Resensi buku: DASAR-DASAR
APRESIASI FILM
karya Marselli Sumarno --
Penerbit Grasindo 1996 –
Kompas 16 Maret 1997
Oleh Joko Supriyono
Kita harus menerima suatu
asumsi yang agak sinis, bahwa penonton film kita masih rendah tngkat apresiasinya. Film masih
berhenti pada pemahaman sebagai entertainment, bukan sebagai sebuah karya seni.
Kita masih memberi batasan, film itu bagus selama kita masih berada dalam
gedung bioskop, tapi duapuluh empat jam kemudian kita sudah lupa sama sekali.
Padahal sebagai bentuk
kesenian, media film sama dengan media artistic lainnya, karena film mempunyai
sifat-sifat dasar dari media lain tersebut. Seperti halnya seni lukis atau seni
pahat, film juga mempergunakan garis, warna,bentuk, volume, susunan dan massa. Jadi
dilm sama berharganya dan sama tidak berharganya seperti drama,tari, pantomim
atau puisi atau bentuk kesenian lain yang terlebih dahulu dianggap orang
sebagai bentuk kesenian yang patut dihargai.
Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah apakah kesanggupan megapresiasi film suatu kepandaian yang erlu
dipelajari? Tanpa harus melewati pendidikan terlebih dahulu, seorang anak
berumur tak lebih dari lima tahun dengan sedikit kepandaiannya, dapat
‘menangkap’ isi dasar sebuah film. Kesanggupan untuk dapat ‘menangkap’ dengan
lebih mudah dibandingkan dengan ‘memahaminya’ dikarenakan media film begitu
dekat dengan kenyataan.
Film mempunyai kesanggupan
untuk memainkan waktu dan ruang, mengembangkan dan mempersingkatnya, menggerak
majukan atau memundurkannya secara bebas. Dengan demikian sesungguhnya film
adalah sebuah seni yang tinggi sekaligus menjadi seni yang paling penting di
abad ini. Tapi ironisnya, kita tidak pernah mempertanyakan bagaimana sebuah
film melewati prosesnya untuk menjadi produk film yang siap memberikan kepada
kita segenap informasi, hiburan sekaligus pelajaran.
Buku Dasar-Dasar Apresiasi
Film ini siap menjawab pertanyaan tersebut. Penulis buku tersebut –pengamat
film dan dosen institut kesenian Jakarta—mengemukakan keprihatinannya (untuk
menyebut alas an) bahwa kenyataan di negeri kita apresiasi film paling
tertinggal dibandingkan apresiasi cabang-cabang kesenian lain. Kalimat itu juga
yang dijadikan premis penting yang diajukan buku ini.
Ketika seni sastra, seni
musik dan seni rupa diperkenalkan sejak bangku sekolah dasar, maka aparesiasi
film menjadi pengecualian. Padahal apresiasi film –yang mengadung seni sastra,
seni musik, dan seni rupa—paling baik ditanamkan sejak dini. Hal ini berangkat
dari suatu kenyataan, anak-anak zaman sekarang yang belum mampu membaca
menulis,, telah berhadapan dengan televisi yang menyajikan berbagai tayangan
film (hal.IX).
Dengan dasar visi
tersebut, maka buku ini boleh dibilang sebagai buku pertama yang memberikan
pengetahuan kepada kita bagaimana membaca sebuah film. Sangat langka (untuk
mengatakan tidak ada) buku yang secara khusus membicarakan apresiasi film. Maka
Dasar-dasar Apresiasi Film menjadi buku perintis.
Untuk membedah
pengetahunan tentang film beserta unsure-unsur didalamnya yang sangat ama kompleks,
buku setebal 127 halaman ini kurang ideal (mengacu kepada juamlah halaman).
Tapi untuk mengenal media yang bernama film yang ternyata sudah sangat kita
akrabi ini, buku tepat sebagai pegangan. Kita diajak untuk mengetahui proses
produksi film sebelum menjadi menjadi sebuah prototype kehidupan keseharian
yang kita tonton di layar. Bagaimana film itu dibuat untuk bisa berbicara
dengan kita, sekaligus bagaimana kita membaca film itu.
Untuk mengataka sempurna
barangkali tidak, tapi bahwa buku ini bisa dibilang lengkap. Tidak saja karena
sistematis, memuat daftar istilah, indeks, akan tetapi juga buku ini memberikan
cara memakai buku ini. Dalam kata Pengantarnya, penulis memberikan sasaran
pembaca buku ini terutama kepada para pelajar, guru dan mahasiswa. Dan buku ini
agaknya telah berhasil merangkul segmen pembaca tersebut.
Sedikit sayang, layout
buku ini terkesan ‘berdesak-desakan’.Selain itu gambar-gambar yang dimaksudkan
sebagai shot (missal di hal. 61 dan 62) mestinya berbentuk persegi panjang dan
bukan persegi empat. Hal ini sesuai dengan hasil proyeksi di layar putih yang
berbentuk persegi panjang.
Adalah sebuah sumbangan
besar, ketika dunia perfilman kita sedang mengalami ‘koma’, buku ini justru
hadir sebagai pencerahan. Kita sudah terlalu sering mendengar adanya seminar,
diskusi, forum, yang membicarakan perflman Indonesia yang sedang berada di
titik nadir ini. Bicara memang penting, tapi yang lebih penting adalah berbuat
sesuatu.
Membiarakan masalah
perfilman tidak akan selesai dengan tuntas begitu saja. Film mempunyai bentuk
mekanisme yang konstelasinya begitu rumit. Untuk mencapai bentuk deal,
penangannya harus disertai dengan luasnya cakrawala tentang berbagai ujud
kehidupan yang sangat beragam.
Kita boleh saja menunggu
fajar perfilman besok pagi, tapi siapa tahu fajar itu tak pernah benar-benar
terbit. Dan sekali lagi, buku ini barangkali bisa menjadi pencerahan, walaupun
masih sangat awal.
(Joko Supriyono, mahasiswa
tingkat akhir Institut Kesenian Jakarta)
No comments:
Post a Comment