BAB 5
PANGKALAN udara
Wirasaba adalah sebuah pangkalan kecil. Terletak di Kabupaten Purbalingga,
persis berbatasan dengan Banjarnegara di sebelah barat. Tidak banyak aktifitas
di pangkalan udara itu karena jarang sekali di gunakan. Pada sekitar tahun 1988 Presiden
Soeharto menggunakan lapangan udara itu saat meresmikan Pembangkit Listrik
Tenaga Air Mrica yang dinamakan Bendungan Panglima Besar Soedirman. Setelah
itu, tidak banyak pendaratan yang menyita perhatian masyarakat.
Mustajab sudah
melakukan standar operasi yang biasa ia lakukan. Dua mobil telah ia sewa dan
telah di siapkan di pangkalan udara Wirasaba sejak sore hari. Ia juga sudah
menyiapkan kamar hotel di pusat kota. Ia sengaja menyewa hotel di pusat kota
untuk menghindari kecurigaan dari siapapun. Di daerah Abusono bertempat tinggal
adalah daerah perkampungan, tidak ada penginapan, apalagi sebuah hotel.
Entah kenapa ia merasa
kali ini tegang. Mungkin karena ia melakukan operasi di tanah kelahirannya. Bukan soal takut akan ada
orang yang mengenalinya, tapi ia harus melakukan pekerjaannya sekarang dengan
sempurna. Ia sedang menghadapi orang yang paling dicari dalam sejarah negeri
ini. Kalau boleh memilih, ia lebih suka melakukan operasi menghadapi teroris
seperti kelompok Jamaah Islamiyah. Mustajab tersentak ketika radio-nya berbunyi.
“Serayu masuk-Serayu masuk, disini
Ciliwung.” terdengar suara
Jun Maher di seberang sana dengan suara setengah berteriak karena berebut
dengan kebisingan suara helkopter.
“Disini Serayu-disini Serayu,” jawab
Mustajab.
“Apakah fajar siap
muncul di ufuk dalam sepuluh menit?”
“Serayu siap menjemput,
Pak,” jawab Mustajab singkat dan langsung menutup radio-nya.
Mustajab sudah didalam
mobil di pangkalan udara Wirasaba sejak enam jam terakhir dan ia tidak pernah
keluar dari sana. Ia terus membuka saluran radio agar mengetahui lalu lintas
pembicaraan dari manapun. Setiap percakapan didengarnya dan ia ia akan
mengetahui informasi apapun yang disekitar wilayahnya meskipun ada yang
menggunakan kata sandi. Sejak siang hari ia juga sudah melakukan pembersihan di wilayah di sekitar pangkalan udara Wirasaba. Ia
harus memastikan wilayah pangkalan udara itu terbebas dari unsur sabotase.
Sepuluh menit kemudian
sebuah helicopter Dinas Intelijen Khusus mendarat. Lima menit kemudian terbang
kembali dan menghilang di kegelapan pagi yang menjelang. Lima lelaki berbadan
besar dan masing-masing menggendong ransel menuju dua mobil yang sudah di
parkir. Mustajab menatap Jun Maher dan memberi kode tertentu bahwa semuanya
sudah disiapkannya. Tanpa bicara sepatah katapun, mereka masuk ke dalam mobil masing-masing.
Mustajab membawa satu mobil yang dinaiki Parwata dan Warsito Abdul Khamid. Beny
Reza membawa satu mobil lagi dengan Jun Maher dan Tigor Naipospos. Tidak sampai
lima menit, kedua mobil itu menginggalkan pangkalan udara Wirasaba.
Sepanjang perjalanan menuju pusat kota
Banjarnegara, Mustajab juga tidak membuka suara. Parwata langsung memejamkan
matanya. Warsito Abdul Khamid menghitung jarak perjalanan yang ditempuhnya.
Beny Reza membawa mobilnya sesantai mungkin dan merekam semua rambu lalu lintas
didepannya. Jun Maher mempelajari jalur yang mereka lalui, menghitung setiap
jalan simpang, jembatan dan belokan, serta menghafal setiap letak rumah, warung
rokok, warung makan, pos polisi. Sementara Tigor Naipospos menikmati suasana.
“Tempat sembunyi yang
menyenangkan,” cetus Tigor Naipospos.
Tak ada yang menimpali.
Sunyi.
Memasuki pusat kota
Banjarnegara, Tigor Naipospos berseru kembali, “Aku hanya butuh limabelas menit
sampai disini.”
“Aku sanggup sepuluh
menit dengan kecepatan seratus lima puluh kilometer perjam,” jawab Beny
santai.
“Memangnya kita sedang
mengikuti rally Paris Dakar,”
kata Jun Maher menatap kedua orang itu tersenyum. Lalu turun dari mobil.
Tanpa suara mereka juga langsung masuk ke
dalam kamar hotel yang sudah disiapkan. Hanya Mustajab yang melakukan
pembicaraan dengan pegawai hotel. Pegawai hotel mengantarkan sampai didepan
kamar dan Mustajab memberikan uang tip supaya lekas pergi. Mustajab menyewakan
tiga kamar. Seperti pengaturan masuk mobil, mereka masuk kamar hotel begitu
saja. Jun Maher satu kamar dengan Mustajab. Lima menit kemudian, Beny Reza,
Tigor Naipospos, Parwata dan Warsito Abdul Khamid menuju kamar Jun Maher tanpa
menimbulkan suara langkah kaki.
Mustajab sudah
membentangkan kertas blue print
lokasi rumah Abusono alias Sam. Catatan jarak yang ditempuh dan waktu yang
dibutuhkan. Jun Maher sudah mempelajarinya begitu masuk kamar. Begitu semua agent berkumpul didepannya, ia segera melakukan
tugasnya.
“Target kita bertempat
tinggal di sebuah desa bernama Purworejo Klampok. Kita sudah melewatinya tadi.”
Jun Maher mulai sangat serius. “Daerah sekitar target tinggal adalah daerah
terbuka. Jadi kita butuh base camp disekitar
tempat tinggal target untuk memudahkan kita bergerak. Pak Parwata, jam duabelas
siang sudah harus mendapatkan base camp berupa rumah kolonial di daerah sekitar target.”
“Sebelum jam sebelas
sudah saya dapatkan.” Parwata yakin sekali.
“Warsito
dan Tigor, lakukan pengintaian target dan sudah harus mendapatkan detail
lingkungan tempat tinggal target.” Jun Maher lalu menoleh kepada Mustajab.
“Selanjutnya, kita akan mendengarkan paparan Mustajab.”
“Target kita tidak
pernah keluar rumah. Tetangga pasif dan kondisi lingkungan aman diatas jam
duapuluh satu. Dua hari lagi target pergi ke Purwokerto dan di jadwalkan pulang
dengan bis jurusan Semarang jam duapuluh
dan sampai di pinggir jalan sekitar jam duapuluh satu lewat sepuluh
menit Waktu Indonesia bagian Barat. Jarak pinggir jalan raya ke rumah target
lima menit lebih lima detik.” Mustajab menjelaskan dengan lancar. “Saat
kepulangan target, saat paling baik buat kita bergerak dan mengambilnya.”
“Kita matangkan rencana
hari ini. Target kita ambil
seperti petunjuk Mustajab.” Jun Maher melihat ke semua anak buahnya. “Ada pertanyaan?”
“Bagaimana dengan keluarganya?”
Tanya Warsito
“Kita ambil target tanpa diketahui mereka.”
“Mereka akan lapor
polisi.” Beny Reza berpendapat.
“Kalau benar itu Sam,
tidak mungkin mereka berani lapor Polisi,” sahut Tigor Naipospos.
“Semua kemungkinan itu
kita singkirkan,” kata Jun Maher. “Kita fokuskan kepada pengambilan target. Ada pertanyaan lagi?”
Tidak ada pertanyaan
lagi.
“Motor sudah
siap?” Jun Maher menoleh kepada
Mustajab.
“Sudah siap, Pak,”
jawab Mustajab memberikan kunci motor.
“Tigor dan Warsito, ini
waktunya kalian jalan-jalan.” Jun Maher memberi perintah dan menyodorkan kunci
motor kepada Tigor Naipospos.
Tanpa menjawab kedua
lelaki itu keluar ruangan tanpa menimbulkan keributan.
“Pak Parwata, silahkan
ambil kunci mobil Mustajab untuk mengunjungi tetangga.”
Tanpa menjawab, Parwata menerima kunci mobil
dari Mustajab dan keluar ruangan juga.
“Kita lihat keadaan
kota, apa yang bisa kita lakukan.” kata Jun Maher kepada Mustajab dan Beny Reza
sambil keluar kamar.
Keadaan kamar kembali sepi.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment