Tuesday, July 27, 2010

1998 (18)


BAB DUAPULUHEMPAT


Seperti yang telah diperkirakan jauh sebelumnya, Rosita Ibrahim akhirnya menerima surat pemecatannya. Roy Ambyah menyodorkan surat itu dengan wajah sedih seolah kehilangan kekasih yang sangat di cintainya. Rosita membacanya tanpa satu katapun tertinggal. Ia pernah membaca surat semacam itu, tapi yang ini isinya membuat batok kepalanya langsung menguap. Atasannya itu tampak berjalan kesana kemari sambil menyembunyikan kesedihan wajahnya.
“Saya terima keputusan ini.” Rosita bersiap keluar ruangan.
“Kita perlu bicara.”
“Saya pikir surat ini sudah jelas. Datang dari mabes agar saya dipecat!”
“Kamu juga tahu disitu termasuk saya.”
“Apalagi yang bapak tunggu disini. Chief toh tak bakal bisa menolong kita.”
“Masalahnya tidak sesederhana itu.”
“Bagi saya justru terlalu sepele. Kalau berpikir untuk menuntut, betapa gobloknya pikiran itu.”
“Kita akan diam saja?”
“Kakek saya pernah bilang, yang waras yang harus mengalah.” Rosita meraih pintu keluar, tapi ia masih melanjutkan bicara, “Saya merasa saya masih waras.”
Roy tampak sangat marah.
Rosita tahu gerak-geriknya telah lama di awasi. Bukan oleh atasannya yang berwenang apakah kinerjanya baik atau mengecewakan, tapi oleh suatu instansi pemerintah yang sama sekali tidak ada hubungannya. Keputusan yang justru tidak datang dari penilaian atasannya sendiri, tapi penilaian aparat keamanan. Kemerdekaan di negeri ini ternyata hanya dimiliki sebagian kecil golongan. Dan ia bukan termasuk yang beruntung memperoleh kemerdekaan yang diagung-agungkan itu, yang katanya datangnya dari kekuasaan Tuhan.
Siapakah yang ber Tuhan dan siapakah yang menghianati adanya peran Tuhan. Isi kepala Rosita bertambah satu pengetahuan. Ia perlu segera ke tempat kakeknya untuk menyimpan pengetahuan itu. Tapi kakeknya tampak sekali sedang berduka. Ia duduk ditengah ruangan yang gelap. Ketika Rosita hendak menyalakan saklar lampu, dihardiknya dengan keras.
“Biarkan lampu itu mati. Negeri ini sedang gelap.”
“Hari ini saya dipecat.”
“Kamu hanya kehilangan pekerjaan, tapi aku telah kehilangan segala-galanya.” Hadi seperti mau menangis. “Sekarang aku juga kehilangan Ong.”
“Apa yang terjadi dengan Pak Ong?”
“Dia mati kena serangan jantung mendengar cucunya di perkosa di Glodok.” Sekarang Hadi benar-benar menangis.
Baru kali ini Rosita melihat kakeknya menangis dan ia tidak bisa menahan bibit airmatanya sendiri untuk keluar. Tangis terakhir kakeknya ia lihat ketika neneknya meninggal. Pada saat-saat tertentu, kakeknya adalah laki-laki rapuh.
“Tidak perlu kau tangisi,” Hadi sudah bisa menghentikan tangisnya seketika. “Negeri ini masih butuh banyak darah lagi sebagai tumbal.”
“Saya akan meneruskan menulis buku kakek.”
“Itu mungkin lebih baik. Di negeri ini perintah dilaksanakan. Orang mati."
"Tapi kenapa?"
"Seringkali alasan tidak diperlukan."
"Apa itu berarti ada alasan lain dibelakang ini?"
"Kamu masih punya kesempatan mencari jawaban itu sendiri." 
Apa yang selama ini Rosita lakukan, itulah yang harus dia lakukan. Soal kejujuran tergantung seberapa banyak kebohongan yang ia sembunyikan. Kecuali untuk soal pribadi, Rosita merasa telah jujur sepanjang karirnya.  Mungkin kejujuran itu juga yang membuatnya dipecat dari pekerjaannya. Mungkin juga kejujuran yang membuat Fajar harus mati diujung senapan.
***
Inaya telah memutuskan untuk meneruskan apa yang selama ini Fajar lakukan. Ia dipaksa untuk memulai hidup baru. Apa yang akan dihadapinya kelak ia tidak pernah tahu. Baginya yang penting ia harus melakukan sesuatu yang berarti. Satu-satunya yang berarti sekarang adalah menggalang semangat sesama teman seperjuangan.
“Apa yang akan kita lakukan selanjutnya harus lebih berarti dan diperhitungkan,” Inaya bicara didepan teman-temannya. Ia telah mendapat simpati untuk tampil sebagai penerus Fajar.
Seorang mahasiswa datang dengan tergesa-gesa dan nampaknya membawa berita, “Ada berita bahwa Jarot sudah ada di rumah orangtuanya.”
Ruangan itu langsung disergap kegaduhan.
“Dia baik-baik saja?” Inaya nampak sangat antusias.
“Yang jelas dia sehat.”
“Ada berita kapan dia akan kembali kesini?”
“Mungkin kita harus membicarakan bagaimana Jarot bisa sampai disini dengan selamat,” Seorang mahasiswa lain memberikan usulan.
“Untuk itu kita ke Kontras.” Inaya memberikan jawaban yang disetujui oleh semua yang hadir.
Jarot menjadi satu-satunya benang merah perjuangan mereka, setelah Fajar meninggal. Paling tidak Inaya merasa Jarot bisa membuka tabir apa yang telah terjadi dengan  Fajar. Ia telah banyak mendengar cerita Fajar tapi tidak pernah selesai. Jarot akan bisa melanjutkan sisa cerita Fajar yang dibawanya ke liang kubur.    
Seorang teman mahasiswa memberitahu Inaya bahwa ia ditunggu ayahnya di luar. Inilah yang tidak sedang diinginkannya. Ia sudah memutuskan untuk tidak pulang ke rumah untuk jangka waktu yang tidak bisa diperhitungkannya. Ia selalu pulang ke rumah Fajar, karena disana ia ingin berbagi kesedihan.
Inaya melihat sosok ayahnya sudah berbeda. Ia merasa pernah mengenal pada suatu masa yang lama, yang memberinya kesempatan menyebutnya bapak. Yang tidak berbeda adalah tatapan itu. Tenang. Itu yang paling disukai Inaya dari ayahnya.
“Bapak tahu kamu harus meneruskan perjuangan Fajar. Tapi pulanglah.” Nadanya meminta pengertian.
“Saya akan pulang setelah semua ini selesai.”
“Percayalah, ini tidak akan selesai secepat apa yang kalian inginkan.” Kali ini nadanya tegas. “Ibumu sakit.”
Inaya merasakan dadanya sakit seperti ditusuk.
“Kamu terus disebutnya.”
“Masih ada Mbak Noni.”
“Noni juga sakit. Jason meninggalkannya begitu saja setelah pecah kerusuhan.”
Dada Inaya semakin sakit. Bibit airmata muncul begitu saja. Ibu dan Noni telah begitu membuatnya kecewa. Sampai ia harus berpikir untuk memutuskan hubungan dengan mereka. Tapi ternyata ia tidak bisa. Ibu dan Noni telah menjadi pemicu semangat bahwa ia harus seperti sekarang. Hartawan menekan bahu Inaya, lalu pergi. Inaya menangis sendirian
(bersambung) 

No comments: