BAB DUAPULUHDUA
Televisi dan radio terus menerus memberitakan
bahwa Ibukota telah mengalami bumi hangus secara terjadwal. Ribuan massa yang
tidak jelas darimana datangnya, sepanjang hari telah turun ke jalan-jalan di
wilayah pusat perdagangan dan perkantoran. Mereka mengamuk, membakar mobil, mengajak massa masyarakat untuk
menjarah toko dan kemudian membakarnya. Jalan-jalan raya penuh dengan bongkahan
api dari bangkai mobil dan barang mewah lainnya. Tidak ada penjelasan di
televisi dan radio alasan kejadian itu semua. Mereka hanya memberitahu. Tidak ada
yang tahu tentang alasan itu.
Tapi Hartawan tahu kenapa
Inaya mengeluarkan airmata untuk Fajar yang terbujur kaku di ruang operasi. Ia
tidak tahu apakah istrinya dulu pernah mengeluarkan airmata kecuali saat
upacara perkawinan mereka. Untuk masalah keluarga ia yakin istrinya pernah
menangis, tapi untuk dirinya sendiri ia telah lupa apakah pernah menangisinya.
“Fajar mengaku diculik oleh
sekelompok orang yang diyakininya sebagai tentara. Dia bilang dia disiksa
seperti binatang, bahkan ada orang yang diculik ditembak kepalanya sampai
pecah….” Inaya bicara dengan lancar meski airmatanya terus keluar.
Hartawan diam, menyimpan duka
dan marah.
“Saya tidak tahu kita
sebenarnya hidup di negeri apa.” Suara Inaya semakin tegas. “Saya yakin
teman-teman saya sedang mempertimbangkan apakah mereka harus menghormati mereka
yang katanya pelindung rakyat.”
Hartawan merasa harus pergi.
Ubun-ubunnya sudah menguap.
“Kalau mereka yakin bahwa
tindakan biadab mereka akan berlalu tanpa adanya tindakan hukum, kita boleh
mengharapkan lebih banyak mahasiswa yang mati tertembak!" Inaya merasakan
lega didadanya.
Inaya tidak mencegah ayahnya
pergi. Ia sudah puas.
Tapi Rosita belum puas. Ia
masih berkeliaran di jalan raya seperti binatang malam mencari mangsa
berikutnya. Walaupun berkali-kali ditelepon lewat handphone untuk kembali ke
kantor, Rosita tidak mengindahkannya. Ia merasa harus selalu di lapangan untuk
meliput. Malam sudah mencekam. Lampu kota telah berubah menjadi bola api-bola
api yang bertaburan dimana-mana. Kondisinya masih lebih baik dari Harry yang
benar-benar kacau. Tangan dan matanya bukan mesin seperti kamera yang
ditentengnya.
Rosita tahu rekannya itu sudah
kepayahan. Dering handphone untuk yang kesekian puluh kalinya, akhirnya membuatnya
berteriak kesal, “Ya, kami segera datang!” Ia menuju Harry, “Kita harus cepat
menyingkir. Tentara mau datang!”
“Apa?!”
“Aku harus siaran!”
"Tapi sayang
sekali....."
"Kita dipanggil
pulang!!" Rosita sudah bergegas berlari. Harry mau tidak mau mengikutinya
sambil masih terus merekam gambar apasaja yang bisa diambilnya.
***
Beberapa jam kemudian,
jalan-jalan utama Ibukota sudah dipenuhi tentara dan mobil-mobil lapis baja.
Pagar kawat berduri melintang di mana-mana, menutup ruas jalan dan semakin
menegaskan kepada setiap orang bahwa Ibukota sedang dalam bahaya. Mobil-mobil
pribadi entah bersembunyi di benteng mana atau bahkan telah melarikan diri ke
lapangan udara dan segera terbang ke negeri impian. Ketegangan menjalar di
setiap sudut kota. Setiap detik berlalu dengan kecemasan. Televisi dan radio
terus memberitakan ibukota dilanda kerusuhan dan aparat keamanan belum bisa
mengatasinya.
***
Rosita tidak pernah kembali ke
kantornya. Tapi ke rumah sakit. Ia nyaris tidak bisa menguasai dirinya ketika
mengetahui bahwa Fajar meninggal. Ia menangis sejadi-jadinya melihat laki-laki
muda itu terbujur kaku. Ia tidak tahu menangis untuk Fajar atau untuk
kemalangan hidupnya. Ketika memutuskan menjadikan Fajar tokoh reportasenya, ia
tidak pernah menginginkan kisah tragis seperti itu. Pemuda itu mempunyai naluri
yang peka, tapi nasib hidupnya terlalu buruk. Ia nyaris jatuh cinta kalau saja
ia tidak tahu Inaya sudah menjadi pilihan hati pemuda itu.
Beberapa mahasiswa sedang membacakan ayat Al Qur’an.
Inaya menangis dengan mata
sudah bengkak. Badannya menggigil. Entah dimana pikirannya sekarang. Orang yang
dicintainya dan pelabuhan terakhir dimana hatinya tertambat, telah mati dengan
cara yang sangat menyedihkan. Hilang sudah bunga cinta yang sedang mekar di
dadanya. Suara tangisnya tidak lagi bisa keluar karena tenggorokannya telah
kering. Airmatanya nyaris habis dan tenaga di tubuhnya lenyap.
Ibu Fajar telah pingsan
berkali-kali sampai tubuhnya sangat lemas. Anak kebanggaannya telah pergi
menyusul ayahnya ke alam kubur. Berakhir sudah babak kehidupan yang
membanggakannya. Ia menyesali kenapa sempat menghalangi hubungannya dengan
Inaya. Kalau boleh memilih sekarang, ia rela kehilangan pekerjaannya asal anak
lelakinya bisa bahagia dengan Inaya. Bahkan seandainya ia harus di penjara
karena kemiskinannya akibat tuntutan majikannya sebagai ganti Fajar menikah
dengan Inaya, akan ia terima dengan senang hati. Ia rela melakukan apasaja
untuk kebahagiaan Fajar. Walaupun nyawanya sebagai gantinya.
Hawa kematian sedang memenuhi sudut-sudut rumah sakit.
***
Rosita mengajak Inaya
menyingkir karena tidak bisa bertahan lama di ruang kematian itu. “Kita
sama-sama menyayangi Fajar, “ Rosita membuka kebisuan.
“Atau jangan-jangan kita hanya
simpati pada kesialan hidupnya.”
Rosita kaget mendengar jawaban
Inaya. “Yang saya tahu kamu sangat mencintainya.”
“Fajar membuka mata saya bahwa
cinta kami hanya keniscayaan jaman. Sebuah sejarah yang akan terus terulang.”
Negeri ini mempunyai banyak
kisah cinta seperti Fajar dan Inaya. Perbedaan kelas sosial telah mengoyak-oyak
dua manusia yang saling mencintai. Padahal perkara cinta adalah persoalan hati
seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kaya dan miskin menjadi dua hal yang
selalu dipertentangkan. Kemiskinan bagi si kaya adalah ikhtiar yang selalu di
jauhkan, sedang bagi si miskin kekayaan bukan hanya ikhtiar yang selalu
diusahakan, melainkan seberapa banyak kekayaan harus diukur karena manusia
selalu merasa tidak cukup.
Rosita melihat Inaya mencintai
Fajar tanpa harus mengelak bahwa ia majikannya. Tapi berapa banyak kisah
seperti itu yang harus berakhir dengan kebahagiaan? Kematian adalah jalan
keluar yang sering dipilih untuk memisahkan keduanya. Rosita tidak tahu apakah
Fajar sengaja disingkirkan untuk memutuskan hubungan cinta dengan Inaya. Alasan
itu jelas ada, tapi betapa hebatnya rencana pekerjaan itu, karena Fajar telah menjadi tokoh yang amat
diperhitungkan.
“Dia menceritakan soal
penculikannya?”
“Banyak, bahkan kalau saja
boleh saya akan tunjuk hidung siapa pelakunya.”
Rosita benar-benar yakin
sedang berada ditengah-tengah peristiwa besar. Celakanya ia tidak pernah bisa
sampai kepada kesimpulan yang mendekati kenyataan. Selalu jalan buntu yang
ditemuinya. Benar kata kakeknya, negeri ini mempunyai sejarah yang gelap,
sejarah yang dimanipulasi dan ditutupi. Tidak untuk masa lalu, juga untuk masa
sekarang dan mungkin juga masa depan.
Ia tidak bisa membayangkan
generasi masa depan negeri ini tidak pernah benar-benar tahu sejarahnya
sendiri. Mereka hanya akan jadi generasi yang hilang, yang tidak pernah tahu
siapa pahlawan dan penghianat negeri mereka.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment