Pagi itu langit berwarna kelam, seperti sengaja
mengiringi suasana duka di bumi. Iring-iringan pelayat itu begitu panjang.
Sebuah karnaval kematian menuju pemakaman yang telah penuh sesak. Seperti
pemakaman seorang pahlawan besar dan disesali kematiannya.
Rosita tampak pucat karena
kurang tidur, tapi ia memaksakan diri berdiri diantara ratusan orang pelayat
yang mengantarkan keranda jenazah Fajar Sidik. Ia memaksa Roy Ambyah untuk siaran
live, dengan risiko apapun. Ia rela kalau siarannya kali ini adalah siaran
terakhirnya. Ia telah mempertaruhkan segalanya untuk karirnya. Bahkan nyawanya
yang selembar telah ia siapkan untuk dicabut. Ia sangat siap untuk mati. Ia
bergidik. Emosinya benar-benar menguasai seluruh kesadarannya. Sejauh itu ia
benar-benar tidak tahu untuk apa dan siapa serta kenapa ia bersedia berkorban
demikian jauh.
“Hari ini adalah saksi betapa
sebuah kematian adalah sebuah kehilangan besar,” Rosita memulai siarannya setelah
kamerawannya memberi kode mulai. “Fajar yang gugur sebagai pahlawan,
sepantasnya sebutan itu ditujukan kepadanya, adalah bukti bahwa rezim penguasa
yang mengandalkan pendekatan keamanan harus dilawan!!”
Massa mahasiswa yang bercampur
dengan masyarakat, berebut keranda jenazah Fajar. Ikat kepala mereka
bertuliskan REFORMASI. Inaya berjalan memapah Ibu Fajar dibantu dua adik Fajar
yang terus menerus menangis. Inaya tidak peduli melihat ayahnya berada diantara
para purnawirawan yang datang melayat. Bahkan andai ada Ibunya, ia tidak perlu
menangis di bahunya.
Orangtuanya tidak pernah
mengerti apa yang sedang di lakukannya. Mereka hanya merasa memiliki dan
menguasai, tapi tidak pernah memberi penawaran. Orangtua seringkali menginginkan anak-anaknya menjadi
kebanggaannya. Tapi baginya justru itu kesalahan terbesar orangtua.
Puluhan lampu kilat, sorotan
lampu kamera, taburan bunga, teriakan tangis dan kumandang doa, mengiringi kain
kafan putih masuk ke dalam liang kubur. Jutaan mata di lain tempat sedang melihat
hal yang sama di televisi. Barangkali di sebuah warung nasi pinggir jalan.
Barangkali di terminal bis yang berisi preman dan pencuri. Barangkali di sebuah
kamar sumpek Pelacur. Barangkali di sudut desa terpencil di kaki bukit.
Langit di atas mengandung
badai.
***
Di sebuah ruangan, di dalam gedung tua, wajah-wajah tua
tampak murung. Hartawan duduk diantara para Purnawirawan yang telah berusia
diatas tujuhpuluh tahun. Seorang laki-laki berkacamata yang rambutnya telah memutih
semua berdiri dengan wajah tegang.
“Kita harus menentukan sikap.”
Suaranya gemetar. “Tidak bisa kita terus menerus diam tanpa membuat keputusan
yang diperhitungkan pihak penguasa.”
“Apakah kita masih punya
suara?” Seorang Purnawirawan tampak putus asa, dengan sisa kesedihan yang
dalam.
“Hanya ada dua pilihan,”
Hartawan berdiri dengan sigap. “Kita yang hancur atau mereka memilih berhadapan
dengan kita.”
Wajah-wajah tua itu menjadi
tegang.
Seorang Purnawirawan angkatan
Laut menggosok-gosokkan telapak tangannya. “Berapa kekuatan yang kita miliki?”
“Siapa bilang kita akan
melawan dengan senjata.”
“Ya, kita tidak akan melawan
dengan senjata,” Laki-laki berambut putih itu menegaskan.
Keputusan pun telah dibuat.
Mereka yang dulu mempunyai kekuasaan untuk memberi perintah perang kepada anak
buahnya, sekarang harus membuat komando perang untuk diri mereka sendiri. Dan
musuh yang mereka hadapi tidak lain adalah generasi penerus mereka. Dunia
militer adalah dunia yang tidak mengenal kata tidak. Putih harus putih, hitam
harus hitam. Siapa yang melawan dan merubahnya, bukan termasuk dunia militer.
Akan tetapi usia ternyata bisa
merubah kata tidak. Perang tetap menjadi perang, tapi otak waras masih
dipergunakan untuk membuat pertimbangan bahwa hitam itu buruk dan putih itu
baik. Dan berapa banyak otak waras seperti itu yang bersemayam di kepala para
Purnawirawan.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment