BAB DUA
Sesaat dipandangnya lelaki tua berumur limapuluh tahun itu
dengan ketidakpercayaan. Ia sama sekali tidak mengharapkan kehadiran lelaki
yang sangat dihormatinya itu saat ia tidak sedang senang. Terutama setelah
adanya berita-berita tentang Timor Timur. Tidurnya selalu terganggu jadwalnya
dan menaikkan tekanan darahnya.
“Kau
kelihatan gemuk, Tarik.” Suara Wenang Pati bergetar, lalu memeluknya.
“Apa kabar, Jenderal.”
Halaman rumah itu lalu sepi,
seperti semula ketika belum ada siapa-siapa. Tidak ada suara apapun kecuali
desisan angin gunung. Tarik
menjadi canggung dan seolah itu halaman rumah seseorang yang tidak dikenalnya.
Sejenak ia mengira ada seseorang memanggil, tapi kemudian ia sadar bahwa suara
itu adalah degup jantungnya sendiri.
“Susah
sekali mencarimu.”
Masih
suka becanda seperti dulu, pikirnya. Mencari seseorang yang diinginkannya adalah semudah
membalik telapak tangan, walaupun orang itu sembunyi dalam lobang semut
sekalipun. Keberadaannya di desa terpencil ini ia yakin sudah diketahui bekas
atasannya itu dengan baik. Dimana ia tinggal dan apa yang dikerjakannya, bahkan
kebiasaannya pergi diketahui dengan sangat jelas. Apa jadwal kesehariannya dan
lebih dari itu, apa yang dimakannya tiap hari telah dicatat dengan baik.
Kegilaan
seperti itulah yang sangat disukainya. Ia menyebutnya gila karena nyaris
mustahil jenis pekerjaan itu, kalau bukan malaikat yang melakukannya. Tapi
itulah dunia intelijen militer. Rumit, menegangkan tapi menyenangkan. Tidak
seperti dunia bisnis yang hanya mengandalkan intuisi tajam dan selebihnya bisa
apasaja, termasuk membeli orang dengan uanganya.
“Ada
misi yang harus kamu selesaikan di Timor Timur.”
"Jenderal
adalah orang pertama di bumi ini yang saya tunggu kedatangannya hari ini. Tapi
tidak termasuk yang terakhir itu."
"Itulah
maksud kedatanganku kemari."
“Saya
tidak punya karir lagi, Pak.”
“Tidak
bagiku. Dalam tiga jam terakhir kau sudah harus terbang bersamaku ke Jakarta.
Berkemaslah.”
“Terlalu
mendadak, saya tidak bisa memutuskan sekarang."
"Sayang
sekali kau tidak punya waktu lagi."
Tarik
diam saja.
Wenang
Pati melihat bekas anak buahnya dengan sangat serius. “Kamu berubah.”
“Semua
hal berubah. Saya juga harus berubah.”
“Tapi
kau jadi dingin.”
“Desa
ini di kaki gunung, mungkin itu yang membuat saya begitu.”
“Kau
terlalu berharga disini.”
“Tapi
saya dihargai sebagai manusia disini.”
“Begini,”
Wenang Pati berdiri, berusaha menghindari kepedihan hati bekas anak buahnya
itu. “Lima jam sebelum interfet mendarat di Timor Timur, wakil panglima darurat
militer, Kolonel Alfonso, hilang dalam patroli.”
“Cepat
sekali anak Timor Timur itu naik pangkat.”
“Dugaan
kita, dia diculik kelompok radikal Fretilin, Brigade Negra. Lokasinya sudah
kita pastikan di Viqueque, sarang Falintil.”
Tarik mendengus, terdiam agak lama.
Pandangan matanya redup.
“Kamu
pernah mengobrak-abrik sarang Falintil dan membuatnya kocar-kacir. Operasi yang
pernah kamu pimpin, adalah operasi yang paling berhasil yang pernah dilakukan
disana.”
Tarik
telah begitu kecewa dengan vonis yang dijatuhkan markas besar buatnya.
Keinginan terakhirnya di dunia sudah pupus. Tidak ada lagi kebanggaan yang
dimilikinya. Bahkan istrinya yang ia harapkan mengerti, tidak juga memberinya
perlindungan. Karir militernya selesai, istrinya minta bercerai. Sebuah
kejadian yang baginya merupakan malapetaka terburuk dalam hidupnya.
Apa yang telah
dilakukannya bersama beberapa anak buahnya hanya melaksanakan tugas. Situasi
pemerintahan mulai tidak stabil setelah diterpa badai krisis ekonomi tahun
1997. Dari pertama ia menolak tugas itu karena bukan wewenang pasukan khusus.
Tapi adanya perintah yang tidak
bisa dibantah oleh siapapun, termasuk Wenang Pati, membuatnya tidak bisa tidak
melakukan operasi itu. Ia dan beberapa anak buahnya dengan mudah membekuk
Gembong gerakan bawah tanah yang dicurigai akan melakukan operasi klandestein, melakukan
gerakan bawah tanah untuk melawan pemerintah. Beberapa hari kemudian koran
ramai memberitakan hilangnya gembong itu yang oleh media dikatakan sebagai
pembela demokrasi yang sedang memperjuangkan demokrasi.
Mulanya ia yakin tidak bakal bisa
dilacak peristiwa sebenarnya oleh LSM dan lembaga hukum yang mengatasnamakan
hak asasi manusia. Tapi rupanya jaman sedang bergerak, semuanya minta bergerak.
Mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran. Dengan mudah kasus itu terlacak
dan masuk pengadilan. Gembong itu nyanyi-nyanyi tentang prosedur penangkapannya.
Gembong itu tahu bukan polisi yang menangkapnya. Dan penyelidikan yang kemudian
berlangsung, menyeret anak buah Tarik sebagai tersangka. Ia sendiri bisa lolos
karena Wenang Pati tidak mau melepasnya.
Tarik
tidak bisa melupakannya, walaupun ia telah berada jauh dari Jakarta.
“Saya
tahu kamu sangat kecewa, tapi berilah kesempatan kedua untuk karirmu.”
“Saya
sudah tidak punya karir, Pak.”
Wenang
Pati terdiam. Ia tahu bekas anak buahnya itu keras kepala. Satu-satunya sifat
yang masih ada pada bekas anak buahnya itu. Sekali lagi dipandanginya wajah
Tarik. Wajah yang tampan tapi mengesankan rasa duka oleh sebuah luka yang
dalam, terus menerus serius dengan kedua matanya yang menikam. Dia memang
telah berubah,
pikir Wenang Pati.
(bersambung)