Monday, February 28, 2011

SAM (5)


BAB 5

PANGKALAN udara Wirasaba adalah sebuah pangkalan kecil. Terletak di Kabupaten Purbalingga, persis berbatasan dengan Banjarnegara di sebelah barat. Tidak banyak aktifitas di pangkalan udara itu karena jarang sekali di gunakan.  Pada sekitar tahun 1988 Presiden Soeharto menggunakan lapangan udara itu saat meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Air Mrica yang dinamakan Bendungan Panglima Besar Soedirman. Setelah itu, tidak banyak pendaratan yang menyita perhatian masyarakat.
     Mustajab sudah melakukan standar operasi yang biasa ia lakukan. Dua mobil telah ia sewa dan telah di siapkan di pangkalan udara Wirasaba sejak sore hari. Ia juga sudah menyiapkan kamar hotel di pusat kota. Ia sengaja menyewa hotel di pusat kota untuk menghindari kecurigaan dari siapapun. Di daerah Abusono bertempat tinggal adalah daerah perkampungan, tidak ada penginapan, apalagi sebuah hotel. 
     Entah kenapa ia merasa kali ini tegang. Mungkin karena ia melakukan operasi di tanah kelahirannya. Bukan soal takut akan ada orang yang mengenalinya, tapi ia harus melakukan pekerjaannya sekarang dengan sempurna. Ia sedang menghadapi orang yang paling dicari dalam sejarah negeri ini. Kalau boleh memilih, ia lebih suka melakukan operasi menghadapi teroris seperti kelompok Jamaah Islamiyah. Mustajab tersentak ketika radio-nya berbunyi.
     “Serayu masuk-Serayu masuk, disini  Ciliwung.” terdengar suara Jun Maher di seberang sana dengan suara setengah berteriak karena berebut dengan kebisingan suara helkopter.
     “Disini Serayu-disini Serayu,” jawab Mustajab.
     “Apakah fajar siap muncul di ufuk dalam sepuluh menit?
     “Serayu siap menjemput, Pak,” jawab Mustajab singkat dan langsung menutup radio-nya.    
     Mustajab sudah didalam mobil di pangkalan udara Wirasaba sejak enam jam terakhir dan ia tidak pernah keluar dari sana. Ia terus membuka saluran radio agar mengetahui lalu lintas pembicaraan dari manapun. Setiap percakapan didengarnya dan ia ia akan mengetahui informasi apapun yang disekitar wilayahnya meskipun ada yang menggunakan kata sandi. Sejak siang hari ia juga sudah melakukan pembersihan di wilayah di sekitar pangkalan udara Wirasaba. Ia harus memastikan wilayah pangkalan udara itu terbebas dari unsur sabotase.
     Sepuluh menit kemudian sebuah helicopter Dinas Intelijen Khusus mendarat. Lima menit kemudian terbang kembali dan menghilang di kegelapan pagi yang menjelang. Lima lelaki berbadan besar dan masing-masing menggendong ransel menuju dua mobil yang sudah di parkir. Mustajab menatap Jun Maher dan memberi kode tertentu bahwa semuanya sudah disiapkannya. Tanpa bicara sepatah katapun, mereka masuk ke dalam mobil masing-masing. Mustajab membawa satu mobil yang dinaiki Parwata dan Warsito Abdul Khamid. Beny Reza membawa satu mobil lagi dengan Jun Maher dan Tigor Naipospos. Tidak sampai lima menit, kedua mobil itu menginggalkan pangkalan udara Wirasaba.
     Sepanjang perjalanan menuju pusat kota Banjarnegara, Mustajab juga tidak membuka suara. Parwata langsung memejamkan matanya. Warsito Abdul Khamid menghitung jarak perjalanan yang ditempuhnya. Beny Reza membawa mobilnya sesantai mungkin dan merekam semua rambu lalu lintas didepannya. Jun Maher mempelajari jalur yang mereka lalui, menghitung setiap jalan simpang, jembatan dan belokan, serta menghafal setiap letak rumah, warung rokok, warung makan, pos polisi. Sementara Tigor Naipospos menikmati suasana.
     “Tempat sembunyi yang menyenangkan,” cetus Tigor Naipospos.
     Tak ada yang menimpali.
     Sunyi.
     Memasuki pusat kota Banjarnegara, Tigor Naipospos berseru kembali, “Aku hanya butuh limabelas menit sampai disini.”
     “Aku sanggup sepuluh menit dengan kecepatan seratus lima puluh kilometer perjam,” jawab Beny santai. 
     “Memangnya kita sedang mengikuti rally Paris Dakar,” kata Jun Maher menatap kedua orang itu tersenyum. Lalu turun dari mobil.
     Tanpa suara mereka juga langsung masuk ke dalam kamar hotel yang sudah disiapkan. Hanya Mustajab yang melakukan pembicaraan dengan pegawai hotel. Pegawai hotel mengantarkan sampai didepan kamar dan Mustajab memberikan uang tip supaya lekas pergi. Mustajab menyewakan tiga kamar. Seperti pengaturan masuk mobil, mereka masuk kamar hotel begitu saja. Jun Maher satu kamar dengan Mustajab. Lima menit kemudian, Beny Reza, Tigor Naipospos, Parwata dan Warsito Abdul Khamid menuju kamar Jun Maher tanpa menimbulkan suara langkah kaki.
     Mustajab sudah membentangkan kertas blue print lokasi rumah Abusono alias Sam. Catatan jarak yang ditempuh dan waktu yang dibutuhkan. Jun Maher sudah mempelajarinya begitu masuk kamar. Begitu semua agent berkumpul didepannya, ia segera melakukan tugasnya.
     “Target kita bertempat tinggal di sebuah desa bernama Purworejo Klampok. Kita sudah melewatinya tadi.” Jun Maher mulai sangat serius. “Daerah sekitar target tinggal adalah daerah terbuka. Jadi kita butuh base camp disekitar tempat tinggal target untuk memudahkan kita bergerak. Pak Parwata, jam duabelas siang sudah harus mendapatkan base camp berupa rumah kolonial di daerah sekitar target.”
     “Sebelum jam sebelas sudah saya dapatkan.” Parwata yakin sekali.
      “Warsito dan Tigor, lakukan pengintaian target dan sudah harus mendapatkan detail lingkungan tempat tinggal target.” Jun Maher lalu menoleh kepada Mustajab. “Selanjutnya, kita akan mendengarkan paparan Mustajab.”
     “Target kita tidak pernah keluar rumah. Tetangga pasif dan kondisi lingkungan aman diatas jam duapuluh satu. Dua hari lagi target pergi ke Purwokerto dan di jadwalkan pulang dengan bis jurusan Semarang jam duapuluh  dan sampai di pinggir jalan sekitar jam duapuluh satu lewat sepuluh menit Waktu Indonesia bagian Barat. Jarak pinggir jalan raya ke rumah target lima menit lebih lima detik.” Mustajab menjelaskan dengan lancar. “Saat kepulangan target, saat paling baik buat kita bergerak dan mengambilnya.”
     “Kita matangkan rencana hari ini. Target kita ambil seperti petunjuk Mustajab.” Jun Maher melihat ke semua anak buahnya.  “Ada pertanyaan?”
     “Bagaimana dengan keluarganya?” Tanya Warsito
     “Kita ambil target tanpa diketahui mereka.”
     “Mereka akan lapor polisi.” Beny Reza berpendapat.
     “Kalau benar itu Sam, tidak mungkin mereka berani lapor Polisi,” sahut Tigor Naipospos.
     “Semua kemungkinan itu kita singkirkan,” kata Jun Maher. “Kita fokuskan kepada pengambilan target. Ada pertanyaan lagi?”
     Tidak ada pertanyaan lagi.
     “Motor sudah siap?”  Jun Maher menoleh kepada Mustajab.
     “Sudah siap, Pak,” jawab Mustajab memberikan kunci motor.
     “Tigor dan Warsito, ini waktunya kalian jalan-jalan.” Jun Maher memberi perintah dan menyodorkan kunci motor kepada Tigor Naipospos.
     Tanpa menjawab kedua lelaki itu keluar ruangan tanpa menimbulkan keributan.
     “Pak Parwata, silahkan ambil kunci mobil Mustajab untuk mengunjungi tetangga.”
     Tanpa menjawab, Parwata menerima kunci mobil dari Mustajab dan keluar ruangan juga.
     “Kita lihat keadaan kota, apa yang bisa kita lakukan.” kata Jun Maher kepada Mustajab dan Beny Reza sambil keluar kamar.
Keadaan kamar kembali sepi.    
     (bersambung)

No comments: