Tuesday, December 30, 2008
REALITAS (SKENARIO) INDONESIA
Di tengah beberapa persoalan perfilman Indonesia --untuk menyebut masih banyak, beberapa tahun belakangan ini film Indonesia menunjukkan kenaikan produksi. Apalagi juga digelar Festifal Film Indonesia, meskipun semakin tidak jelas arahnya kecuali hanya sebatas seremonial dan basa basi untuk mengisi waktu. Dari segi penonton, film Indonesia sesungguhnya sangat sedikit dengan mengacu jumlah penduduk. Almarhum Asrul Sani dalam sebuah wawancara tahun 1997 pernah mengatakan begini : “Film Indonesia sudah tidak ditonton lagi karena ada penggantinya di televisi. Film Indonesia banyak diputar disitu. Kenapa film Indonesia di bioskop tidak bisa bersaing dengan film Indonesia di televisi? Itu karena tekhnologinya sama, ceritanya sama sederhana, jeleknya permainan juga sama, nilai produksinya juga sama. Jadi buat apa orang menghabiskan uang, waktu dan tenaga untuk pergi ke bioskop untuk menonton hasil yang sama?”
Sampai sekarang di penghujung tahun 2008 ini, apa yang dikatakan Asrul Sani masih relevan. Bolehlah tekhnologi yang digunakan sama, pemainnya juga sama, nilai produksinya juga sama, tapi seharusnya ceritanya jangan sesederhana sinetron! Penonton datang ke bioskop tidak hanya untuk sekedar menonton, tapi harus mendapatkan kepuasan tersendiri. Paling tidak lewat cerita yang bagus. Bagian mana yang harus dibenahi dalam film Indonesia pertama kali? Jawabannya hanya penulisan skenario.
Setting cerita film Indonesia –juga sinetron, sebagian besar berlangsung di negeri antah berantah. Trend atau kecenderungan pasar kadang sangat mempengaruhinya, diantaranya karena film Indonesia tumbuh ditengah pertumbuhan selera yang dibentuk oleh film Amerika, Hongkong, India –di sinetron dibentuk oleh Taiwan, Korea, Jepang, dan Amerika latin. Jadinya cerita yang dibuat lebih banyak meniru atau bahasa halusnya adaptasi film yang laku di pasar. Disamping itu ada factor lain, yaitu sepertinya ada usaha untuk melindungi masyarakat dari kenyataan-kenyataan yang ada pada abad ke 20. Dan yang pertama kali melakukannya adalah badan sensor.
Kalau mau jujur, penyensoran –baik yang dilakukan oleh lembaga resmi atau oleh sekelompok orang, itu sebenarnya munafik, karena dilarang di satu tempat tapi beredar di banyak tempat lain. Kalau suatu film dilarang diputar di bioskop, toh masih bisa dicari lewat kepingan VCD, DVD. Kalaupun belum ada barangnya, orang bisa mencarinya di dunia maya lewat internet. Selain itu dan ini yang paling penting, Penyensoran –termasuk masih dalam tahap belum produksi, juga membatasi kreatifitas penulis skenario.
Soal yang satu ini saya pernah mengalaminya sendiri di tahun 1997 ketika menulis skenario film layar lebar berdasarkan kisah nyata. Saat saya datang ke nara sumber, belum apa-apa pejabat tersebut melarang saya menulis yang jelek-jelek tentang mereka. Padahal tidak ada plot cerita yang memang untuk menjelekkan mereka. Artinya, masyarakat kita jangan-jangan memang tidak mau melihat diri kita yang sebenarnya. Tidak mau melihat realitas keseharian kita.
Apa ada film Indonesia yang memberikan gambaran yang setiap hari disajikan di Koran-koran dan berita di televisi? Apakah tentang korupsi, kolusi, penindasan orang kecil, lintah darat dan masih banyak lagi. Jadi di masyarakat kita ada satu golongan yang disebut ‘yang tidak boleh disentuh’, tapi justu yang sangat menentukan arti masyarakat itu sendiri.
Bagaimana film Indonesia mau maju kalau dari memilih tema saja sudah dibatasi. Barangkali saat ini, tema-tema film Indonesia sudah ada yang mulai mengangkat realitas keseharian kita –meskipun bisa dihitung dengan jari. Contoh paling mutakhir adalah Laskar Pelangi. Selebihnya tema film Indonesia masih seragam, masih latah dengan tema mistik yang diartikan sebatas penampakan kuburan dan horror yang tidak menakutkan serta pornografi baik dari segi judul yang bombastis maupun dari para pemainnya yang minim kostum.
Iklim keterbukaan mengangkat tema cerita film sekarang ini semakin bagus. Begitu banyak hal bisa diangkat menjadi sebuah cerita yang kuat, setelah itu tinggal menuliskan skenarionya dengan kuat pula. Karena tanpa skenario yang berkualitas, cerita yang kuat hanya jadi diskusi omong kosong. Skenario merupakan prosedur paling awal dari sebuah kolaborasi pembuatan sebuah film. Dari skenario, kontrol kualitas sebuah film bisa dilakukan.
Kembali ke Produser sebagai pemodal, harus mempunyai referensi yang serius untuk mendapatkan penulis skenario yang tidak sekedar sebagai tukang ketik dan asal bikin dialog jalan. Setiap orang berhak menjadi penulis skenario, tetapi apakah mereka mengerti bahwa menulis skenario itu bukan hanya bikin dialog dan nama tokoh? Indonesia adalah tempat dimana segala hal mudah. Menjadi apasaja mudah. Orang bekerja tidak pernah ada hubungannya dengan ilmu yang ada di ijazahnya. Teman saya seorang insinyur pertanian menjadi koordinator editing. Dia lebih jago mengoperasikan alat editing Avid daripada menguraikan jenis-jenis pupuk. Siapa yang salah dalam hal ini? Jawabannya Produser. Para Produser –tentu saja tidak semua, mempekerjakan orang baru dan pada awalnya tidak mengerti sama sekali soal film dan tetek bengeknya, karena tidak mau menggaji orang film yang sesungguhnya dengan alas an orang film bayarannya mahal.
Apakah benar crew dan pekerja film bayarannya mahal? Sepengatahuan saya tidak juga. Tergantung jenis proyeknya dan dengan siapa bekerja. Begitu juga dengan penulis skenario. Banyak sekali penulis skenario dadakan sekarang yang datang dengan berbagai latar belakang disiplin ilmu. Dari sarjana sampai wartawan. Dari pedagang sampai petualang. Barangkali bagi mereka memang mudah membuat sebuah skenario. Apa sih susahnya bikin skenario, cuma bikin karakter tokoh dan dialog! Kalau sudah begitu, mending keponakan saya berumur 9 tahun yang menjawabnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment