Monday, July 12, 2010

1998 (17)

BAB DUAPULUHTIGA
 

Pagi itu langit berwarna kelam, seperti sengaja mengiringi suasana duka di bumi. Iring-iringan pelayat itu begitu panjang. Sebuah karnaval kematian menuju pemakaman yang telah penuh sesak. Seperti pemakaman seorang pahlawan besar dan disesali kematiannya.
Rosita tampak pucat karena kurang tidur, tapi ia memaksakan diri berdiri diantara ratusan orang pelayat yang mengantarkan keranda jenazah Fajar Sidik. Ia memaksa Roy Ambyah untuk siaran live, dengan risiko apapun. Ia rela kalau siarannya kali ini adalah siaran terakhirnya. Ia telah mempertaruhkan segalanya untuk karirnya. Bahkan nyawanya yang selembar telah ia siapkan untuk dicabut. Ia sangat siap untuk mati. Ia bergidik. Emosinya benar-benar menguasai seluruh kesadarannya. Sejauh itu ia benar-benar tidak tahu untuk apa dan siapa serta kenapa ia bersedia berkorban demikian jauh.
“Hari ini adalah saksi betapa sebuah kematian adalah sebuah kehilangan besar,” Rosita memulai siarannya setelah kamerawannya memberi kode mulai. “Fajar yang gugur sebagai pahlawan, sepantasnya sebutan itu ditujukan kepadanya, adalah bukti bahwa rezim penguasa yang mengandalkan pendekatan keamanan harus dilawan!!”

Massa mahasiswa yang bercampur dengan masyarakat, berebut keranda jenazah Fajar. Ikat kepala mereka bertuliskan REFORMASI. Inaya berjalan memapah Ibu Fajar dibantu dua adik Fajar yang terus menerus menangis. Inaya tidak peduli melihat ayahnya berada diantara para purnawirawan yang datang melayat. Bahkan andai ada Ibunya, ia tidak perlu menangis di bahunya.
Orangtuanya tidak pernah mengerti apa yang sedang di lakukannya. Mereka hanya merasa memiliki dan menguasai, tapi tidak pernah memberi penawaran.  Orangtua seringkali menginginkan anak-anaknya menjadi kebanggaannya. Tapi baginya justru itu kesalahan terbesar orangtua.
Puluhan lampu kilat, sorotan lampu kamera, taburan bunga, teriakan tangis dan kumandang doa, mengiringi kain kafan putih masuk ke dalam liang kubur. Jutaan mata di lain tempat sedang melihat hal yang sama di televisi. Barangkali di sebuah warung nasi pinggir jalan. Barangkali di terminal bis yang berisi preman dan pencuri. Barangkali di sebuah kamar sumpek Pelacur. Barangkali di sudut desa terpencil di kaki bukit.
Langit di atas mengandung badai.
***
Di sebuah ruangan, di  dalam gedung tua, wajah-wajah tua tampak murung. Hartawan duduk diantara para Purnawirawan yang telah berusia diatas tujuhpuluh tahun. Seorang laki-laki berkacamata yang rambutnya telah memutih semua  berdiri dengan wajah tegang.
“Kita harus menentukan sikap.” Suaranya gemetar. “Tidak bisa kita terus menerus diam tanpa membuat keputusan yang diperhitungkan pihak penguasa.”
“Apakah kita masih punya suara?” Seorang Purnawirawan tampak putus asa, dengan sisa kesedihan yang dalam.
“Hanya ada dua pilihan,” Hartawan berdiri dengan sigap. “Kita yang hancur atau mereka memilih berhadapan dengan kita.”
Wajah-wajah tua itu menjadi tegang.
Seorang Purnawirawan angkatan Laut menggosok-gosokkan telapak tangannya. “Berapa kekuatan yang kita miliki?”
“Siapa bilang kita akan melawan dengan senjata.”
“Ya, kita tidak akan melawan dengan senjata,” Laki-laki berambut putih itu menegaskan. 
Keputusan pun telah dibuat. Mereka yang dulu mempunyai kekuasaan untuk memberi perintah perang kepada anak buahnya, sekarang harus membuat komando perang untuk diri mereka sendiri. Dan musuh yang mereka hadapi tidak lain adalah generasi penerus mereka. Dunia militer adalah dunia yang tidak mengenal kata tidak. Putih harus putih, hitam harus hitam. Siapa yang melawan dan merubahnya, bukan termasuk dunia militer.
Akan tetapi usia ternyata bisa merubah kata tidak. Perang tetap menjadi perang, tapi otak waras masih dipergunakan untuk membuat pertimbangan bahwa hitam itu buruk dan putih itu baik. Dan berapa banyak otak waras seperti itu yang bersemayam di kepala para Purnawirawan.
 (bersambung)

No comments: