Monday, July 12, 2010

1998 (16)


BAB DUAPULUHDUA


Televisi dan radio terus menerus memberitakan bahwa Ibukota telah mengalami bumi hangus secara terjadwal. Ribuan massa yang tidak jelas darimana datangnya, sepanjang hari telah turun ke jalan-jalan di wilayah pusat perdagangan dan perkantoran. Mereka mengamuk, membakar mobil,  mengajak massa masyarakat untuk menjarah toko dan kemudian membakarnya. Jalan-jalan raya penuh dengan bongkahan api dari bangkai mobil dan barang mewah lainnya. Tidak ada penjelasan di televisi dan radio alasan kejadian itu semua. Mereka hanya memberitahu. Tidak ada yang tahu tentang alasan itu.
Tapi Hartawan tahu kenapa Inaya mengeluarkan airmata untuk Fajar yang terbujur kaku di ruang operasi. Ia tidak tahu apakah istrinya dulu pernah mengeluarkan airmata kecuali saat upacara perkawinan mereka. Untuk masalah keluarga ia yakin istrinya pernah menangis, tapi untuk dirinya sendiri ia telah lupa apakah pernah menangisinya.
“Fajar mengaku diculik oleh sekelompok orang yang diyakininya sebagai tentara. Dia bilang dia disiksa seperti binatang, bahkan ada orang yang diculik ditembak kepalanya sampai pecah….” Inaya bicara dengan lancar meski airmatanya terus keluar.
Hartawan diam, menyimpan duka dan marah.
“Saya tidak tahu kita sebenarnya hidup di negeri apa.” Suara Inaya semakin tegas. “Saya yakin teman-teman saya sedang mempertimbangkan apakah mereka harus menghormati mereka yang katanya pelindung rakyat.”
Hartawan merasa harus pergi. Ubun-ubunnya sudah menguap.
“Kalau mereka yakin bahwa tindakan biadab mereka akan berlalu tanpa adanya tindakan hukum, kita boleh mengharapkan lebih banyak mahasiswa yang mati tertembak!" Inaya merasakan lega didadanya.
Inaya tidak mencegah ayahnya pergi. Ia sudah puas.

Tapi Rosita belum puas. Ia masih berkeliaran di jalan raya seperti binatang malam mencari mangsa berikutnya. Walaupun berkali-kali ditelepon lewat handphone untuk kembali ke kantor, Rosita tidak mengindahkannya. Ia merasa harus selalu di lapangan untuk meliput. Malam sudah mencekam. Lampu kota telah berubah menjadi bola api-bola api yang bertaburan dimana-mana. Kondisinya masih lebih baik dari Harry yang benar-benar kacau. Tangan dan matanya bukan mesin seperti kamera yang ditentengnya.
Rosita tahu rekannya itu sudah kepayahan. Dering handphone untuk yang kesekian puluh kalinya, akhirnya membuatnya berteriak kesal, “Ya, kami segera datang!” Ia menuju Harry, “Kita harus cepat menyingkir. Tentara mau datang!”
“Apa?!”
“Aku harus siaran!”
"Tapi sayang sekali....."
"Kita dipanggil pulang!!" Rosita sudah bergegas berlari. Harry mau tidak mau mengikutinya sambil masih terus merekam gambar apasaja yang bisa diambilnya. 
***
Beberapa jam kemudian, jalan-jalan utama Ibukota sudah dipenuhi tentara dan mobil-mobil lapis baja. Pagar kawat berduri melintang di mana-mana, menutup ruas jalan dan semakin menegaskan kepada setiap orang bahwa Ibukota sedang dalam bahaya. Mobil-mobil pribadi entah bersembunyi di benteng mana atau bahkan telah melarikan diri ke lapangan udara dan segera terbang ke negeri impian. Ketegangan menjalar di setiap sudut kota. Setiap detik berlalu dengan kecemasan. Televisi dan radio terus memberitakan ibukota dilanda kerusuhan dan aparat keamanan belum bisa mengatasinya.  
***
Rosita tidak pernah kembali ke kantornya. Tapi ke rumah sakit. Ia nyaris tidak bisa menguasai dirinya ketika mengetahui bahwa Fajar meninggal. Ia menangis sejadi-jadinya melihat laki-laki muda itu terbujur kaku. Ia tidak tahu menangis untuk Fajar atau untuk kemalangan hidupnya. Ketika memutuskan menjadikan Fajar tokoh reportasenya, ia tidak pernah menginginkan kisah tragis seperti itu. Pemuda itu mempunyai naluri yang peka, tapi nasib hidupnya terlalu buruk. Ia nyaris jatuh cinta kalau saja ia tidak tahu Inaya sudah menjadi pilihan hati pemuda itu.
 Beberapa mahasiswa sedang membacakan ayat Al Qur’an.
Inaya menangis dengan mata sudah bengkak. Badannya menggigil. Entah dimana pikirannya sekarang. Orang yang dicintainya dan pelabuhan terakhir dimana hatinya tertambat, telah mati dengan cara yang sangat menyedihkan. Hilang sudah bunga cinta yang sedang mekar di dadanya. Suara tangisnya tidak lagi bisa keluar karena tenggorokannya telah kering. Airmatanya nyaris habis dan tenaga di tubuhnya lenyap. 
Ibu Fajar telah pingsan berkali-kali sampai tubuhnya sangat lemas. Anak kebanggaannya telah pergi menyusul ayahnya ke alam kubur. Berakhir sudah babak kehidupan yang membanggakannya. Ia menyesali kenapa sempat menghalangi hubungannya dengan Inaya. Kalau boleh memilih sekarang, ia rela kehilangan pekerjaannya asal anak lelakinya bisa bahagia dengan Inaya. Bahkan seandainya ia harus di penjara karena kemiskinannya akibat tuntutan majikannya sebagai ganti Fajar menikah dengan Inaya, akan ia terima dengan senang hati. Ia rela melakukan apasaja untuk kebahagiaan Fajar. Walaupun nyawanya sebagai gantinya.
 Hawa kematian sedang memenuhi sudut-sudut rumah sakit.
***
Rosita mengajak Inaya menyingkir karena tidak bisa bertahan lama di ruang kematian itu. “Kita sama-sama menyayangi Fajar, “ Rosita membuka kebisuan.
“Atau jangan-jangan kita hanya simpati pada kesialan hidupnya.”
Rosita kaget mendengar jawaban Inaya. “Yang saya tahu kamu sangat mencintainya.”
“Fajar membuka mata saya bahwa cinta kami hanya keniscayaan jaman. Sebuah sejarah yang akan terus terulang.”
Negeri ini mempunyai banyak kisah cinta seperti Fajar dan Inaya. Perbedaan kelas sosial telah mengoyak-oyak dua manusia yang saling mencintai. Padahal perkara cinta adalah persoalan hati seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kaya dan miskin menjadi dua hal yang selalu dipertentangkan. Kemiskinan bagi si kaya adalah ikhtiar yang selalu di jauhkan, sedang bagi si miskin kekayaan bukan hanya ikhtiar yang selalu diusahakan, melainkan seberapa banyak kekayaan harus diukur karena manusia selalu merasa tidak cukup.
Rosita melihat Inaya mencintai Fajar tanpa harus mengelak bahwa ia majikannya. Tapi berapa banyak kisah seperti itu yang harus berakhir dengan kebahagiaan? Kematian adalah jalan keluar yang sering dipilih untuk memisahkan keduanya. Rosita tidak tahu apakah Fajar sengaja disingkirkan untuk memutuskan hubungan cinta dengan Inaya. Alasan itu jelas ada, tapi betapa hebatnya rencana pekerjaan itu, karena  Fajar telah menjadi tokoh yang amat diperhitungkan.
“Dia menceritakan soal penculikannya?”
“Banyak, bahkan kalau saja boleh saya akan tunjuk hidung siapa pelakunya.”
Rosita benar-benar yakin sedang berada ditengah-tengah peristiwa besar. Celakanya ia tidak pernah bisa sampai kepada kesimpulan yang mendekati kenyataan. Selalu jalan buntu yang ditemuinya. Benar kata kakeknya, negeri ini mempunyai sejarah yang gelap, sejarah yang dimanipulasi dan ditutupi. Tidak untuk masa lalu, juga untuk masa sekarang dan mungkin juga masa depan.
Ia tidak bisa membayangkan generasi masa depan negeri ini tidak pernah benar-benar tahu sejarahnya sendiri. Mereka hanya akan jadi generasi yang hilang, yang tidak pernah tahu siapa pahlawan dan penghianat negeri mereka.      
(bersambung)

No comments: