Monday, December 29, 2008

mengkhayal-sampai-mati


Apalah arti sebuah nama. Jadi tidak penting benar untuk dicari jawabannya kenapa blog ini bernama seperti ini dan kenapa tidak bernama yang lain. Tapi tentu saja saya tidak bisa memberi nama blog ini dengan bidang pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan saya. Karena saya penulis (scenario), yang urusannya membuat cerita –baik berdasarkan kisah nyata atau benar-benar rekaan, otomatis saya butuh dan harus sering mengkhayal –sambil berpikir tentunya. Karena bidang pekerjaan ini sudah saya anggap serius, maka saya ingin melakukan pekerjaan ini sampai mati. Begitu kira-kira jawaban apa adanya.

Kadang masih ada keraguan juga, apakah menjadi penulis (scenario) di Indonesia bisa hidup layak? Standart hidup layak itu kata orang bisa punya rumah, bisa punya mobil –kalau bisa punya kebon yang luas sama empang buat pembibitan gurame. Tapi kita –terutama saya, sudah dilatih hidup prihatin sejak kecil. Bisa puasa senin kamis –kalau lagi mau. Perkara hidup susah sudah bukan barang baru. Saya kira setiap orang pernah merasakan hidup susah –meskipun mereka juga orang kaya yang duitnya sekarung-karung. Yang beda adalah tingkat kesusahannya itu dan jenis kesusahannya.

Orang biasa seperti saya jenis kesusahannya kadang tidak punya duit, otomatis tidak bisa makan. Jalan keluarnya ngutang. Orang kaya jenis kesusahannya buang duitnya buat beli apalagi. Rumah sudah punya dimana-dimana, dari pondok Indah sampai ujung berung, Mobil sudah penuh di garasi yang didisain seperti museum mobil, Apartement yang baru selalu beli. Apasaja bisa dibeli. Jadi betul juga kata Rhoma Irama, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Orangtua kita masih menganggap bahwa pekerjaan yang layak itu pegawai kantoran –kalau bisa pegawai negeri sipil karena bisa dapat pensiun. Tapi industri film Indonesia memang belum aman sekali untuk dijadikan lahan mencari nafkah. Sebentar mati sebentar hidup, Sebentar ilang sebentar muncul persis Kayak bisul. Padahal ini urusan perut. Anehnya lagi urusan perut masih terus bergantung pada pemerintah. Industri Hollywood maju bukan karena campur tangan pemerintah, tapi pemerintah memberikan kebebasan sehingga industrinya bisa mandiri. Kita negerinya lain. Soal tempe bongkrek saja diurusin pemerintah, apalagi urusan yang lebih gede.

Dalam buku Proses Kreatif II (Pamusuk Eneste) Pengarang Hamsad Rangkuti mengatakan bahwa ia adalah seorang pengelamun yang parah sejak kecil. Dia suka duduk berjam-jam di atas pohon membiarkan pikirannya terbang ke mana dia suka tanpa dia mengontrolnya dan dia merasa nikmat. Hamsad Rangkuti kecil juga suka menonton Ketoprak dan ludruk dan diapun mengenal cerita Jaka Tarub. Maka dalam khayalannya dia selanjutnya, dia naik ke puncak pohon dan mengintip gadis-gadis mandi di sungai.

Mengkhayal kadang kita butuhkan supaya kita mempunyai motivasi, supaya kita punya cita-cita. Soal kita tidak menjadi apa yang kita khayalkan, toh kita masih isa terus mengkhayal –sampai mati bahkan. Jadi urusan saya menulis ini cuma mengenalkan kenapa blog ini bernama ini dan bukan yang lain. Buat saya yang penting mudah diingat dan sedikit mengharu biru. Jadi mulailah mengkhayal dari sekarang. Merdeka!

2 comments:

Anonymous said...

Bos, ini aku Lisya.Wahseru banget nih udah bikin blog, gitu dunk...btw, emailnya tetep belum nyampe..:(( Selamat Taon Baru...

Anonymous said...

Kayaknya seru ya gabung disini.... tapi rada gaptek bingung juga sih he he...