BAB ENAMBELAS
Ruangan itu gelap, lembab dan dipenuhi oleh asap
rokok yang menyesakkan paru-paru dan mengaburkan pandangan mata. Seperti sebuah
ruangan yang jarang digunakan. Sinar matahari menembus di kisi jendela yang
letaknya di tembok dan dua meter tingginya dari lantai ruangan. Di tengah
ruangan terdapat satu kursi kayu, seperti sengaja diletakkan disana sebagai
satu-satnya pengisi ruangan. Fajar duduk disana dengan kepala tertunduk dan
kedua tangan terborgol ke belakang. Kedua matanya ditutup menggunakan kain
hitam. Bajunya telah bercampur keringat dan darah yang mengering. Wajahnya
bersih, tidak mengalami cacat luka atau kulit yang terkelupas walaupun satu
inci. Tapi cara duduknya
menampakkan bahwa ia sangat tegang dan tertekan. Posisinya siap untuk menunggu
apalagi yang akan terjadi dengan tubuhnya. Hanya sedikit sisa kesadaran yang
dimilikinya bahwa nyawanya belum tercabut dari raganya. Hal itu ia yakinkan
sendiri lewat kedua telinganya yang dipasangnya sebagai ganti penglihatannya
yang tertutup.
Kolonel berbaret hitam dan
memegang tongkat itu berdiri di depan Fajar. Ia diapit dua serdadu berbaret
hitam juga. Wajahnya sedikit menunjukkan keramahan dan ia bicara dengan sangat
tenang.
“Kami akan membebaskanmu…”
Tiba-tiba kesadaran Fajar
kembali sepenuhnya. Ia merasa dirinya terlempar jauh ke langit menemukan cahaya
kehidupan.
“Tapi ingat, kami sudah tahu
siapa kamu. Kamu tinggal dengan ibu dan dua adikmu. Ayahmu sudah meninggal dan
kamu bekerja sebagai sopir pengantar roti di toko Tan, dan juga sebagai sopir
di rumah seorang purnawirawan Angkatan Darat.” Kalimat itu meluncur seperti
dibacanya dari sebuah tulisan. “Tapi bukan karena kamu dekat purnawirawan itu
dibebaskan. Meskipun kamu akan melapor kepada Panglima Kodam atau Panglima
Tinggi sekalipun, kami tetap bisa melampauinya. Atau Kontras? Tidak, mereka tidak
bisa menjagamu terus menerus. Satu hari kamu mungkin bisa lolos, satu minggu
atau satu bulan, bahkan satu
tahun. Tapi dalam satu hari, satu minggu, satu bulan dan satu tahun itu, pasti
ada waktu dimana kamu lengah, dan saat itulah kami selesaikan tugas kami!”
Kesadarannya yang telah
kembali tetap tidak bisa mencegah bulu kuduk Fajar berdiri. Baginya itu sebuah
ancaman yang sangat amat serius. Bayangan kematian sangat jelas pada setiap
kalimat yang didengarnya itu. Ia memang telah siap menghadapi kematiannya
ketika pertama kali menyadari bahwa ia diculik. Sebuah kematian yang pasti
tidak wajar. Mungkin ia akan dipotong tujuh belas dan mayatnya dibuang ke laut
sebagai santapan ikan yang kelaparan.
Ia telah melihat kematian
bapaknya sebagai akibat dari sebuah kejahatan manusia. Dalam perkelahian yang
adil, ia yakin bapaknya akan menang. Tapi menghadapi beberapa orang dengan
clurit dan golok setajam pisau daging, nyalinya melayang juga. Dan tubuh
ayahnya terkoyak-koyak seperti tercabik cakar serigala. Manusia lebih tinggi
kedudukannya daripada malaikat, tapi celakanya manusia diberi nafsu yang lebih
kejam daripada binatang.
Ruangan
itu senyap.
Tapi
halaman Universitas itu sedang bergemuruh. Ratusan mahasiswa berkumpul untuk
berteriak. Tulisan terbentang, bendera dikibarkan dan tangan terkepal. Semua
menyimpan kemarahan yang meledak-ledak. Berdiri diatas mimbar, Inaya berikat
kepala putih. Ia berteriak lantang
dibawah matahari pukul duabelas.
“Kita
harus terus maju. Penculikan teman-teman kita adalah bukti, rezim ini harus
dilawan!!!”
"Lawaaan!!!
Gemuruh
memenuhi halaman Universitas.
Kali ini
gemuruh itu disertai dengan kemarahan di ubun-ubun kepala mereka. Keadaan
menjadi semakin tidak pasti. Perubahan harus terjadi. Termasuk Inaya yang juga berubah dan telah terjun ke
gelanggang tampil sebagai pengganti Fajar. Gadis itu menarik perhatian lebih
banyak dari sebelumnya dari massa. Masih lebih kepada kekaguman mereka karena
Inaya seorang perempuan yang cantik dan menarik, selebihnya boleh apasaja. Termasuk
alasan Inaya sebagai pengganti Fajar, orang yang dicintainya.
Disudut
lapangan, Rosita terharu melihatnya. Ia terpaksa harus mengakui kalau ia
cemburu pada gadis itu. Diluar soal Fajar, ia lebih cemburu kepada keberanian
Inaya dan kesempatan yang dimilikinya. Kalau saja ia dulu mempunyai kehidupan
seperti saat dimana pergerakan mahasiswa terjadi secara besar-besaran seperti
sekarang. Ia mengharapkan sepenuhnya kalau tampilnya Inaya sebagai penerus
Fajar. Ia telah kehilangan tokoh, ia yakin hanya untuk sementara, dan sekarang
ia menemukan kelanjutan kisahnya. Harry disampingnya sudah mengambil posisinya.
“Kita mengambil pengantar dulu,” kata
Harry memberi tahu Rosita.
Rosita
segera mengambil posisi dengan latar belakang Inaya berpidato. Harry segera
menghitung mundur. “Lima, empat, tiga, dua, satu….!”
“Saudara, patah tumbuh hilang
berganti. Gerakan mahasiswa tampaknya tidak bisa dihentikan oleh hilangnya
kawan mereka yang diduga kuat diculik…..”
Siaran itu mengudara ke
seluruh negeri. Mengetuk setiap pintu rumah dan mengabarkan bahwa perubahan
sedang terjadi dan semua orang diminta untuk bereaksi. Telah begitu lama orang
tidak bisa memperoleh kabar yang jujur soal negeri ini, karena berita yang akan
disampaikan oleh para pewarta telah dimanipulasi. Kebenaran telah disimpan
dalam sebuah tempat yang gelap dan dijaga ketat seolah-olah merupakan benda
pusaka yang harus selalu di rawat.
Selama bertahun-tahun orang hanya mengetahui negeri mereka memang aman
dan nyaman untuk ditinggali. Para turis berdatangan sampai ke pelosok desa di
kaki bukit, di tepi laut, dan mereka selalu kembali datang karena
terkagum-kagum dengan keramahtamahan penduduknya, bahkan mereka menganggap
sebagai masyarakat paling sopan di
dunia.
Tapi kejadian di Ibukota yang
disiarkan lewat televisi telah membuka seluruh kesadaran bahwa sesuatu telah
terjadi dengan sangat serius.
***
Rosita dipanggil Roy Ambyah
dengan mendadak. Ia segera bisa mencium bau tidak enak. Dengan suasana hati
yang masih tidak menentu, ia menuju ruangan Roy. Baru saja ia melangkah masuk,
Roy sudah menunggunya dengan berdiri dan menyodorkan selembar surat berkop
Departemen Penerangan, dan berkata, "Saya merasa ada sesuatu yang harus
kita pertimbangkan."
"Baik, Pak. Saya akan
membacanya setelah saya selesai meliput nanti malam."
Roy dengan tegas mendesak,
"Sita, bacalah sekarang."
Rosita merasa suasana sedang
menegangkan di ruangan itu. Tanpa duduk, ia segera membacanya. Pesannya sangat
jelas dan ia tidak perlu dua kali untuk membacanya, tapi ia masih tidak mempercayainya.
Dengan sinis dia berkata, “Saya kira semua telah berubah."
"Siapa yang mengira
belum."
"Saya tidak habis
mengerti, ada persoalan besar yang mengancam keutuhan bangsa ini, tapi betapa
reporter kecil seperti saya masih sempat mereka urusi?”
“Semua
orang sedang diurusi sekarang.”
“Kali
ini saya akan menggunakan hak jawab saya, meski perusahaan tidak mendukung
saya.”
“Ini
bukan perkara tanya jawab, tapi peringatan keras bahwa kamu harus menghindari
apa yang mereka sebutkan sebagai tuduhan yang memojokkan.”
“Saya
melaporkan kasus penculikan itu berdasarkan data Kontras.” Nada Rosita
meninggi.
“Saya
sudah menjelaskannya kepada Chief Eksekutif kita.”
“Dan saya yakin beliau tidak
mau tahu.” Rosita menyambung kalimat itu dengan geram. “Terimakasih, saya harus
meliput demonstrasi mahasiswa.”
Rosita segera menghilang dan
satu jam kemudian ia sudah kembali ditengah-tengah massa mahasiswa
berdemonstrasi. Ia akan terus meliput dan menyiarkan apa yang dilihat dan
dirasakannya. Ia sadar betul surat yang ditujukan kepadanya itu serius. Tapi ia
harus tetap merekam seluruh kejadian yang boleh dan tidak boleh direkam. Ia
akan bicara apa yang didengar dan dilihatnya, karena ia masih punya nyali untuk
berkata jujur. Kebenaran tidak bisa dikalahkan kecuali oleh kebenaran itu
sendiri.
(bersambung)
(bersambung)
No comments:
Post a Comment