Tuesday, December 30, 2008

AYO BELAJAR FILM

 Resensi buku: DASAR-DASAR APRESIASI FILM
karya Marselli Sumarno -- Penerbit Grasindo 1996 –
Kompas 16 Maret 1997
Oleh Joko Supriyono

Kita harus menerima suatu asumsi yang agak sinis, bahwa penonton film kita masih  rendah tngkat apresiasinya. Film masih berhenti pada pemahaman sebagai entertainment, bukan sebagai sebuah karya seni. Kita masih memberi batasan, film itu bagus selama kita masih berada dalam gedung bioskop, tapi duapuluh empat jam kemudian kita sudah lupa sama sekali.

Padahal sebagai bentuk kesenian, media film sama dengan media artistic lainnya, karena film mempunyai sifat-sifat dasar dari media lain tersebut. Seperti halnya seni lukis atau seni pahat, film juga mempergunakan garis, warna,bentuk, volume, susunan dan massa. Jadi dilm sama berharganya dan sama tidak berharganya seperti drama,tari, pantomim atau puisi atau bentuk kesenian lain yang terlebih dahulu dianggap orang sebagai bentuk kesenian yang patut dihargai.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah kesanggupan megapresiasi film suatu kepandaian yang erlu dipelajari? Tanpa harus melewati pendidikan terlebih dahulu, seorang anak berumur tak lebih dari lima tahun dengan sedikit kepandaiannya, dapat ‘menangkap’ isi dasar sebuah film. Kesanggupan untuk dapat ‘menangkap’ dengan lebih mudah dibandingkan dengan ‘memahaminya’ dikarenakan media film begitu dekat dengan kenyataan.

Film mempunyai kesanggupan untuk memainkan waktu dan ruang, mengembangkan dan mempersingkatnya, menggerak majukan atau memundurkannya secara bebas. Dengan demikian sesungguhnya film adalah sebuah seni yang tinggi sekaligus menjadi seni yang paling penting di abad ini. Tapi ironisnya, kita tidak pernah mempertanyakan bagaimana sebuah film melewati prosesnya untuk menjadi produk film yang siap memberikan kepada kita segenap informasi, hiburan sekaligus pelajaran.

Buku Dasar-Dasar Apresiasi Film ini siap menjawab pertanyaan tersebut. Penulis buku tersebut –pengamat film dan dosen institut kesenian Jakarta—mengemukakan keprihatinannya (untuk menyebut alas an) bahwa kenyataan di negeri kita apresiasi film paling tertinggal dibandingkan apresiasi cabang-cabang kesenian lain. Kalimat itu juga yang dijadikan premis penting yang diajukan buku ini.

Ketika seni sastra, seni musik dan seni rupa diperkenalkan sejak bangku sekolah dasar, maka aparesiasi film menjadi pengecualian. Padahal apresiasi film –yang mengadung seni sastra, seni musik, dan seni rupa—paling baik ditanamkan sejak dini. Hal ini berangkat dari suatu kenyataan, anak-anak zaman sekarang yang belum mampu membaca menulis,, telah berhadapan dengan televisi yang menyajikan berbagai tayangan film (hal.IX).

Dengan dasar visi tersebut, maka buku ini boleh dibilang sebagai buku pertama yang memberikan pengetahuan kepada kita bagaimana membaca sebuah film. Sangat langka (untuk mengatakan tidak ada) buku yang secara khusus membicarakan apresiasi film. Maka Dasar-dasar Apresiasi Film menjadi buku perintis.

Untuk membedah pengetahunan tentang film beserta unsure-unsur didalamnya yang sangat ama kompleks, buku setebal 127 halaman ini kurang ideal (mengacu kepada juamlah halaman). Tapi untuk mengenal media yang bernama film yang ternyata sudah sangat kita akrabi ini, buku tepat sebagai pegangan. Kita diajak untuk mengetahui proses produksi film sebelum menjadi menjadi sebuah prototype kehidupan keseharian yang kita tonton di layar. Bagaimana film itu dibuat untuk bisa berbicara dengan kita, sekaligus bagaimana kita membaca film itu.

Untuk mengataka sempurna barangkali tidak, tapi bahwa buku ini bisa dibilang lengkap. Tidak saja karena sistematis, memuat daftar istilah, indeks, akan tetapi juga buku ini memberikan cara memakai buku ini. Dalam kata Pengantarnya, penulis memberikan sasaran pembaca buku ini terutama kepada para pelajar, guru dan mahasiswa. Dan buku ini agaknya telah berhasil merangkul segmen pembaca tersebut.

Sedikit sayang, layout buku ini terkesan ‘berdesak-desakan’.Selain itu gambar-gambar yang dimaksudkan sebagai shot (missal di hal. 61 dan 62) mestinya berbentuk persegi panjang dan bukan persegi empat. Hal ini sesuai dengan hasil proyeksi di layar putih yang berbentuk persegi panjang.

Adalah sebuah sumbangan besar, ketika dunia perfilman kita sedang mengalami ‘koma’, buku ini justru hadir sebagai pencerahan. Kita sudah terlalu sering mendengar adanya seminar, diskusi, forum, yang membicarakan perflman Indonesia yang sedang berada di titik nadir ini. Bicara memang penting, tapi yang lebih penting adalah berbuat sesuatu.

Membiarakan masalah perfilman tidak akan selesai dengan tuntas begitu saja. Film mempunyai bentuk mekanisme yang konstelasinya begitu rumit. Untuk mencapai bentuk deal, penangannya harus disertai dengan luasnya cakrawala tentang berbagai ujud kehidupan yang sangat beragam.

Kita boleh saja menunggu fajar perfilman besok pagi, tapi siapa tahu fajar itu tak pernah benar-benar terbit. Dan sekali lagi, buku ini barangkali bisa menjadi pencerahan, walaupun masih sangat awal.

(Joko Supriyono, mahasiswa tingkat akhir Institut Kesenian Jakarta)


No comments: