Sunday, March 28, 2010

1998 (10)


BAB ENAMBELAS

Ruangan itu gelap, lembab dan dipenuhi oleh asap rokok yang menyesakkan paru-paru dan mengaburkan pandangan mata. Seperti sebuah ruangan yang jarang digunakan. Sinar matahari menembus di kisi jendela yang letaknya di tembok dan dua meter tingginya dari lantai ruangan. Di tengah ruangan terdapat satu kursi kayu, seperti sengaja diletakkan disana sebagai satu-satnya pengisi ruangan. Fajar duduk disana dengan kepala tertunduk dan kedua tangan terborgol ke belakang. Kedua matanya ditutup menggunakan kain hitam. Bajunya telah bercampur keringat dan darah yang mengering. Wajahnya bersih, tidak mengalami cacat luka atau kulit yang terkelupas walaupun satu inci.  Tapi cara duduknya menampakkan bahwa ia sangat tegang dan tertekan. Posisinya siap untuk menunggu apalagi yang akan terjadi dengan tubuhnya. Hanya sedikit sisa kesadaran yang dimilikinya bahwa nyawanya belum tercabut dari raganya. Hal itu ia yakinkan sendiri lewat kedua telinganya yang dipasangnya sebagai ganti penglihatannya yang tertutup.
Kolonel berbaret hitam dan memegang tongkat itu berdiri di depan Fajar. Ia diapit dua serdadu berbaret hitam juga. Wajahnya sedikit menunjukkan keramahan dan ia bicara dengan sangat tenang.
“Kami akan membebaskanmu…”
Tiba-tiba kesadaran Fajar kembali sepenuhnya. Ia merasa dirinya terlempar jauh ke langit menemukan cahaya kehidupan.
“Tapi ingat, kami sudah tahu siapa kamu. Kamu tinggal dengan ibu dan dua adikmu. Ayahmu sudah meninggal dan kamu bekerja sebagai sopir pengantar roti di toko Tan, dan juga sebagai sopir di rumah seorang purnawirawan Angkatan Darat.” Kalimat itu meluncur seperti dibacanya dari sebuah tulisan. “Tapi bukan karena kamu dekat purnawirawan itu dibebaskan. Meskipun kamu akan melapor kepada Panglima Kodam atau Panglima Tinggi sekalipun, kami tetap bisa melampauinya. Atau Kontras? Tidak, mereka tidak bisa menjagamu terus menerus. Satu hari kamu mungkin bisa lolos, satu minggu atau satu bulan,  bahkan satu tahun. Tapi dalam satu hari, satu minggu, satu bulan dan satu tahun itu, pasti ada waktu dimana kamu lengah, dan saat itulah kami selesaikan tugas kami!” 
Kesadarannya yang telah kembali tetap tidak bisa mencegah bulu kuduk Fajar berdiri. Baginya itu sebuah ancaman yang sangat amat serius. Bayangan kematian sangat jelas pada setiap kalimat yang didengarnya itu. Ia memang telah siap menghadapi kematiannya ketika pertama kali menyadari bahwa ia diculik. Sebuah kematian yang pasti tidak wajar. Mungkin ia akan dipotong tujuh belas dan mayatnya dibuang ke laut sebagai santapan ikan yang kelaparan.
Ia telah melihat kematian bapaknya sebagai akibat dari sebuah kejahatan manusia. Dalam perkelahian yang adil, ia yakin bapaknya akan menang. Tapi menghadapi beberapa orang dengan clurit dan golok setajam pisau daging, nyalinya melayang juga. Dan tubuh ayahnya terkoyak-koyak seperti tercabik cakar serigala. Manusia lebih tinggi kedudukannya daripada malaikat, tapi celakanya manusia diberi nafsu yang lebih kejam daripada binatang.
            Ruangan itu senyap.
            Tapi halaman Universitas itu sedang bergemuruh. Ratusan mahasiswa berkumpul untuk berteriak. Tulisan terbentang, bendera dikibarkan dan tangan terkepal. Semua menyimpan kemarahan yang meledak-ledak. Berdiri diatas mimbar, Inaya berikat kepala putih. Ia  berteriak lantang dibawah matahari pukul duabelas.
            “Kita harus terus maju. Penculikan teman-teman kita adalah bukti, rezim ini harus dilawan!!!”
            "Lawaaan!!!
Gemuruh memenuhi halaman Universitas.
Kali ini gemuruh itu disertai dengan kemarahan di ubun-ubun kepala mereka. Keadaan menjadi semakin tidak pasti. Perubahan harus terjadi.   Termasuk Inaya yang juga berubah dan telah terjun ke gelanggang tampil sebagai pengganti Fajar. Gadis itu menarik perhatian lebih banyak dari sebelumnya dari massa. Masih lebih kepada kekaguman mereka karena Inaya seorang perempuan yang cantik dan menarik, selebihnya boleh apasaja. Termasuk alasan Inaya sebagai pengganti Fajar, orang yang dicintainya.
Disudut lapangan, Rosita terharu melihatnya. Ia terpaksa harus mengakui kalau ia cemburu pada gadis itu. Diluar soal Fajar, ia lebih cemburu kepada keberanian Inaya dan kesempatan yang dimilikinya. Kalau saja ia dulu mempunyai kehidupan seperti saat dimana pergerakan mahasiswa terjadi secara besar-besaran seperti sekarang. Ia mengharapkan sepenuhnya kalau tampilnya Inaya sebagai penerus Fajar. Ia telah kehilangan tokoh, ia yakin hanya untuk sementara, dan sekarang ia menemukan kelanjutan kisahnya. Harry disampingnya sudah mengambil posisinya.
 “Kita mengambil pengantar dulu,” kata Harry memberi tahu Rosita. 
            Rosita segera mengambil posisi dengan latar belakang Inaya berpidato. Harry segera menghitung mundur. “Lima, empat, tiga, dua, satu….!”
“Saudara, patah tumbuh hilang berganti. Gerakan mahasiswa tampaknya tidak bisa dihentikan oleh hilangnya kawan mereka yang diduga kuat diculik…..”
Siaran itu mengudara ke seluruh negeri. Mengetuk setiap pintu rumah dan mengabarkan bahwa perubahan sedang terjadi dan semua orang diminta untuk bereaksi. Telah begitu lama orang tidak bisa memperoleh kabar yang jujur soal negeri ini, karena berita yang akan disampaikan oleh para pewarta telah dimanipulasi. Kebenaran telah disimpan dalam sebuah tempat yang gelap dan dijaga ketat seolah-olah merupakan benda pusaka yang harus selalu di rawat.  Selama bertahun-tahun orang hanya mengetahui negeri mereka memang aman dan nyaman untuk ditinggali. Para turis berdatangan sampai ke pelosok desa di kaki bukit, di tepi laut, dan mereka selalu kembali datang karena terkagum-kagum dengan keramahtamahan penduduknya, bahkan mereka menganggap sebagai  masyarakat paling sopan di dunia.  
Tapi kejadian di Ibukota yang disiarkan lewat televisi telah membuka seluruh kesadaran bahwa sesuatu telah terjadi dengan sangat serius.
***
Rosita dipanggil Roy Ambyah dengan mendadak. Ia segera bisa mencium bau tidak enak. Dengan suasana hati yang masih tidak menentu, ia menuju ruangan Roy. Baru saja ia melangkah masuk, Roy sudah menunggunya dengan berdiri dan menyodorkan selembar surat berkop Departemen Penerangan, dan berkata, "Saya merasa ada sesuatu yang harus kita pertimbangkan."
"Baik, Pak. Saya akan membacanya setelah saya selesai meliput nanti malam."
Roy dengan tegas mendesak, "Sita, bacalah sekarang."
Rosita merasa suasana sedang menegangkan di ruangan itu. Tanpa duduk, ia segera membacanya. Pesannya sangat jelas dan ia tidak perlu dua kali untuk membacanya, tapi ia masih tidak mempercayainya. Dengan sinis dia berkata, “Saya kira semua telah berubah."
"Siapa yang mengira belum."
"Saya tidak habis mengerti, ada persoalan besar yang mengancam keutuhan bangsa ini, tapi betapa reporter kecil seperti saya masih sempat mereka urusi?”
            “Semua orang sedang diurusi sekarang.”
            “Kali ini saya akan menggunakan hak jawab saya, meski perusahaan tidak mendukung saya.”
            “Ini bukan perkara tanya jawab, tapi peringatan keras bahwa kamu harus menghindari apa yang mereka sebutkan sebagai tuduhan yang memojokkan.”
            “Saya melaporkan kasus penculikan itu berdasarkan data Kontras.” Nada Rosita meninggi.
            “Saya sudah menjelaskannya kepada Chief Eksekutif kita.”
“Dan saya yakin beliau tidak mau tahu.” Rosita menyambung kalimat itu dengan geram. “Terimakasih, saya harus meliput demonstrasi mahasiswa.”
Rosita segera menghilang dan satu jam kemudian ia sudah kembali ditengah-tengah massa mahasiswa berdemonstrasi. Ia akan terus meliput dan menyiarkan apa yang dilihat dan dirasakannya. Ia sadar betul surat yang ditujukan kepadanya itu serius. Tapi ia harus tetap merekam seluruh kejadian yang boleh dan tidak boleh direkam. Ia akan bicara apa yang didengar dan dilihatnya, karena ia masih punya nyali untuk berkata jujur. Kebenaran tidak bisa dikalahkan kecuali oleh kebenaran itu sendiri.
(bersambung)

No comments: