Saturday, December 1, 2012

MAS KAREBET 4

 BAB 4



SUNGAI Karangsaga kelihatan seperti sungai pada umumnya. Tidak terlalu lebar tapi dalam. Warga pedukuhan harus membuat semacam jembatan dari bambu di pinggiran sungai untuk melakukan aktifitasnya. Sungai itu tenang dan tidak menjadi sesuatu yang menakutkan. Begitu juga bagi Karebet. Perjalanannya pulang masih jauh dan karena lelah, ia membasuh mukanya di sungai itu dan merendam kedua kakinya.
     Ia sudah lama termenung di pinggiran sungai itu. Sejak meninggalkan kaki gunung Andong di perbatasan pedukuhan Mangli, ia masih dihinggapi pertanyaan yang mendesak untuk segera di jawab. Ia tidak tahu sudah berapa lama berjalan. Ia bahkan tidak merasakan lapar. Ia hanya ingin cepat pulang sampai di rumah dan bertemu Ibunya. Surat yang diterimanya dari Sunan Kalijaga membuatnya semakin gelisah. Apalagi isi surat itu. Apakah benar begitu arti mimpinya. Bagaimana caranya Sunan Kalijaga mengetahui ia bermimpi apa. Bagaimana Sunan Kalijaga mengetahui ia akan bertanya soal arti mimpinya?
     Rasanya mau meledak isi kepalanya. Ia bisa membelah batu hanya dengan kepalan tangannya. Ia bisa melompati sungai didepannya ini meskipun jaraknya dua kali pohon kelapa panjangnya. Tapi untuk bisa mengerti dan memahami apa yang baru terjadi dengan dirinya, ia tidak bisa. Ia harus cepat pulang dan mengadukan semua itu kepada Ibunya.      
     “Hei, jangan main-main di pinggir sungai. Bahaya!”
     Terdengar bentakan keras dari arah belakang.
Karebet menoleh ke arah sumber suara. Di lihatnya seorang lelaki yang lebih tua lima tahun darinya dengan tombak panjang di tangannya berderi dengan sikap mau bertarung.
Karena Karebet belum juga beranjak, Tunggul berteriak sekali lagi dengan lebih galak. “Kamu mau mati di makan buaya?! Pergi dari situ!”
     Cepat sekali Karebet mengangkat kedua kakinya dan segera berdiri dan menjauh. Ternyata ia melihat banyak penduduk di belakang Tunggul. Rupanya akan ada suatu kejadian di sungai itu, dan berhubungan dengan buaya. Karebet lalu pergi menyelinap ke arah penduduk desa yang berkumpul di belakang Tunggul. Ia tidak mau terlibat dalam masalah yang tidak di mengertinya. Ia hanya ingin cepat pulang dan bertemu Ibunya. Tapi rasa penasarannya tetap saja membuatnya harus bertanya.
     “Ada kejadian apa, Pak?” Karebet bertanya kepada seorang lelaki setengah tua.
     “Buaya.”
     “Buaya?”
     “Sudah lima penduduk mati di makan buaya.” Laki-laki itu menoleh ke Karebet. “Kau bukan penduduk Karangsaga?”
     “Saya kebetulan lewat, mau pulang ke desa Tingkir.”
     “Kau tidak ingin ikut sayembara seperti pemuda itu?”
     “Sayembara?”
     “Siapa yang bisa membunuh buaya pemangsa itu, akan dikawinkan sama Roro Anteng, anak Ki Lurah Warno.”
     Seringkali dalam perjalanannya ke suatu tempat untuk bertapa, ia melalui  banyak sungai. Tidak pernah terjadi sesuatu. Tapi di pedukuhan Karangsaga ini ternyata menjadi lain. Ada buaya pemangsa dan ada sayembara dengan hadiah kawin. Kalaupun ia mengikuti sayembara itu, ia tidak pernah tahu wajah Roro Anteng. Dan melawan buaya? Ia pernah melihat buaya di sungai yang pernah dijumpainya. Sepertinya ganas sekali dan ia tidak pernah berpikir untuk membunuh buaya demi sebuah sayembara.
     Dari arah belakang penduduk berkerumun, muncul seorang lelaki menenteng seekor ayam yang masih hidup. Lalu diberikannya kepada Tunggul. Begitu ditangannya, Tunggul menggigit leher ayam itu sampai darah mengucur dari leher ayam. Dalam sekejab ayam itu dia lemparkan ke tengah sungai yang airnya tenang. Semua mata menatap tegang ke arah ayam yang sekarat diatas sungai. Air sungai menjadi merah tergenang darah ayam. Tidak lama airnya bergolak, lama kelamaan membesar sampai muncul kepala buaya yang sangat besar itu.
Tunggul langsung meloncat dengan tombak ditangan kananya ke tengah sungai. Gerakannya mirip orang terbang sehingga orang-orang yang melihatnya berdecak kagum.  Buat penduduk pedukuhan, itu sesuatu yang langka dan hampir tidak pernah mereka lihat. Mereka hanya terbiasa melihat prajurit Demak yang sering singgah di pedukuhan. Itu pun tidak pernah mereka melihat para prajurit itu bertarung atau memperlihatkan ilmu kanuragannya. Tapi melihat Tunggul adalah hiburan yang menakjubkan.
Tunggul langsung menghajar kepala buaya dengan tombaknya. Tapi kepala buaya sungai itu seperti batu. Tombak Tunggul tidak mampu menembus kulit buaya. Pemuda itu terlempar ke belakang karena benturan tombak dan kepala buaya yang keras. Saat masih mengatur gerakannya agar tidak kecebur ke air, buaya itu sudah balik menyerang Tunggul.
     Yang diharapkan Tunggul memang suatu perkelahian. Sebagai orang yang berasal dari lembah Serayu ia adalah orang yang mempunyai kehidupan yang keras. Sungai Serayu adalah sungai besar di kaki gunung Slamet. Daerah yang masih sangat perawan dan rawan. Kekuatan adalah hal paling utama yang harus di miliki supaya mampu menjadi orang yang di tindas. Tapi rupanya berkelahi di atas air sangat berbeda dengan di darat. Padahal Tunggul akrab dengan sungai Serayu yang jelas lebih bear dari sekadar sungai pedukuhan Karangsaga ini. Sudah banyak lawan tanding yang di kalahkannya. Sudah banyak musuh bertekuk lutut di bawah keperkasaannya. Apalagi dengan tombaknya yang tajam itu, ia menjadi lawan yang layak ditakuti. Tapi menghadapi buaya pemangsa dan besarnya lima kali lipat besar tubuhnya, membuat Tunggul tegang. Ia pikir buayanya tidak lebih besar dari tubuhnya.
     Untuk mundur, jelas tidak mungkin. Ia sudah terlanjur berjanji didepan Ki Lurah Warno dan didepan banyak penduduk. Harga dirinya jauh lebih dibelanya daripada ketakutannya menghadapi buaya sungai itu. Ia punya nama besar sebagai pendekar dan akan ia pertahankan meskipun ia merasa sedang melakukan bunuh diri menghadapi buaya itu.
     Karebet juga tidak menyangka buayanya begitu besar. Tapi perhatiannya lebih tertuju pada Tunggul yang sedang bertarung dengan buaya itu. Ia pernah bertarung, bahkan sering, meskipun ia bertarung untuk membantu orang lain. Sayangnya ia belum pernah bertarung dengan binatang, begitu juga melawan buaya. Apalagi buaya sebesar yang dilihatnya sekarang.
     Pada suatu kesempatan, tombak Tunggul berhasil melukai kulit buaya itu. Hanya kulit luar dan tidak bisa menembus ke dalam dagingnya. Tapi itu cukup membuat buaya itu semakin ganas menyerang Tunggul. Tidak lama buaya itu sudah berhasil membuat terluka bagian lengan kanan Tunggul. Darah membanjiri lengannya. Pemuda itu segera mengeluarkan ilmu kesaktiannya. Tubuhnya naik ke udara dan ia berteriak mengguntur sambil merentangkan kedua tangannya, menyerang ke arah buaya itu. Seperti serangan pertama dengan tombaknya, lagi-lagi pukulan itu seperti menghantam tembok tebal. Bahkan berbalik menghantam Tunggul. Pemuda itu jatuh ke dalam air dan buaya itu segera membuka mulutnya yang lebar dan bersiap memakannya.
     Pada saat yang sama, Karebet seperti didorong tubuhnya untuk melesat menuju tengah sungai. Karebet sadar sekali bahwa ia tidak mempunyai keberanian untuk melawan buaya sebesar itu. Di hitung dengan cara apapun, sulit mengalahkan buaya sungai itu. Ia hanya punya pengalaman bertarung melawan manusia. Tapi melihat Tunggul menjadi sasaran empuk buaya itu, ia tidak bisa terima. Pertamakali di hardik Tunggul, ia sempat menangkap sikap Tunggul yang angkuh. Untuk ukuran seorang pendekar tangguhpun, sikap itu pasti ada. Angkuh dan juga sikap sok jago diperlihatkan Tunggul karena ia sedang mempertahankan nama baiknya sebagai pendekar yang mengikuti sayembara.
     Karebet memutuskan untuk maju dan meluncur ke tengah sungai bukan untuk mempertahankan nama baik Tunggul, tapi nyawa lelaki yang tidak dikenalnya itu yang akan tercabut sia-sia oleh kebuasan seekor buaya sungai. Tetap saja gerakan Karebet jauh lebih lambat dari caplokan mulut buaya menghajar tengkorak kepala Tunggul. Karebet menggunakan kepalan tangannya untuk menghajar kepala buaya itu. Ia pikir pukulannya tidak berarti apa-apa untuk batok kepala buaya yang tebal itu. Tapi ternyata buaya itu menggelepar dan mulutnya terbuka lebar seperti menahan sakit yang luar biasa.
     Buaya itu benar-benar kesakitan.
     Ia memang mengerahkan seluruh tenaga di kepalan tangannya. Tapi ia tidak mendasarinya dengan tenaga dalam. Pikirannya hanya memukul dan menyelamatkan Tunggul. Ia sempat tidak yakin pukulan tangannya akan mampu membuat mulut buaya itu terbuka karena merasakan kesakitan. Dengan tombak dan pukulan jarak jauh Tunggul saja buaya itu tak bergeming. Ia yakin tombal Tunggul sebuah tombak yang ampuh dan ia yakin pukulan jarak jauh Tunggul sebuah ilmu pukulan yang hebat. Ia tahu lembah Serayu menyimpan segudang pendekar tangguh karena ia pernah mengembara ke wilayah barat di kaki gunung Slamet itu.       
     Buaya itu mengeluarkan suara lengkingan kesakitan.
Saat buaya itu membuka mulutnya itulah Karebet menarik tubuh Tunggul. Sebelum buaya itu menyerang kembali dengan kemarahan dua kali lipat, Karebet meluncur ke darat membawa tubuh Tunggul dengan gerakan yang sulit diikuti mata biasa. Ia mengerahkan kekuatan di kakinya supaya bisa berlari cepat. Ia ingin segera sampai di pinggiran sungai. 
Penduduk bengong karena tahu-tahu Karebet membopong Tunggul dan sudah berdiri didepan mereka. Para penduduk sedang tegang melihat pertarungan ditengah sungai dan melihat saat terakhir kematian Tunggul. Saat sadar Karebet didepan mereka membawa Tunggul yang terluka, mereka begitu kaget.
Gerakan Karebet seperti angin.
Mereka baru pernah melihatnya.
Saat masih belum percaya dengan kehebatan Karebet, mereka dikagetkan oleh sebagain penduduk yang mendadak berlarian menjauhi sungai dengan ketakutan. Karebet menoleh ke arah belakang. Hanya satu kedipan mata buaya itu sudah dibelakangnya dan menyerangnya. Karebet mengumpat dalam hati karena buaya itu begitu cepatnya mengejarnya ke darat. Nyaris tidak bisa dipercayainya.
Buaya itu berhenti, menatapnya dengan buas.
Penduduk sudah tunggang langgang bersembunyi.
Karebet masih membopong Tunggul yang bobot tubuhnya dua kali lipat bobot tubuhnya. Jelas ia akan kesulitan melawan buaya itu. Kalau ia geletakkan tubuh Tunggul, bisa jadi akan disantap buaya itu lagi. Tunggul pingsan karena luka dikepalanya sangat serius. Belum juga ia memutuskan, buaya itu sudah menyerangnya. Mau tidak mau Karebet harus melayani serangan buaya itu. Hanya saja gerakannya jadi lebih lambat karena terbebani Tunggul.
“Jauhkan buaya dari air!!” sebuah suara berteriak.
Entah siapa.
Mungkin penduduk.
Karebet menjadi sadar. Buaya adalah binatang air dan seperti ikan, untuk waktu yang cukup lama tidak menyentuh air, maka akan kehabisan tenaga dan akhirnya lemas dan mudah dikalahkan. Tapi perhitungan itu meleset. Buaya ini lain. Sepertinya tidak ada bedanya berada dalam air dan di darat. Serangannya tetap buas meskipun waktunya sudah cukup lama di darat. Bahkan Karebet yang mulai kehabisan tenaga sementara buaya itu semakin buas. Ia tidak bisa membiarkan pertarungan dengan buaya menguras tenaganya. Binatang bukan manusia yang punya akal. Naluri binatang hanya membunuh kalau berhadapan dengan lawannya. Jadi mau tidak mau Karebet harus mengambil keputusan.
Karebet mengikat tubuh Tunggul dengan selendang yang melilit di pingganya dan menggendongnya. Meskipun cukup berat tapi ia tidak bisa membiarkan tubuh Tunggul tergelatak dan disambar ekor buaya. Ia lalu menyalurkan semua tenaga ke dalam kepalan tangannya sambil membaca mantra yang dipelajarinya saat bertapa. Ia telah mempelajari pukulan Bajrageni, ilmu pukulan paling dasar yang pelajari para pendekar. Selama ini ia hanya mencobanya pada pohon asem atau mahoni.
Sesuai namanya, ilmu pukulan Bajrageni sifatnya membakar. Dalam arti mampu membakar seperti api, tapi juga membakar dari dalam. Ia tidak tahu apakah akan mampu menembus kekerasan batok kepala buaya sungai itu.
Begitu kepalan tangannya menghajar kepala buaya itu, akibatnya diluar dugaan. Buaya itu menggelepar kesakitan dan lari ke dalam air. Melihat musuhnya lari, Karebet tidak membiarkannya. Cepat sekali Tunggul di turunkannya dari gendongannya, ia memburu buaya ke tengah sungai dan segera menyergapnya dari belakang dan menghajarnya kembali dengan pukulan tangan kanannya bertubi-tubi. Buaya itu masih sempat melawan dan melemparkan Karebet, tapi pukulan Karebet yang terus menerus itu membuat buaya itu akhirnya menggelepar.
Buaya itu meregang nyawanya.
Tak berapa lama mengapung mati.
     Karebet masih menunggu dengan waspada takut buaya itu masih menyerangnya. Tapi beberapa lama, buaya itu tetap diam seperti onggokan kayu kering. Penduduk yang tadinya mengintip di balik pohon dan semak, perlahan maju melihat dan mendekat ke sungai. Mereka baru bereaksi saat Karebet menuju ke pinggir sungai sambil menarik bangkai buaya besar itu.
Penduduk bersorak sorai.
Mereke menyerbu Karebet.
Sebagian penduduk ke buaya, sebagian ke arah Karebet. Sebagian menggotong buaya ke darat, sebagian menggotong Karebet. Tapi Karebet meminta turun dan lebih memperhatikan Tunggul yang masih tergeletak tidak ada yang menolongnya.
     “Bawa saja buayanya ke kelurahan,” teriak Karebet ke beberapa penduduk. Mereka menurut saja dan mengarak bangkai buaya itu menjauhi sungai. Karebet menuju Tunggul. Pemuda itu masih pingsan. Kepalanya terluka, terutama di bagian leher. Luka itu diakibatkan taring buaya yang tajam. Menembus ke dalam daging. Karebet pernah terluka dalam banyak pertarungan dan ia bisa tahu seberat apa luka Tunggul.
     “Tolong bawa laki-laki ini,” Karebet meminta beberapa penduduk yang masih tertinggal. “Lukanya masih bisa disembuhkan.”
     “Tapi kisanak juga harus ikut ke kelurahan.” Seorang penduduk memberitahu. “Kisanak yang memenangkan sayembara ini.”
     “Kisanak akan dikawinkan sama Roro Anteng!” kata yang lain.
     “Saya akan membersihkan diri dulu…”
“Kisanak, namanya siapa?” Tanya lelaki lainnya.
Karebet kaget.
“Biar saya bilang dulu ke Ki Lurah Warno.”
“Jaka Tingkir…”
Lelaki itu bengong.
“Kenapa, Pak?”
“Ah tidak, namamu bagus.”
Ia tidak tahu bagus tidaknya karena ia ingin sampai di rumah secepatnya dan ia tidak suka di ganggu di jalan. Ia terus menuju ke sungai. Beberapa penduduk pergi lebih dulu sambil meneriakkan nama Jaka Tingkir. Tubuh Tunggul digotong ramai-ramai. Beberapa saat kemudian pinggiran sungai itu sepi. Setelah membersihkan diri, Karebet beranjak pergi. Menjauhi pedukuhan Karangsaga.
     Ia memang tidak mau ke pedukuhan. Ia tidak mau perjalanan pulangnya terhambat oleh suatu hal yang tidak sepenting urusannya. Ia hanya berniat menolong Tunggul. Segala akibat karena sayembara itu ia tidak peduli. Ia tidak ingin ikut sayembara itu dan terlebih lagi ia tidak mau dikawinkan dengan seorang gadis yang tidak pernah dilihatnya. Ia hanya ingin pulang dan bertemu ibunya.

(bersambung)


No comments: