BAB 4
WAJAH Abusono dalam
foto close up itu sudah didepan
Jun Maher yang duduk diam menatap wajah tuanya. Wajah yang berkeriput dan air
muka tua yang menyimpan banyak beban rahasia. Sinar matanya menyisakan harapan
ingin hidup lebih lama.
Benarkah laki-laki ini Sam?
Kenapa ia muncul?
Jun Maher membangun karir intelijennya
dengan mempertaruhkan dirinya sendiri. Diatas usia kepala empat, ia belum juga
beristri. Bukan karena begitu banyak kasus yang harus dikerjakannya tapi ia
ingin total. Barangkali teman-temannya bisa bekerja sambil mendengar rengekan
anak dan istrinya, ia tidak bisa. Hidup di dunia intelijen adalah hidup di
dunia yang gelap, penuh prasangka buruk dan penuh dengan beban rahasia yang seringkali busuk. Sesuatu
yang harus selalu di pegangannya adalah ”jangan percaya pada siapa pun”.
Sam adalah sebuah
sejarah gelap masa lalu. Selama lebih dari empat puluh tahun, Gerakan 30
September 1965 tetap menjadi misteri bagi banyak sejarawan, justru karena
sumber-sumber primernya sangat
tidak bisa diandalkan. Sejarawan yang menulis tentang peristiwa gelap itu masih
saling berdebat sendiri dengan banyak teori. Diluar sejarawan, banyak ilmuwan,
wartawan, penulis lepas, bahkan ahli filsafat menuliskan peristiwa itu dalam
tulisan di surat kabar dan bentuk buku. Lebih dari duapuluh judul buku sudah
Jun Maher baca dan semua berkesimpulan dengan teori lebih dari satu. Tidak ada
yang pasti dan semuanya saling berdebat sengit mempertahankan keyakinan
teorinya.
Barangkali semua teori
yang beredar benar. Terlalu banyak yang bermain pada saat terjadinya peristiwa
Gerakan 30 September. Negeri ini terlalu sayang hanya diurus oleh orang-orang
lokal yang tidak tahu bagaimana mengurus negeri dengan benar. Indonesia adalah
kue raksasa yang setiap orang ingin mencicipi kelezatan rasanya sejak negeri
ini belum menemukan namanya sendiri. Bahkan remah-remahnya banyak yang
menginginkannya.
Suatu tim cerdas-cermat yang tangguh barangkali mampu menyingkap tabir
gelap Gerakan 30 September tanpa dibebani pesan sponsor manapun. Karena menulis sejarah adalah urusan para
professional, bukan urusan amatir. Di zaman apapun selalu bisa ditemukan
hal-hal baik, lumayan, biasa, buruk ataupun biadab. Dan selalu ada pihak yang
menarik keuntungan, berpesta di atas penderitaan orang. Di setiap penggalan sejarah
selalu ada pengkhianat, pahlawan, oportunis dan penonton. Dalam setiap zaman berbagai sifat
itu ada dalam semua sisi yang bertengkar. Sejarah tidak kenal ampun dan catatan
sejarah tidak mungkin dihapus oleh siapapun dan oleh apapun.
Jun Maher tidak peduli
dengan teori sejarah manapun. Sekarang ia hanya menginginkan Sam. Orang itu
sudah terlalu lama bersembunyi. Lelaki itu harus bicara, batinnya dengan berapi-api. Ia bukan untuk hendak
membuat teori sendiri tapi untuk sebuah nilai yang barangkali masih berguna
untuk bangsanya. Tiba-tiba Jun Maher merasa menjadi seseorang yang sok idealis, tapi ia sedang bekerja di tempat yang mempunyai
tanggung jawab meluruskan sesuatu yang bengkok.
Telponnya berdering dan
dengan cara seperti biasa, ia mengangkatnya, “Ya…”
“Aku tunggu sekarang
di kantor,” terdengar suara Umar
Yusuf di seberang sana.
“Baik, Pak.”
Empat puluh menit
kemudian, Jun Maher sudah disebuah ruangan khusus di kantornya. Ada enam orang
laki-laki lain termasuk Umar Yusuf. Ia tahu mereka semua adalah agent seperti dirinya. Tidak satu orangpun yang
dikenalnya.
“Bapak-bapak, kenalkan Jun Maher, yang akan
memimpin tim ini,” kata Umar Yusuf memperkenalkan. “Jun, yang duduk di sudut
itu adalah Beny Reza, ahli navigasi.”
Jun Maher mengangguk
tanpa senyum kepada lelaki berumur tigapuluha lima tahun berkulit gelap itu.
Badannya gempal dan raut mukanya persis orang Ambon. Beny Reza seperti sudah
tahu pertanyaan di kepala Jun Maher saat menatapnya tajam.
“Ayah saya Jawa dan Ibu
saya Padang, tapi kakek asli Maluku,” Beny Reza berkata dengan nada tinggi.
“Saya kira itu yang anda pikirkan.”
Jun Maher terpaksa
tersenyum.
“Itu Tigor Naipospos,”
tunjuk Umar Yusuf ke arah lelaki Batak berbadan besar dengan wajah keras dan
mata yang liar.
“Nama macam apa itu Jun
Maher?” Tanya Tigor Naipospos tiba-tiba.
“Yang jelas bukan nama
orang Batak,” jawab Jun Maher.
“Yang duduk pendiam itu
Pak Parwata. Kebutuhan lapangan macam apa, dia sanggup menyediakannya dengan
sangat cepat. Bahkan lebih cepat dari broker rumah di Jakarta kalau kita membutuhkan base
camp.”
“Apa keahlianmu?” Tanya
Jun Maher kepada Tigor Naipospos.
“Apa saja yang kau
minta,” jawabnya enteng. “Bahkan tengah malam kau butuh pentil pesawat, aku
bisa bawakan sebelum matahari muncul.”
Umar Yusuf tertawa
terpingkal-pingkal.
Seorang lelaki seumuran
dirinya berdiri dan menyodorkan tangan minta bersalaman dengan Jun Maher sambil
berkata, “Saya Warsito Abdul Khamid, lahir di Selo, Purwodadi, Jawa Tengah.”
“Tempat asal Ki Ageng
Selo?”
“Beliau di namakan Ki
Selo bukan karena lahir di Selo tapi bertempat tinggal di Selo sampai
meninggalnya. Saya mengidolakan beliau yang lebih suka bertani daripada
menerima tawaran Sultan Demak menjadi Panglima Perang. Bayangkan, jabatan
sepenting itu ditolak. ”
“Bah, seperti sedang
belajar pelajaran sejarah saja,” sela Tigor Naipospos.
“Kita berkumpul disini
juga karena ada sejarah yang gelap,” Beny Reza berkata sengit.
“Seperti muka kau itu.”
Beny Reza malah
tertawa.
Umar Yusuf meraih
remote dan sesaat kemudian muncul gambar wajah Abusono di layar. Kemudian dia
berkata lantang, “Ini adalah Abusono. Tapi kita meyakini dia adalah Sam, kepala
Biro Khusus Partai Komunis Indonesia yang menghilang setelah peristiwa Gerakan
30 September…”
Semua menyimak dengan
serius, tapi Tigor Naipospos menyela dengan cepat, “Sam Kamaruzzaman?”
“Kita hanya menyebutnya
Sam.”
“Kenapa hanya Sam?”
Beny Reza juga bertanya. “Kenapa tidak Samsul atau Samsir. Yang jelas tidak
hanya Sam.”
“Karena hanya Sam.” Umar Yusuf lalu
membcakan kertas yang dibawanya. “Sam alias Abusono lahir di Tuban, Jawa Timur.
Tahun 1957 dia menjadi pembantu pribadi Dipa Nusantara Aidit dan tahun 1960 dia
ditetapkan sebagai anggota Departemen Organisasi PKI. Empat tahun kemudian dia
memperkenalkan bentuk pengoraganiasian yang berasal dari ABRI. Lahirlah
kemudian yang disebut Biro Khusus Sentral.”
Semua mendengarkan dengan serius.
“Sam ibarat hantu yang menyusup kemana saja
dia mau. Sehingga diyakini bahwa dia adalah agen ganda untuk PKI, CIA, MI6, KGB
dan ABRI.”
“Saya kira dia adalah spionase nomer satu di
dunia.” Tigor Naipospos berkata dengan serius. “Bahkan saya yakin, Zulkifli
Lubis yang dikatakan sebagai bapak intelijen kita saja sampai kalah.”
“Sam ditangkap tanggal 9 Maret 1967 dan di
adili di Mahmakah Militer Luar Biasa di Bandung setahun kemudian. Sam di vonis
mati, tapi eksekusinya diragukan. Karena informasi yang diyakini, Sam
dilepaskan dan berganti identitas. Meskipun pernah ada yang meyakini dia hidup
di Perancis dan Belanda, tapi
kenyataan sekarang kita mendapatkan Sam berada di Banjarnegara, sebuah
kota Kabupaten di wilayah Jawa Tengah.“
Semua masih mendengarkan.
“Dalam waktu Sembilanpuluh enam jam kalian akan menjemput orang ini
dan di bawa ke Jakarta. Operasi ini dinamakan operasi Serayu.”
“Maaf Bapak Direktur,”
Tigor Naipospos memotong lagi. “Siapa yang meyakini kalau orang ini Sam?”
“Dia memang diyakini
Sam.”
“Tidak mungkin selama
ini tidak ada ada agent
lapangan disana yang mengetahuinya,” sela Parwata yang dari tadi diam.
“Dia dikenali oleh
teman lama kita yang telah pensiun.” Umar Yusuf menoleh ke Tigor Naispospos.
“Kenapa Tigor, kau takut?”
“Tentu saja. Kalau
benar orang ini Sam, CIA pasti juga menginginkannya,” kata Tigor sengit.
“Mungkin KGB, MI6 juga akan turun.”
“Saya tidak yakin CIA
akan tertarik.” Kata Parwata. “Kasus ini sudah basi buat mereka dan kalaupun
ada akibat yang akan ditimbulkan oleh munculnya Sam, mereka tidak bakal ambil
pusing.”
“Apa yang tidak diurusi
CIA di dunia ini.”
“Saya kira tidak perlu
jadi paranoid.” Beny Reza berpendapat.
“Kita taruhan saja
kalau begitu,” tantang Tigor Naipospos.
“Ini tugas negara Bung,
bukan main lotere,” kata Warsito Abdul Khamid.
“Sama saja bagiku.
Negeri kita selama ini juga sedang dijadikan lotere oleh negara-negara yang merasa
kaya dan kuat di seberang sana itu,” jawab Tigor sewot.
“Cukup, bapak-bapak,”
Umar Yusuf berkata lagi, dengan nada yang sama. “Pukul duapuluhtiga nanti
malam, kalian berangkat dari Halim.”
“Memangnya Banjarnegara
itu mempunyai lapangan udara?” Tanya Tigor lagi dengan nada mengejek.
“Ada pangkalan udara
bernama Wirasaba, tigapuluh kilometer barat kota Banjarnegara dan dua kilometer
dari lokasi target,” jawab Jun Maher.
“Kenapa tidak mendarat
di Tunggul Wulung Cilacap, Pak?” Beny Reza menyela, “Saya kira itu jauh tidak
menyita perhatian.”
“Terlalu jauh dari
lokasi target. Lagipula sebelum fajar, kalian sudah sampai. Semoga Tuhan
melindungi kita semua. Selamat siang.” Umar Yusuf segera keluar dari ruangan
itu tanpa menoleh lagi.
Jun Maher berdiri dan
berkata setelah melihat jam tangannya, “Kita masih punya waktu tujuh jam untuk
persiapan. Beny Reza, kau sudah boleh ke Halim mempersiapkan diri.”
“Baik, Bos.”
Lalu mereka bubar.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment