BAB DUAPULUHEMPAT
Seperti yang telah diperkirakan jauh sebelumnya,
Rosita Ibrahim akhirnya menerima surat pemecatannya. Roy Ambyah menyodorkan
surat itu dengan wajah sedih seolah kehilangan kekasih yang sangat di
cintainya. Rosita membacanya tanpa satu katapun tertinggal. Ia pernah membaca
surat semacam itu, tapi yang ini isinya membuat batok kepalanya langsung
menguap. Atasannya itu tampak berjalan kesana kemari sambil menyembunyikan
kesedihan wajahnya.
“Saya terima keputusan ini.”
Rosita bersiap keluar ruangan.
“Kita perlu bicara.”
“Saya pikir surat ini sudah
jelas. Datang dari mabes agar saya dipecat!”
“Kamu juga tahu disitu
termasuk saya.”
“Apalagi yang bapak tunggu disini.
Chief toh tak bakal bisa menolong kita.”
“Masalahnya tidak sesederhana
itu.”
“Bagi saya justru terlalu
sepele. Kalau berpikir untuk menuntut, betapa gobloknya pikiran itu.”
“Kita akan diam saja?”
“Kakek saya pernah bilang,
yang waras yang harus mengalah.” Rosita meraih pintu keluar, tapi ia masih
melanjutkan bicara, “Saya merasa saya masih waras.”
Roy tampak sangat marah.
Rosita tahu gerak-geriknya
telah lama di awasi. Bukan oleh atasannya yang berwenang apakah kinerjanya baik
atau mengecewakan, tapi oleh suatu instansi pemerintah yang sama sekali tidak
ada hubungannya. Keputusan yang justru tidak datang dari penilaian atasannya
sendiri, tapi penilaian aparat keamanan. Kemerdekaan di negeri ini ternyata
hanya dimiliki sebagian kecil golongan. Dan ia bukan termasuk yang beruntung
memperoleh kemerdekaan yang diagung-agungkan itu, yang katanya datangnya dari
kekuasaan Tuhan.
Siapakah yang ber Tuhan dan
siapakah yang menghianati adanya peran Tuhan. Isi kepala Rosita bertambah satu
pengetahuan. Ia perlu segera ke tempat kakeknya untuk menyimpan pengetahuan
itu. Tapi kakeknya tampak sekali sedang berduka. Ia duduk ditengah ruangan yang
gelap. Ketika Rosita hendak menyalakan saklar lampu, dihardiknya dengan keras.
“Biarkan lampu itu mati.
Negeri ini sedang gelap.”
“Hari ini saya dipecat.”
“Kamu hanya kehilangan
pekerjaan, tapi aku telah kehilangan segala-galanya.” Hadi seperti mau
menangis. “Sekarang aku juga kehilangan Ong.”
“Apa yang terjadi dengan Pak
Ong?”
“Dia mati kena serangan
jantung mendengar cucunya di perkosa di Glodok.” Sekarang Hadi benar-benar
menangis.
Baru kali ini Rosita melihat
kakeknya menangis dan ia tidak bisa menahan bibit airmatanya sendiri untuk
keluar. Tangis terakhir kakeknya ia lihat ketika neneknya meninggal. Pada
saat-saat tertentu, kakeknya adalah laki-laki rapuh.
“Tidak perlu kau tangisi,”
Hadi sudah bisa menghentikan tangisnya seketika. “Negeri ini masih butuh banyak
darah lagi sebagai tumbal.”
“Saya akan meneruskan menulis
buku kakek.”
“Itu mungkin lebih baik. Di
negeri ini perintah dilaksanakan. Orang mati."
"Tapi kenapa?"
"Seringkali alasan tidak
diperlukan."
"Apa itu berarti ada
alasan lain dibelakang ini?"
"Kamu masih punya
kesempatan mencari jawaban itu sendiri."
Apa yang selama ini Rosita
lakukan, itulah yang harus dia lakukan. Soal kejujuran tergantung seberapa
banyak kebohongan yang ia sembunyikan. Kecuali untuk soal pribadi, Rosita
merasa telah jujur sepanjang karirnya.
Mungkin kejujuran itu juga yang membuatnya dipecat dari pekerjaannya.
Mungkin juga kejujuran yang membuat Fajar harus mati diujung senapan.
***
Inaya telah memutuskan untuk
meneruskan apa yang selama ini Fajar lakukan. Ia dipaksa untuk memulai hidup
baru. Apa yang akan dihadapinya kelak ia tidak pernah tahu. Baginya yang
penting ia harus melakukan sesuatu yang berarti. Satu-satunya yang berarti
sekarang adalah menggalang semangat sesama teman seperjuangan.
“Apa yang akan kita lakukan
selanjutnya harus lebih berarti dan diperhitungkan,” Inaya bicara didepan
teman-temannya. Ia telah mendapat simpati untuk tampil sebagai penerus Fajar.
Seorang mahasiswa datang
dengan tergesa-gesa dan nampaknya membawa berita, “Ada berita bahwa Jarot sudah
ada di rumah orangtuanya.”
Ruangan itu langsung disergap
kegaduhan.
“Dia baik-baik saja?” Inaya
nampak sangat antusias.
“Yang jelas dia sehat.”
“Ada berita kapan dia akan
kembali kesini?”
“Mungkin kita harus
membicarakan bagaimana Jarot bisa sampai disini dengan selamat,” Seorang
mahasiswa lain memberikan usulan.
“Untuk itu kita ke Kontras.”
Inaya memberikan jawaban yang disetujui oleh semua yang hadir.
Jarot menjadi satu-satunya
benang merah perjuangan mereka, setelah Fajar meninggal. Paling tidak Inaya
merasa Jarot bisa membuka tabir apa yang telah terjadi dengan Fajar. Ia telah banyak mendengar cerita
Fajar tapi tidak pernah selesai. Jarot akan bisa melanjutkan sisa cerita Fajar
yang dibawanya ke liang kubur.
Seorang teman mahasiswa
memberitahu Inaya bahwa ia ditunggu ayahnya di luar. Inilah yang tidak sedang
diinginkannya. Ia sudah memutuskan untuk tidak pulang ke rumah untuk jangka
waktu yang tidak bisa diperhitungkannya. Ia selalu pulang ke rumah Fajar,
karena disana ia ingin berbagi kesedihan.
Inaya melihat sosok ayahnya
sudah berbeda. Ia merasa pernah mengenal pada suatu masa yang lama, yang
memberinya kesempatan menyebutnya bapak. Yang tidak berbeda adalah tatapan itu.
Tenang. Itu yang paling disukai Inaya dari ayahnya.
“Bapak tahu kamu harus
meneruskan perjuangan Fajar. Tapi pulanglah.” Nadanya meminta pengertian.
“Saya akan pulang setelah
semua ini selesai.”
“Percayalah, ini tidak akan
selesai secepat apa yang kalian inginkan.” Kali ini nadanya tegas. “Ibumu
sakit.”
Inaya merasakan dadanya sakit
seperti ditusuk.
“Kamu terus disebutnya.”
“Masih ada Mbak Noni.”
“Noni juga sakit. Jason
meninggalkannya begitu saja setelah pecah kerusuhan.”
Dada Inaya semakin sakit. Bibit airmata muncul begitu saja. Ibu dan Noni
telah begitu membuatnya kecewa. Sampai ia harus berpikir untuk memutuskan
hubungan dengan mereka. Tapi ternyata ia tidak bisa. Ibu dan Noni telah menjadi
pemicu semangat bahwa ia harus seperti sekarang. Hartawan menekan bahu Inaya,
lalu pergi. Inaya menangis sendirian(bersambung)
No comments:
Post a Comment