BAB 2
KABAR Abusono berada di
Banjarnegara, sudah sampai di meja Umar Yusuf, kepala Dinas Intelijen Khusus
(DIK). Gedung DIK terletak agak jauh dan menyendiri dari pusat kegiatan
pemerintahan Ibukota Jakarta . Sebuah gedung yang diselimuti oleh kesan
misterius dan penuh rahasia. Dikelilingi tembok tinggi dengan kawat berduri
yang dialiri listrik berkekuatan tinggi, kamera rahasia dan jenis peralatan
canggih lainnya yang mampu mematikan arus komunikasi di sekitarnya. Dari luar,
gedung itu kelihatan tenang. Selalu tenang. Tapi didalam ruangan gedung itu,
berbagai aktifitas sedang berlangsung terus menerus. Tiada waktu berhenti.
Semua harus bergerak dan selalu bergerak.
Penjagaan di setiap
pintu masuk dilakukan selama duapuluhempat jam penuh oleh polisi militer
berseragam sipil. Setiap orang yang masuk, harus diperiksa dengan sangat ketat
melalui ruangan khusus yang telah dipasang sinar infra merah. Pada setiap sudut
terdapat kamera rahasia dan alat deteksi. Tidak ada satu penyusup yang akan
berhasil masuk. Bahkan untuk seekor tikus.
Umar Yusuf, Kepala DIK, masih berada didalam ruang
kerjanya. Berusia enampuluh sembilan tahun, seorang laki-laki yang dingin
dengan wajah penuh kerut ketuaan dan sorot mata menikam serta sarat dengan
beban rahasia yang busuk. Ia seorang purnawirawan Angkatan Laut berbintang
tiga. Masih nampak gagah dan menampakkan diri sebagai laki-laki yang mempunyai
kharisma. Pekerjaannya membuatnya harus selalu berada dalam suatu keadaan segar
bugar, penuh selidik dan mencurigai siapapun, termasuk keluarganya. Ia hanya
percaya kepada dirinya sendiri. Bahkan tidak termasuk kepada Jun Maher, anak
buahnya yang paling ia andalkan, yang tengah duduk didepannya.
Ia sudah memegang sebuah foto ukuran 10R dengan
gambar berwarna dan disodorkan kepada Jun Maher untuk melihatnya.
“Siapa ini?” Tanya Jun
Maher manatap foto lelaki tua berkacamata tebal dengan kepala hampir botak dan
bentuk wajah yang keras.
“Kau tidak tahu dia?”
Umar Yusuf mengambil foto-foto yang lain dan menyodorkannya. “Coba lihat
foto-foto yang ini.”
Jun Maher melihat satu
persatu foto hitam putih itu. Gambar lain dari Abusono sewaktu masih muda dan
satu foto saat berdiri di depan sidang Mahmilub di Bandung. Meskipun belum jelas benar baginya, tapi ia tahu
wajah dingin dalam foto itu. Dan ia begitu saja berkata,
“Sam?”
“Ya.”
“Maksudnya?”
“Dia sudah ditemukan.”
“Sudah ditemukan?”
“Di sebuah kota bernama
Banjarnegara.”
“Orang ini?”
“Ya, Sam, Kepala Biro
Khusus Sentral Partai Komunis Indonesia tahun 1965.” Umar Yusuf dengan lancar
berkata. “Orang yang sampai detik ini tidak ada yang tahu keberadaannya sejak
tanggal 30 sepetember 1986.”
“Bukankah tanggal itu dia dieksekusi di salah satu pulau di Kepualauan
Seribu?”
“Ya. Tapi saat terjadi pergantian kekuasaan tahun 1998, sumber
intelijen mengatakan Sam masih hidup.”
Jun Maher masih tidak
percaya melihat foto Abusono tua, yang di foto beberapa hari sebelumnya oleh
agen yang sudah berada di lapangan.
“Ini hanya kebetulan mirip, Pak.”
“Memang butuh kepastian
untuk meyakinkan bahwa lelaki tua ini adalah Sam. Tapi tim kita di laboratorium
sudah meyakinkan bahwa foto terbaru itu adalah foto Sam.”
“Siapa sumber kita?”
“Teman lama yang telah
pensiun.”
Jun Maher tertawa.
“Kau tidak percaya?”
“Tentu saja tidak,”
Jawab Jun Maher mantap. “Sam itu hanya Tuhan yang tahu berada dimana sekarang
setelah eksekusi yang kita tidak pernah tahu dilakukan atau tidak.”
“Untuk itu kau harus
turun sendiri meyakinkan berita penemuan ini,” kata Umar Yusuf yakin. Ia sudah
mengalami banyak bahaya bersama Jun Maher dan sudah berkali-kali mempercayakan
nyawa kepadanya. Jika Umar Yusuf punya anak asuh, Jun Maher-lah anak asuhnya.
Tapi sedekat apa hubungannya dengan Jun Maher, Umar Yusur tak bisa sepenuhnya
mengenal lelaki itu. Seperti semua agen yang baik, Jun Maher tidak membagi
hidupnya dengan orang lain, hanya memperlihatkan apa yang diperlukan pada saat
dibutuhkan. Persis seperti Umar Yusuf.
“Jadi Bapak percaya
orang ini sudah ditemukan?”
“Demi Tuhan, Jun, ini
penemuan paling menakjubkan setelah orang bisa mendarat di bulan,” kata Umar
Yusuf berapi-api. “Kau tahu, ini juga berita pertama setelah empatpuluh tahun
lebih kita tidak pernah bisa mengendus keberadaannya. Lagipula sangat sedikit
yang tahu wajah orang ini sebenarnya. “
“Menurut saya ini omong
kosong.”
“Setiap informasi
sekecil apapun, sangat berharga buat kita. Apalagi untuk orang yang paling
dicari keberadannya seperti Sam.”
“Kalau pun benar, ini
akan menjadi bola api liar.”
“Dan akan memancing
keluar ikan yang besar.”
“Tetap saja saya belum
percaya,” kata Jun Maher lagi.
“Untuk itu aku akan
siapkan tim untuk kau pimpin ke Banjarnegara,” katanya tegas tanpa menghiraukan
ketidakpercayaan Jun Maher. Ia mengambil telpon. “Kita bicara lagi setelah
ini.”
Jun Maher tidak bisa
berkata lagi. Atasannya itu sudah berbicara di telpon. Artinya ia tidak bisa
membantah atau mengemukakan pendapatnya. Makanya kemudian ia memilih keluar
ruangan. Tapi saat ia hendak
keluar, atasannya itu memanggil lagi.
“Jun, kita bicara
sekarang, tapi diluar.”
Karir Jun Maher dimulai
di Departemen Luar Negeri sebagai wakil Kepala Intelijen urusan Dalam Negeri.
Dengan umur empatpuluh dua tahun, sebenarnya ia terlalu muda untuk menempati
posisi strategis sebagai salah seorang ahli intelijen yang diperhitungkan di
Dinas Intelijen Khusus, sebuah instansi baru yang sangat dirahasiakan
keberadannya. Penampilannya selalu rapi dan bersih, dengan potongan rambut
pendek agar bentuk wajahnya terlihat jelas. Agaknya ia orang yang mempunyai
cukup waktu untuk bersolek. Tapi satu-satunya alasan ia melakukan hal itu
karena belum beristri. Kebutuhan hidupnya telah tercukupi dengan sangat layak.
Sebuah rumah bagus di salah satu kawasan real estat yang banyak di huni kalangan eksekutif muda,
sebuah mobil jip warna hitam, dan setiap ada waktu libur ia menonton film di
Planet Hollywood yang dilanjutkan dengan nongkrong di Hard Rock Cafe. Hampir
semua kenikmatan bisa didapatnya dengan mudah dan ia kelihatan menikmati sekali
statusnya sebagai bujangan.
Gelar sarjana ia peroleh dari Institut Teknologi
Bandung, gelar master di Universitas Indonesia, mendapatkan pelatihan dari BIN,
pelatihan Kopassus, Pelatihan
pasukan khusus polisi, pelatihan bahasa dan elektronik canggih. Ia merasa
bangga karena dari beberapa teman kantornya, hampir semua lulusan luar negeri.
Ia bukan jenis orang yang ngotot mempertentangkan sekolah luar negeri dan dalam
negeri, sepanjang apa yang dilakukannya tidak dipandang dengan perbedaan.
Seperti Umar Yusuf atasannya yang sedang berjalan di sampingnya.
Umar Yusuf, purnawirawan Angkatan Laut berpangkat
terakhir Letnan Jenderal Marinir, pernah memegang jabatan strategis pada masa
setelah pemberontakan Partai Komunis Indonesia tahun 1965. Dengan karir
cemerlang pada masanya, ia menjadi tokoh yang banyak dibicarakan dan mempunyai
pengaruh cukup besar di kalangan purnawirawan, saat dominasi Angkatan Darat
sangat besar pada waktu itu.
Dibalik sifatnya yang tanpa tedeng aling-aling, ia
adalah seorang pemberani. Sebagai seorang anak nelayan, ia telah menikmati
kehidupan yang berat di masa-masa kecilnya di Labuhan, Banten, karena
penjajahan Jepang. Ia sebenarnya bisa menikmati pendidikan yang layak karena
ayahnya adalah salah satu saudagar kapal. Tapi ketika ia berusia duabelas
tahun, ia melihat kakak tertuanya yang suka melaut melawan serdadu Jepang tanpa
memikirkan dirinya sendiri di pantai. Semenjak saat itu, ia tahu apa yang
diinginkannya: menjadi pejuang dan bergabung dengan tentara yang melawan
serdadu Jepang di laut. Pada usia tujuh belas tahun, ia telah pergi jauh dari
tanah kelahirannya dan berjuang di Jakarta. Dari salah satu komandannya, ia
disarankan bersekolah di Semarang. Ia kemudian pulang menemui ayahnya dan
meminta uang untuk masuk Sekolah Tinggi Pelayaran. Dari sanalah ia akhirnya
berhasil mewujudkan impiannya untuk menjadi anggota Korps Marinir.
Dalam perjalanan karirnya sebagai serdadu, ia
banyak terlibat dalam berbagai operasi. Salah satunya adalah operasi pembebasan
Irian Barat dan penumpasan pemberontakan PRRI dan PERMESTA, sampai kemudian
karena prestasinya, ia dikirim ke Amerika untuk mengikuti pendidikan Advance Course For Officer of Marines Corps School. Setelah pulang, ia segera menduduki
jabatan-jabatan yang menurutnya bagus tapi tidak menguntungkan untuk karir
militernya. Sejak saat itu, ia merasa karirnya telah selesai, tapi sebagai
prajurit ia tetap harus melaksanakan kewajibannya sebaik yang bisa
dilakukannya. Ia termasuk orang yang beruntung karena di didik dengan latar
belakang agama yang kuat, lingkungan baik yang selalu membuatnya harus jujur
dan menjunjung kebenaran.
Setelah rezim Orde Lama berakhir dan digantikan
rezim Orde Baru, ia berharap segala sesuatunya akan lebih baik. Tetapi
harapannya tidak terpenuhi, ia melihat banyak sekali kejadian yang bertentangan
dengan hati nuraninya, akibat dari kekuasaan yang dijalankan dengan kekerasan.
Jabatannya tidak mampu ia gunakan untuk merubah keadaan menjadi lebih damai
buat orang banyak. Setelah ia pensiun, ia memilih tidak melibatkan diri dalam
dunia politik.
Tapi saat Presiden Abdurahman Wahid berkuasa, ia
diangkat menjadi Kepala Dinas Intelijen Khusus. Sebuah lembaga yang dibentuk
untuk menangani kasus-kasus khusus yang sulit terpecahkan oleh dinas keamanan
lainnya, terutama intelijen negara.
Secara teknis, DIK berada di bawah Departemen Pertahanan, tapi Presiden
menginginkan DIK menjadi lembaga intelijen yang mandiri dan terpisah dari urusan
birokrasi dan langsung berada di bawah kekuasaannya. DIK diberi kewenangan
untuk mengakses semua informasi dari Departemen manapun untuk kepentingan
penyelidikan. Untuk menghindari kepentingan yang saling berbenturan, juga
menghindari ketidaksenangan lembaga keamanan lain, DIK dirahasiakan keberadaannya.
Tidak pernah disebutkan dan tidak akan pernah diakui keberadaannya, seandainya
suatu saat ada pihak yang ingin membongkarnya.
Umar Yusuf nyaris tidak percaya ketika ditunjuk
untuk memimpin DIK. Rupanya perjalanan karirnya dilihat serius oleh Presiden
saat itu. Saat pertamakali dipangil ke Istana oleh Presiden saat ditawari
jabatan itu, Presiden berkata, “Saya butuh orang-orang yang tidak terikat
dengan sejarah masa lalu yang penuh kepalsuan. Saya ingin sejarah negeri ini
diluruskan.”
“Maaf Bapak Presiden, kenapa Bapak mendirikan DIK?”
“Allen Dulles, pendiri CIA, pernah mengatakan,
negara pasti kuat jika memiliki intelijen yang kuat. Pak Umar juga pasti lebih
tahu dari saya bahwa Orde Baru kuat karena intelijennya juga kuat.”
“Tapi sudah ada BIN.”
“DIK beda. DIK mempunyai tugas khusus, yaitu
meluruskan yang bengkok-bengkok supaya tidak terjadi sejarah yang bengkok di
kemudian hari.”
“Bapak Presiden yakin
saya orang yang tepat dengan jabatan ini?”
“Tunjukkan bahwa Pak
Umar Yusuf bekerja untuk kepentingan negara, bukan untuk saya. ”
Setelah diberi waktu
satu hari, Umar Yusuf menerima jabatan itu.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment