“NANTI malam aku
menghadap Presiden,” kata Umar Yusuf sambil berjalan dengan Jun Maher ditengah
keramaian Pasar Baru. Kebisingan dan keramaian adalah tempat paling aman mereka
membicarakan sesuatu yang sangat penting tanpa perlu takut ada yang mencuri
dengar. Hidup dan nyawa mereka berada di mulut mereka sendiri.
“Kabar ditemukannya Sam sebentar lagi akan menjadi komoditi yang laris
di Istana,” kata Jun Maher sinis. “Lebih baik ditunda, Pak.”
“Ini masalah serius,
Jun.”
“Kita selalu menangani
kasus yang tidak pernah tidak serius. Tapi ini kasus khusus.”
“Kamu tidak percaya kepada Presiden?”
“Aku tidak percaya kepada All The Presdient Man.”
“Paling tidak aku berharap Presiden lebih bijaksana untuk lebih
menutupi persoalan yang satu ini.”
“Di negeri ini, dimana kita bisa
menyembunyikan sebuah rahasia? Dinding kantor kita terlalu tipis, lebih tipis
dari baju yang kita pakai. Apalagi kalau berita ini sampai di Senayan,
urusannya bisa jadi lain.”
“Jangan menyinggung perasaan orang banyak.”
Jun Maher terbahak.
Umar Yusuf mengambil botol air mineralnya
dan meminumnya.
“Apakah bisa dipastikan
teman-teman yang lain akan
keluar?”
“Pasti. Bahkan mungkin
saat ini CIA, MI6, KGB, Mossad, sudah memilih agent-agent terbaiknya untuk turun,” jawab Umar Yusuf tegas.
“Siapa orang ini sebenarnya?” Jun Maher jadi
keheranan sendiri, padahal ia sudah paham diluar kepala tentang orang ini sejak
masih duduk di sekolah menengah atas. Tapi apa yang dikatakan atasannya menjadi
sangat menegangkan.
“Sam dikenal sebagai
pimpinan Biro Khusus Partai Komunis Indonesia. Tapi sebenarnya dia adalah double
agent, bahkan dia seorang triple
agent.” Umar Yusuf seperti sedang
membacakan buku pelajaran sejarah. “Peristiwa yang dikenal gerakan 30 september
1965 adalah hasil kecemerlangan otak Sam, sehingga sampai sekarang menjadi
teka-teki.”
“Menurutku dia terlalu pintar untuk merancang gerakan yang mengguncang
dunia itu seorang diri.” Jun Maher berkata sinis.
“Tentu saja dia tidak
sendirian. Dokumen Gilchrist
contoh paling nyata yang dibuat agent MI6 yang menyatakan adanya Dewan Jendral.”
“Tapi penghilangan
jejak pada lini-lini penting adalah khas operasi intelijen, dan itu metode
klasik CIA.”
“Itu memperkuat dugaan
bahwa Sam triple agent.”
“Menurut bapak, Sam sengaja menghilang atau dihilangkan?”
“Menurutku dia sengaja disimpan.”
“Atau jangan-jangan Sam itu sebenarnya orang yang pemalu dan rendah
hati.”
Mereka tertawa.
Suara tawa penuh
kelucuan.
“Tapi kenapa sekarang
bisa ditemukan?” Jun Maher mengernyitkan dahi. “Apakah dia sengaja menampakkan
diri? Lebih gila lagi dia muncul di Banjarnegara. Kenapa tidak di Perancis
seperti tokoh PKI yang lain? Atau Belanda? Atau Amerika Serikat, sehingga dia
layak dipanggil Paman Sam.”
“Ada yang pernah
mengatakan Sam hidup di Belanda dan Perancis. Tapi alasan kenapa dia bisa
berada di Banjarnegara, kau yang harus cari tahu.”
“Ini pasti informasi ngawur.”
“Foto-foto yang sampai
di mejaku, sudah diteliti di lab. Semuanya menunjukkan kesamaan antara foto
lama dan foto terbaru yang dikirim agen lapangan.”
“Saat kita seharusnya
mengurusi hal yang lebih penting, kita malah mengurusi orang tidak waras ini.”
Jun Maher terus berkata. “Aidit dan Untung menjadi terkenal karena berita
eksekusi mereka dimasukkan dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Tapi
Sam? Orang ini merasa terlalu berharga untuk menjadi komoditas berita di
selembar kertas pembungkus tempe.”
Jun Maher lalu diam.
Umar Yusuf kelihatan
berpikir.
“Dalam tiga hari ini aku sudah harus mendapatkan tim untuk kau
pimpin.”
“Ada teman kita yang
aktif di kota kecil itu?”
“Aku sudah mengirimkan agent kita sejak berita ini sampai. Dan kita terus
berhubungan.” Umar Yusuf meminum kembali air mineral yang dibawanya, sepertinya
butuh banyak ketenangan, lalu diam sebentar dan kemudian berkata, “Aku ingin
Sam dibawa secepatnya ke Jakarta. Aku tidak mau pihak lain mendapatkannya
terlebih dahulu.”
“Aku ingin ikut memilih
anggota tim yang berangkat.”
“Nanti malam data agent-agent yang harus dipilih sudah di mejaku.”
Umar Yusuf lantas berbelok masuk ke dalam sebuah Barber Shop. Jun
Maher membeli sebuah rokok di penjual keliling, setelah itu ia masuk menyusul
atasannya.
***
TAMAN Rekreasi dan
Margasatwa Serungling Mas Banjarnegara adalah sebuah taman rekreasi dan kebun
binatang yang letaknya satu kilometer dari pusat kota Banjarnegara. Taman
rekreasi ini berdampingan dengan sifon atau saluran bawah tanah di bawah sungai Banjarcahyana yang dibangun
Belanda tahun 1938. Dari tempat itu, pengunjung dapat menyaksikan pertemuan
tiga sungai, yaitu sungai Serayu, sungai Merawu dan sungai Palet. Presiden
Soekarno pernah mengunjungi bangunan itu pada tahun 1952 dan sangat
mengaguminya.
Sebelumnya taman rekreasi itu merupakan hutan kota dan saat hari libur
selalu ramai dikunjungi dan akan lebih banyak lagi saat liburan akhir semester
anak sekolah dan saat lebaran. Sinar matahari yang terik tidak terasakan lagi
saat berada di taman rekreasi ini. Rimbunnya pohon telah membuat teduh dan
orang-orang menjadi nyaman berada disana.
Mustajab membawa kamera
tustelnya dengan cara dikalungkan di lehernya. Penampilannya seperti tukang
foto keliling yang menawarkan jasanya kepada pengunjung taman rekreasi untuk
difoto. Dengan memakai topi butut dan rompi lusuh, Mustajab meyakinkan seperti
tukang foto keliling lainnya. Tidak seperti tukang foto keliling lain yang
benar-benar menawarkan diri kepada pengunjung, Mustajab lebih suka kesana
kemari mencari gambar yang nantinya bisa menjadi koleksi fotonya dan bisa
dikirimkan ke majalah Ibukota.
Bagi keluarga besarnya,
Mustajab bekerja sebagai karyawan di Departemen Pertahanan sesuai dengan
jurusan yang diambilnya saat kuliah. Saat mendapatkan perintah untuk ke Banjarnegara
ia mengira sedang menghadapi lelucon. Sampai kemudian Umar Yusuf sendiri yang
memberinya perintah, baru ia percaya dan langsung menuju kota kelahirannya.
Seperti pulang kampung saja dan yang paling senang adalah istrinya. Kepada
istri dan anaknya dan kepada kedua orangtuanya serta kepada mertuanya, dia
mengatakan mendapatkan cuti dari kantornya.
Kesukaan yang diketahui keluarganya adalah ia suka memotret. Maka
ketika ia pergi membawa kamera dan mengatakan ingin mencari gambar foto
koleksi, tidak ada yang mencurigainya. Keluarga besarnya, bahkan istrinya tidak
pernah mengetahui pekerjaan sebenarnya Mustajab adalah seorang telik sandi, seorang mata-mata yang bekerja untuk negara. Di
mata keluarganya, Mustajab adalah sosok pendiam yang lebih banyak menghabiskan
waktunya dengan membaca buku sejak kecil.
Ayahnya adalah
pensiunan guru agama. Sejak sekolah dasar, ia di sekolahkan di sekolah agama
sampai dengan sekolah menengah atas. Hal yang selalu membanggakan kedua
orangtuanya adalah ia selalu mendapakan peringkat di tiga besar di kelasnya.
Saat lulus sekolah menengah atas, kedua orangtuanya menginginkannya masuk di
perguruan tinggi agama seperti kakak sulungnya yang mengambil bidang pendidikan
agama. Tapi Mustajab memilih bidang Sosial Politik. Nilainya selalu tinggi di
kelas dan saat baru selesai di wisuda, seseorang menghampirinya dan mengatakan
ia di terima bekerja di Departemen Pertahanan. Tentu saja ia terkejut karena
tidak pernah mengajukan lamaran, apalagi bukan Departemen Luar Negeri seperti
keinginannya. Esok harinya ia tetap datang dan dua tahun kemudian, ia direkrut
Dinas Intelijen Khusus.
Mustajab sengaja ke
tempat rekreasi Serunglingmas karena Abusono dan keluarganya sedang berada
disana. Abusono membawa istrinya dan dua anaknya. Anaknya yang paling besar
bernama Dodo dan adiknya seorang gadis kira-kira berumur 16 tahun. Istrinya
tampak lebih tua dari umurnya yang sebenarnya, dengan rambut memutih semua.
Abusono kelihatan sangat menikmati rekreasinya dengan keluarganya. Bahkan ia
ikut naik gajah yang disewakan di kebun binatang itu.
Semua kegembiraan
Abusono dan keluarganya diabadikan dalam foto Mustajab. Sampai setengah hari
Abusono berada di tempat rekreasi itu. Setelah itu mereka pulang. Mustajab
meyakinkan terlebih dahulu mereka tidak mampir ke tempat lainnya dengan
mengikuti bis yang mengangkut mereka. Saat sampai di sebuah daerah bernama
Mandiraja, mereka juga tidak kelihatan turun, Mustajab segera melarikan
motornya terlebih dahulu. Mandiraja adalah sebuah kota Kecataman berjarak tiga
kilometer dari tempat tinggal Abusono di daerah bernama Purworejo Klampok yang
berjarak hampir 30 kilometer dari pusat kota Banjarnegara.
Rumah yang yang ditempati Abusono merupakan rumah kolonial. Di sekitarnya banyak
rumah sejenis dan bukan merupakan perkampungan padat penduduk. Hanya ada
beberapa rumah kolonial itu. Didepan rumahnya ada sebuah tanah lapang yang
digunakan untuk keperluan tertentu selain untuk berolahraga warga sekitar.
Diseberang lapangan itu juga berderet rumah kolonial yang sudah padat penduduknya.
Mustajab teringat sewaktu SMP ia pernah mengikuti perkemahan di lapangan itu.
Saat itu ia tidak pernah mempunyai bayangan masa depan, suatu saat harus berada
di tempat yang sama untuk keperluan yang berbeda.
Daerah Purworejo
Klampok merupakan daerah yang terkenal dengan kerajinan keramik berupa guci dan
souvenir lainnya. Produknya mampu bersaing dengan produk dari daerah Plered di
Purwakarta atau Kasongan di Kota Gede Yogyakarta. Hanya saja industri keramik
di biarkan berjalan sendiri dengan kemampuan pengrajin. Tidak diarahkan untuk
menjadi sebuah industri masa depan untuk kepentingan komoditi. Hal itu bisa
dilihat masih banyaknya warga sekitar yang lebih memilih pergi ke Jakarta
daripada menjadi pengrajin keramik.
Mustajab memarkir
motornya di seberang jalan masuk ke arah rumah Abusono. Ia sudah mencopot
atribut yang dipakai di tempat rekeasi. Rompi lusuh dan topi butut dan kamera
di leher. Kamera masih ada disampingnya. Ia membongkar busi motornya. Saat itu
bis yang menganggkut Abusono datang dan berhenti di tempat yang sudah
diperkirakannya. Dari balik motornya, dengan posisi jongkok, Mustajab mengambil
gambar Abusono menuju rumahnya. Wajah terakhir yang diambilnya dalah wajah close
up Abusono saat masuk ke dalam
rumahnya.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment