BAB 4
SUNGAI Karangsaga kelihatan
seperti sungai pada umumnya. Tidak terlalu lebar tapi dalam. Warga pedukuhan
harus membuat semacam jembatan dari bambu di pinggiran sungai untuk melakukan
aktifitasnya. Sungai itu tenang dan tidak menjadi sesuatu yang menakutkan.
Begitu juga bagi Karebet. Perjalanannya pulang masih jauh dan karena lelah, ia
membasuh mukanya di sungai itu dan merendam kedua kakinya.
Ia
sudah lama termenung di pinggiran sungai itu. Sejak meninggalkan kaki gunung
Andong di perbatasan pedukuhan Mangli, ia masih dihinggapi pertanyaan yang
mendesak untuk segera di jawab. Ia tidak tahu sudah berapa lama berjalan. Ia
bahkan tidak merasakan lapar. Ia hanya ingin cepat pulang sampai di rumah dan
bertemu Ibunya. Surat yang diterimanya dari Sunan Kalijaga membuatnya semakin
gelisah. Apalagi isi surat itu. Apakah benar begitu arti mimpinya. Bagaimana
caranya Sunan Kalijaga mengetahui ia bermimpi apa. Bagaimana Sunan Kalijaga
mengetahui ia akan bertanya soal arti mimpinya?
Rasanya
mau meledak isi kepalanya. Ia bisa membelah batu hanya dengan kepalan
tangannya. Ia bisa melompati sungai didepannya ini meskipun jaraknya dua kali
pohon kelapa panjangnya. Tapi untuk bisa mengerti dan memahami apa yang baru
terjadi dengan dirinya, ia tidak bisa. Ia harus cepat pulang dan mengadukan
semua itu kepada Ibunya.
“Hei,
jangan main-main di pinggir sungai. Bahaya!”
Terdengar
bentakan keras dari arah belakang.
Karebet menoleh ke arah
sumber suara. Di lihatnya seorang lelaki yang lebih tua lima tahun darinya
dengan tombak panjang di tangannya berderi dengan sikap mau bertarung.
Karena Karebet belum
juga beranjak, Tunggul berteriak sekali lagi dengan lebih galak. “Kamu mau mati
di makan buaya?! Pergi dari situ!”
Cepat
sekali Karebet mengangkat kedua kakinya dan segera berdiri dan menjauh.
Ternyata ia melihat banyak penduduk di belakang Tunggul. Rupanya akan ada suatu
kejadian di sungai itu, dan berhubungan dengan buaya. Karebet lalu pergi
menyelinap ke arah penduduk desa yang berkumpul di belakang Tunggul. Ia tidak
mau terlibat dalam masalah yang tidak di mengertinya. Ia hanya ingin cepat
pulang dan bertemu Ibunya. Tapi rasa penasarannya tetap saja membuatnya harus
bertanya.
“Ada
kejadian apa, Pak?” Karebet bertanya kepada seorang lelaki setengah tua.
“Buaya.”
“Buaya?”
“Sudah
lima penduduk mati di makan buaya.” Laki-laki itu menoleh ke Karebet. “Kau
bukan penduduk Karangsaga?”
“Saya
kebetulan lewat, mau pulang ke desa Tingkir.”
“Kau
tidak ingin ikut sayembara seperti pemuda itu?”
“Sayembara?”
“Siapa
yang bisa membunuh buaya pemangsa itu, akan dikawinkan sama Roro Anteng, anak
Ki Lurah Warno.”
Seringkali
dalam perjalanannya ke suatu tempat untuk bertapa, ia melalui banyak sungai. Tidak pernah terjadi
sesuatu. Tapi di pedukuhan Karangsaga ini ternyata menjadi lain. Ada buaya
pemangsa dan ada sayembara dengan hadiah kawin. Kalaupun ia mengikuti sayembara
itu, ia tidak pernah tahu wajah Roro Anteng. Dan melawan buaya? Ia pernah
melihat buaya di sungai yang pernah dijumpainya. Sepertinya ganas sekali dan ia
tidak pernah berpikir untuk membunuh buaya demi sebuah sayembara.
Dari
arah belakang penduduk berkerumun, muncul seorang lelaki menenteng seekor ayam
yang masih hidup. Lalu diberikannya kepada Tunggul. Begitu ditangannya, Tunggul
menggigit leher ayam itu sampai darah mengucur dari leher ayam. Dalam sekejab
ayam itu dia lemparkan ke tengah sungai yang airnya tenang. Semua mata menatap
tegang ke arah ayam yang sekarat diatas sungai. Air sungai menjadi merah
tergenang darah ayam. Tidak lama airnya bergolak, lama kelamaan membesar sampai
muncul kepala buaya yang sangat besar itu.
Tunggul langsung
meloncat dengan tombak ditangan kananya ke tengah sungai. Gerakannya mirip
orang terbang sehingga orang-orang yang melihatnya berdecak kagum. Buat penduduk pedukuhan, itu sesuatu
yang langka dan hampir tidak pernah mereka lihat. Mereka hanya terbiasa melihat
prajurit Demak yang sering singgah di pedukuhan. Itu pun tidak pernah mereka
melihat para prajurit itu bertarung atau memperlihatkan ilmu kanuragannya. Tapi
melihat Tunggul adalah hiburan yang menakjubkan.
Tunggul langsung
menghajar kepala buaya dengan tombaknya. Tapi kepala buaya sungai itu seperti
batu. Tombak Tunggul tidak mampu menembus kulit buaya. Pemuda itu terlempar ke
belakang karena benturan tombak dan kepala buaya yang keras. Saat masih
mengatur gerakannya agar tidak kecebur ke air, buaya itu sudah balik menyerang
Tunggul.
Yang
diharapkan Tunggul memang suatu perkelahian. Sebagai orang yang berasal dari
lembah Serayu ia adalah orang yang mempunyai kehidupan yang keras. Sungai
Serayu adalah sungai besar di kaki gunung Slamet. Daerah yang masih sangat
perawan dan rawan. Kekuatan adalah hal paling utama yang harus di miliki supaya
mampu menjadi orang yang di tindas. Tapi rupanya berkelahi di atas air sangat
berbeda dengan di darat. Padahal Tunggul akrab dengan sungai Serayu yang jelas
lebih bear dari sekadar sungai pedukuhan Karangsaga ini. Sudah banyak lawan
tanding yang di kalahkannya. Sudah banyak musuh bertekuk lutut di bawah
keperkasaannya. Apalagi dengan tombaknya yang tajam itu, ia menjadi lawan yang
layak ditakuti. Tapi menghadapi buaya pemangsa dan besarnya lima kali lipat
besar tubuhnya, membuat Tunggul tegang. Ia pikir buayanya tidak lebih besar
dari tubuhnya.
Untuk
mundur, jelas tidak mungkin. Ia sudah terlanjur berjanji didepan Ki Lurah Warno
dan didepan banyak penduduk. Harga dirinya jauh lebih dibelanya daripada
ketakutannya menghadapi buaya sungai itu. Ia punya nama besar sebagai pendekar
dan akan ia pertahankan meskipun ia merasa sedang melakukan bunuh diri
menghadapi buaya itu.
Karebet
juga tidak menyangka buayanya begitu besar. Tapi perhatiannya lebih tertuju
pada Tunggul yang sedang bertarung dengan buaya itu. Ia pernah bertarung,
bahkan sering, meskipun ia bertarung untuk membantu orang lain. Sayangnya ia
belum pernah bertarung dengan binatang, begitu juga melawan buaya. Apalagi
buaya sebesar yang dilihatnya sekarang.
Pada
suatu kesempatan, tombak Tunggul berhasil melukai kulit buaya itu. Hanya kulit
luar dan tidak bisa menembus ke dalam dagingnya. Tapi itu cukup membuat buaya
itu semakin ganas menyerang Tunggul. Tidak lama buaya itu sudah berhasil
membuat terluka bagian lengan kanan Tunggul. Darah membanjiri lengannya. Pemuda
itu segera mengeluarkan ilmu kesaktiannya. Tubuhnya naik ke udara dan ia
berteriak mengguntur sambil merentangkan kedua tangannya, menyerang ke arah
buaya itu. Seperti serangan pertama dengan tombaknya, lagi-lagi pukulan itu
seperti menghantam tembok tebal. Bahkan berbalik menghantam Tunggul. Pemuda itu
jatuh ke dalam air dan buaya itu segera membuka mulutnya yang lebar dan bersiap
memakannya.
Pada
saat yang sama, Karebet seperti didorong tubuhnya untuk melesat menuju tengah
sungai. Karebet sadar sekali bahwa ia tidak mempunyai keberanian untuk melawan
buaya sebesar itu. Di hitung dengan cara apapun, sulit mengalahkan buaya sungai
itu. Ia hanya punya pengalaman bertarung melawan manusia. Tapi melihat Tunggul
menjadi sasaran empuk buaya itu, ia tidak bisa terima. Pertamakali di hardik
Tunggul, ia sempat menangkap sikap Tunggul yang angkuh. Untuk ukuran seorang
pendekar tangguhpun, sikap itu pasti ada. Angkuh dan juga sikap sok jago
diperlihatkan Tunggul karena ia sedang mempertahankan nama baiknya sebagai
pendekar yang mengikuti sayembara.
Karebet
memutuskan untuk maju dan meluncur ke tengah sungai bukan untuk mempertahankan
nama baik Tunggul, tapi nyawa lelaki yang tidak dikenalnya itu yang akan
tercabut sia-sia oleh kebuasan seekor buaya sungai. Tetap saja gerakan Karebet
jauh lebih lambat dari caplokan mulut buaya menghajar tengkorak kepala Tunggul.
Karebet menggunakan kepalan tangannya untuk menghajar kepala buaya itu. Ia
pikir pukulannya tidak berarti apa-apa untuk batok kepala buaya yang tebal itu.
Tapi ternyata buaya itu menggelepar dan mulutnya terbuka lebar seperti menahan
sakit yang luar biasa.
Buaya
itu benar-benar kesakitan.
Ia
memang mengerahkan seluruh tenaga di kepalan tangannya. Tapi ia tidak
mendasarinya dengan tenaga dalam. Pikirannya hanya memukul dan menyelamatkan
Tunggul. Ia sempat tidak yakin pukulan tangannya akan mampu membuat mulut buaya
itu terbuka karena merasakan kesakitan. Dengan tombak dan pukulan jarak jauh
Tunggul saja buaya itu tak bergeming. Ia yakin tombal Tunggul sebuah tombak
yang ampuh dan ia yakin pukulan jarak jauh Tunggul sebuah ilmu pukulan yang
hebat. Ia tahu lembah Serayu menyimpan segudang pendekar tangguh karena ia
pernah mengembara ke wilayah barat di kaki gunung Slamet itu.
Buaya
itu mengeluarkan suara lengkingan kesakitan.
Saat buaya itu membuka
mulutnya itulah Karebet menarik tubuh Tunggul. Sebelum buaya itu menyerang
kembali dengan kemarahan dua kali lipat, Karebet meluncur ke darat membawa
tubuh Tunggul dengan gerakan yang sulit diikuti mata biasa. Ia mengerahkan
kekuatan di kakinya supaya bisa berlari cepat. Ia ingin segera sampai di
pinggiran sungai.
Penduduk bengong karena
tahu-tahu Karebet membopong Tunggul dan sudah berdiri didepan mereka. Para
penduduk sedang tegang melihat pertarungan ditengah sungai dan melihat saat
terakhir kematian Tunggul. Saat sadar Karebet didepan mereka membawa Tunggul
yang terluka, mereka begitu kaget.
Gerakan Karebet seperti
angin.
Mereka baru pernah
melihatnya.
Saat masih belum
percaya dengan kehebatan Karebet, mereka dikagetkan oleh sebagain penduduk yang
mendadak berlarian menjauhi sungai dengan ketakutan. Karebet menoleh ke arah
belakang. Hanya satu kedipan mata buaya itu sudah dibelakangnya dan
menyerangnya. Karebet mengumpat dalam hati karena buaya itu begitu cepatnya
mengejarnya ke darat. Nyaris tidak bisa dipercayainya.
Buaya itu berhenti,
menatapnya dengan buas.
Penduduk sudah tunggang
langgang bersembunyi.
Karebet masih membopong
Tunggul yang bobot tubuhnya dua kali lipat bobot tubuhnya. Jelas ia akan
kesulitan melawan buaya itu. Kalau ia geletakkan tubuh Tunggul, bisa jadi akan
disantap buaya itu lagi. Tunggul pingsan karena luka dikepalanya sangat serius.
Belum juga ia memutuskan, buaya itu sudah menyerangnya. Mau tidak mau Karebet
harus melayani serangan buaya itu. Hanya saja gerakannya jadi lebih lambat
karena terbebani Tunggul.
“Jauhkan buaya dari
air!!” sebuah suara berteriak.
Entah siapa.
Mungkin penduduk.
Karebet menjadi sadar.
Buaya adalah binatang air dan seperti ikan, untuk waktu yang cukup lama tidak
menyentuh air, maka akan kehabisan tenaga dan akhirnya lemas dan mudah
dikalahkan. Tapi perhitungan itu meleset. Buaya ini lain. Sepertinya tidak ada
bedanya berada dalam air dan di darat. Serangannya tetap buas meskipun waktunya
sudah cukup lama di darat. Bahkan Karebet yang mulai kehabisan tenaga sementara
buaya itu semakin buas. Ia tidak bisa membiarkan pertarungan dengan buaya menguras
tenaganya. Binatang bukan manusia yang punya akal. Naluri binatang hanya
membunuh kalau berhadapan dengan lawannya. Jadi mau tidak mau Karebet harus
mengambil keputusan.
Karebet mengikat tubuh
Tunggul dengan selendang yang melilit di pingganya dan menggendongnya. Meskipun
cukup berat tapi ia tidak bisa membiarkan tubuh Tunggul tergelatak dan disambar
ekor buaya. Ia lalu menyalurkan semua tenaga ke dalam kepalan tangannya sambil
membaca mantra yang dipelajarinya saat bertapa. Ia telah mempelajari pukulan
Bajrageni, ilmu pukulan paling dasar yang pelajari para pendekar. Selama ini ia
hanya mencobanya pada pohon asem atau mahoni.
Sesuai namanya, ilmu
pukulan Bajrageni sifatnya membakar. Dalam arti mampu membakar seperti api,
tapi juga membakar dari dalam. Ia tidak tahu apakah akan mampu menembus
kekerasan batok kepala buaya sungai itu.
Begitu kepalan
tangannya menghajar kepala buaya itu, akibatnya diluar dugaan. Buaya itu
menggelepar kesakitan dan lari ke dalam air. Melihat musuhnya lari, Karebet
tidak membiarkannya. Cepat sekali Tunggul di turunkannya dari gendongannya, ia
memburu buaya ke tengah sungai dan segera menyergapnya dari belakang dan
menghajarnya kembali dengan pukulan tangan kanannya bertubi-tubi. Buaya itu
masih sempat melawan dan melemparkan Karebet, tapi pukulan Karebet yang terus
menerus itu membuat buaya itu akhirnya menggelepar.
Buaya itu meregang
nyawanya.
Tak berapa lama
mengapung mati.
Karebet
masih menunggu dengan waspada takut buaya itu masih menyerangnya. Tapi beberapa
lama, buaya itu tetap diam seperti onggokan kayu kering. Penduduk yang tadinya
mengintip di balik pohon dan semak, perlahan maju melihat dan mendekat ke
sungai. Mereka baru bereaksi saat Karebet menuju ke pinggir sungai sambil
menarik bangkai buaya besar itu.
Penduduk bersorak
sorai.
Mereke menyerbu
Karebet.
Sebagian penduduk ke
buaya, sebagian ke arah Karebet. Sebagian menggotong buaya ke darat, sebagian
menggotong Karebet. Tapi Karebet meminta turun dan lebih memperhatikan Tunggul
yang masih tergeletak tidak ada yang menolongnya.
“Bawa
saja buayanya ke kelurahan,” teriak Karebet ke beberapa penduduk. Mereka
menurut saja dan mengarak bangkai buaya itu menjauhi sungai. Karebet menuju
Tunggul. Pemuda itu masih pingsan. Kepalanya terluka, terutama di bagian leher.
Luka itu diakibatkan taring buaya yang tajam. Menembus ke dalam daging. Karebet
pernah terluka dalam banyak pertarungan dan ia bisa tahu seberat apa luka
Tunggul.
“Tolong
bawa laki-laki ini,” Karebet meminta beberapa penduduk yang masih tertinggal.
“Lukanya masih bisa disembuhkan.”
“Tapi
kisanak juga harus ikut ke kelurahan.” Seorang penduduk memberitahu. “Kisanak
yang memenangkan sayembara ini.”
“Kisanak
akan dikawinkan sama Roro Anteng!” kata yang lain.
“Saya
akan membersihkan diri dulu…”
“Kisanak, namanya
siapa?” Tanya lelaki lainnya.
Karebet kaget.
“Biar saya bilang dulu
ke Ki Lurah Warno.”
“Jaka Tingkir…”
Lelaki itu bengong.
“Kenapa, Pak?”
“Ah tidak, namamu
bagus.”
Ia tidak tahu bagus
tidaknya karena ia ingin sampai di rumah secepatnya dan ia tidak suka di ganggu
di jalan. Ia terus menuju ke sungai. Beberapa penduduk pergi lebih dulu sambil
meneriakkan nama Jaka Tingkir. Tubuh Tunggul digotong ramai-ramai. Beberapa
saat kemudian pinggiran sungai itu sepi. Setelah membersihkan diri, Karebet
beranjak pergi. Menjauhi pedukuhan Karangsaga.
Ia
memang tidak mau ke pedukuhan. Ia tidak mau perjalanan pulangnya terhambat oleh
suatu hal yang tidak sepenting urusannya. Ia hanya berniat menolong Tunggul.
Segala akibat karena sayembara itu ia tidak peduli. Ia tidak ingin ikut
sayembara itu dan terlebih lagi ia tidak mau dikawinkan dengan seorang gadis
yang tidak pernah dilihatnya. Ia hanya ingin pulang dan bertemu ibunya.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment