Monday, December 29, 2008

PENULIS SKENARIO


Saya mempunyai kliping sebuah artikel dari sebuah koran Jakarta yang sudah tidak terbit, yang tidak ada namanya pula. Saya selalu membacanya karena menurut saya sangat bagus isinya sebagai sebuah pelajaran. Judulnya Penulis Skenario. Begini isinya:

Ternyata menjadi penulis scenario berkaliber internasional harus memiliki wawasan yang luas dan modal uang yang besar. Seperti teman saya ini, tiap tahun ia harus menyediakan uang sebesar Rp 1 milyar untuk pembiayaan riset dan pembelian buku-buku baru yang terbit di seluruh dunia. “Tiap hari aku harus menyerap isi tiga judul buku,” ujarnya dengan nada tenang.

Teman saya ini seorang anak muda asal dari sebuah desa, di Jawa Tengah. Sejak duduk di bangku SMP, ia sudah gemar menulis terutama membuat cerita-cerita fiksi. Setamat SMA, ia menjadi kelasi di sebuah kapal dagang yang berlayar ke seluruh dunia. Selama menjadi pelaut, waktu luangnya ia manfaatkan untuk membaca buku, terutama buku-buku karya seniman besar.

Dua tahun menjadi kelasi, ia turun di Amerika Serikat. Dengan bekal uang secukupnya, ia berkelana di negeri Paman Sam. Karena pandai bergaul, ia berhasil menelusup ke tengah kehidupan masyarakat perfilman disana. Ia pun mengambil kursus tentang sinematografi, memilih jurusan penulisan scenario.

Sebelum mempelajari apa itu scenario, seluruh siswa diwajibkan untuk mendengarkan musik-musik tradisional dari seluruh dunia, termasuk musik gamelan Jawa dan Bali selama enam bulan. “Kata para guru disana, lewat musik tradisional kita jadi mengenal kesenian secara luas. Sebab musik merupakan bahasa universal yang paling utuh,” ungkapnya.

Pada saat ujian akhir, ia membuat sekanrio film cerita yang memaparkan tentang kejujuran anak muda yang bercita-cita ingin menaklukkan dunia ini. Ternyata skenarionya itu mendapat pujian dari tim penilai. Dan scenario itu pun, dibeli oleh produser film seharga 500 ribu dolar AS. “Seperti mimpi saja skenarioku ada yang membeli,” kenangnya.

Dari situlah ia bisa berkenalan dengan penulis-penulis scenario yang memiliki reputasi dunia, di antaranya Lucas. Hasil dari penjualan karya perdananya itu, ia gunakan untuk melakukan perjalanan ke beberapa Negara. Di Negara-negara yang dikunjungi, ia mempelajari kebudayaannya. Sepulang dari perjalanannya itu, ia membuat satu scenario film cerita tentang masyarakat pedalaman di Afrika. Ternyata skenarionya itu diminati oleh sebuah perusahaan film besar dan dibeli 1 juta dolar AS.

Karena kebutuhan sebagai penulis scenario terus meningkat, ia membayar dua orang asisten yang kesemuanya wanita cantik yang menguasai berbagai bahasa. “Dua asisten itu bertugas membicarakan buku-buku yang aku beli. Mereka juga sering aku ajak pergi ke beberapa tempat risetku,” ujarnya.

“Selama aku menjadi penulis scenario harus menyediakan dana Rp 1 milyar tiap tahunnya untuk kebutuhan riset dan buku. Tanpa riset dan buku-buku sulit membuat sebuah scenario yang baik. Sebab film-film yang pasarnya menjangkau dunia membutuhkan cerita yang kuat,”tuturnya.

“Seorang penulis scenario harus mumpuni segala ilmu. Kalau tidak, minimal harus mengenalnya. Misal, ilmu mengenai kehutanan. Sebagai penulis scenario tidak harus menguasai benar tentang hutan, tapi paling tidak harus memahami apa itu hutan beserta karakternya. Supaya dalam menciptakan tokoh yang hidupnya tidak lepas dari masalah hutan, menjadi tidak wagu, tidak kaku. Seperti sekarang ini, aku akan membuat scenario tentang kehidupan orang-orang pendaki gunung. Mau tidak mau harus mempelajari tentang gunung beserta aktifitasnya. Risetnya bisa memakan waktu bertahun-tahun,” paparnya.

Tapi di sini orang membuat scenario empat hari selesai. Ini bagaimana? “Aku juga bisa membuat scenario dalam waktu dua hari. Tapi scenario macam apa? Hasilnya pasti dangkal, tidak ada yang ingin ditawarkan kepada kehidupan ini. Kalu cuma mau sekedar bikin cerita tidak sulit. Yang sulit itu bagaimana melahirkan sebuah tokoh yang benar-benar hidup dan bisa diterima oleh masyarakat mancanegara. Karena itu dibutuhkan riset yang lama,” jelasnya.

Saya manggut-manggut. Dia terdiam sejenak. “Sebetulnya Negara kita ini kaya dengan cerita yang sangat menarik. Tapi entah kenapa perfilman di sini tidak mau menggali,” ujarnya dengan nada lirih.***

Itu sebenarnya bukan artikel serius, tapi kolom santai yang maunya memberi perenungan kepada yang membaca bahwa kondisi perfilman kita butuh penulis scenario yang serius. Pintar saja tidak cukup, bisa mengarang cerita berjilid-jilid buku pun tidak cukup. Karena menjadi penulis scenario itu berbeda sama sekali dengan penulis novel, penulis artikel, penulis kolom, apalagi hanya hoby menulis.

Seorang penulis scenario harus paham dulu teori penulisan scenario. Format atau bentuk tulisan dalam sebuah skenario boleh dengan model apasaja, tapi sebuah skenario itu sesungguhnya tidak dibaca, tapi ‘dilihat’. Dalam arsitektur dibutuhkan blue print, dengan melihatnya saja (meskipun orang awam sekalipun) sudah tergambar seperti apa bentuk bangunannya. Begitu seharusnya sebuah skenario film. Apakah blue print sebuah gedung bertingkat 66 boleh dibuat oleh seorang insinyur pertanian? Boleh saja. Tukang lontong sayur juga boleh. Tapi bisa dipastikan, bakal ambruk gedung itu –bahkan sebelum berdiri.

Tapi skenario film Indonesia…..?….??!/@$#^&+_$

1 comment:

audiocab said...

Kereen. Ayo lebih menukik!!