatan akbar, mereka datang dari semua arah. Kebanyakan dari mereka hanya ingin menonton, karena bagi mereka demonstrasi mahasiswa menyenangkan. Apalagi dalam jumlah yang sangat banyak. Tapi Hadi berada disana tidak hanya menjadi penonton. Nalurinya sebagai wartawan memaksanya keluar untuk melihat perubahan seperti yang pernah dilihatnya sewaktu muda dulu. Ia mengajak Pak Ong ikut serta. Jadilah mereka seperti dua orang manusia lanjut usia yang sedang tersesat jalan.
Hadi tahu betul dalam suasana seperti itu banyak berkeliaran mata-mata yang bisa bekerja untuk siapa saja. Perhatiannya lebih tertuju kepada orang-orang di sekitarnya. Mengamati setiap orang yang dilewatinya. Ia hafal diluar kepala untuk membedakan mana orang biasa dan mana mata-mata.Walaupun penampilan mereka sama dengan kebanyakan orang, tapi ada ciri-ciri tertentu mereka. Sampai kemudian matanya menangkap temannya, si doyan rokok. Kali ini lelaki seusianya itu memakai jaket hitam dan memakai baret prancis. Hadi mendekatinya. Memandangnya lama untuk menarik perhatian Sam.
"Apa kabar?"
Sam menoleh. "Baik." Air mukanya tidak berubah menjadi ramah. Tapi ia lalu melanjutkan,  "Apa kau sedang melakukan perburuan lagi?"
"Saya sudah pensiun. Sudah bau tanah. Tapi aku tahu semua sudah berubah. Kecuali barangkali dunia spionase."
Sam melihat sekeliling, dan berkata, "Sebaiknya carilah jalan keluar dari sini, Hadi."
"Oh, ada sesuatu yang akan terjadi ya?"
"Pergi saja." Ia bersiap pergi.
"Sebentar, Sam.  Benar itu namamu?"
Sam menatap Hadi dengan serius. "Apa aku pernah menyebutkan namaku?"
"Tidak pernah. Apa kau merasa kaget aku tahu namamu sementara kamu hanya dikenal dengan sebutan si doyan rokok?"
"Tidak."      
"Kalau begitu terimakasih atas peringatannya."
Sam pergi tanpa menoleh lagi, menghilang dibalik kerumunan orang banyak.
"Menurutmu dia bisa dipercaya?"
"Saat seperti sekarang, informasinya pasti benar. Tapi bagiku dia hanya seorang penghianat." Hadi mencari jalan keluar dari kerumunan. "Ayo kita pergi dari sini, Ong. Langit sebentar lagi akan mendung."
Apa yang menarik dari dunia mata-mata adalah kerahasiaannya. Sebuah dunia yang gelap dan terdiri dari manusia-manusia penuh dengan beban rahasia busuk yang mungkin akan dibawanya sampai ke liang kubur. Walaupun tidak mengenal dengan baik, mengatahui nama dan latar belakang hidupnya, dan cenderung merugikan dirinya, karena keselamatannya selalu terancam, Hadi telah mendapatkan suatu rahasia besar dibalik peristiwa besar yang menimpa negerinya. Selain karena Tuhan belum berkenan mencabut nyawanya, ia masih hidup dengan bebas dan tenang, karena ia telah berjanji secara tidak resmi kepada kenalannya itu untuk tidak mempublikasikan rahasia besar itu lewat media atau kepada orang lain. Dan Hadi memegang teguh janji itu, sampai hari dimana ia bertemu kembali dengan laki-laki yang selalu merokok itu. Tapi laki-laki itu tidak mengetahuinya bahwa ia telah menuliskan semua rahasia itu dalam bukunya yang ia berikan kepada Rosita. 
(bersambung)

No comments: