BAB 14
Di depan Karebet sudah menghadang
lebih dari duapuluh lelaki berseragam merah. Lengkap bersenjata dan siap untuk
membunuhnya. Karebet menatap mata mereka yang buas. Ia tahu persis, mereka
orang yang siap mati dalam keadaan apapun. Karebet justru lebih takut
menghadapi orang semacam ini daripada orang yang sudah jelas tinggi ilmu
kanuragaannya. Mereka siap melakukan cara apasaja untuk membunuh lawannya,
sepanjang nyawa mereka masih ada di raga mereka. Jenis perlawanan yang dimiliki
oleh ketaatan kepada pemimpinnya dan kepada ajarannya.
“Aku hanya berurusan dengan guru
kalian.” Karebet berusaha untuk
basa-basi, siapa tahu mereka masih mau mendengarnya. Tapi memang sia-sia.
Mereka sudah bergerak setelah Karebet selesai bicara. Karena sudah memperkirakan
serangan itu, Karebet sudah lebih dulu mengeluarkan ikat kepalanya dan dia
bergerak berputar badannya menyamping.
Para
Lelaki berseragam merah itu tidak ada yang sempat melawan. Mereka jatuh dan
kesakitan dalam waktu hampir bersamaan. Hampir semua tidak bisa berdiri lagi
dengan cepat. Yang berdiri lagi segera akan menyerang, tapi bengong. Karebet
sudah melesat lari seperti kijang. Tubuhynya bergerak menembus pepohonan lebat.
Tidak lama ia sampai di
halaman rumah besar itu.
Sepi.
Angin menerbangkan
dedaunan kering.
Karebet
berdiri tegang. Ia yakin Aryabajageni tahu kedatangannya. Tanpa perlu diteriaki
untuk keluar, ia yakin orang itu akan keluar sendiri. Tapi caranya keluar,
Karebet tidak menduga sama sekali.
Tanah
didepannya bergetar seperti gempa bumi. Dari dalam tanah seperti ada yang sesuatu
mendorong. Sesuatu yang besar sekali. Sesuatu yang hidup. Karebet mundur. Dari
dalam tanah muncul seekor cacing tanah. Besar dan mengerikan wajahnya. Cacing
sebesar manusia itu berguling dan berubah menjadi tubuh Aryabajageni. Duduk
bersila di tanah dan tertawa.
“Kau
mampu melakukan itu?” tanya Aryabajageni meledek.
Tenggorkan
Karebet kering. Pertamakali dalam hidupnya, lawannya adalah jenis manusia yang
mungkin langka. Dari kemampuannya ia tidak terlalu kagum, tapi cara hidup dan
apa yang ditempuhnya adalah sesuatu yang sama sekali baru baginya. Soal
kemampuannya, ia yakin masih dibawah Arybajageni. Tapi ia tidak takut. Itulah
satu-satunya modalnya berdiri didepan Aryabajageni tanpa harus lari melihat
cara munculnya.
“Itu hanya permainan
murahan,” katanya lirih.
Aryabajageni belum
sempat tertawa ketika tubuh Karebet sudah melesat dengan sangat cepat. Cara
melesatnya juga bukan kebiasaan orang bertarung dari depan lawannya. Ia tahu
lawannya lebih hebat. Dengan memberikan sedikit pancingan gerakan menyamping,
Aryabajageni langsung serius menghadapinya. Karebet langsung mengerahkan semua
kemampuannya menyerang Aryabajageni. Ia sedang melawan orang yang mungkin
paling hebat sepanjang ia mengembara. Jadi ia tidak mau kesempatannya terbuang
dengan sia-sia. Kalau ia tidak memulainya, ia tidak pernah tahu kapan
masalahnya bisa selesai.
Aryabajageni
dipaksa melawan Karebet. Lelaki berwajah tirus itu melihat gerakan Karebet yang
berbeda dari pendekar pada umumnya. Untuk itu ia kemudian memaksa Karebet
bertarung dengan jurus-jurus yang tidak biasa. Jurus-jurus yang ia yakin tidak
bisa diimbangi Karebet. Tapi dugaaannya meleset. Karebet bisa mengimbangi
seluruh serangan balik yang datang darinya. Bahkan kemudian bisa mematahkan
jurus-jurusnya.
Karebet
tidak pernah belajar silat di sebuah perguruan. Ia tidak pernah tahu dimana ia
bisa mendapatkan sebuah perguruan silat yang bagus. Ia orang yang tidak pernah
mau setengah-setengah. Kalau perguruan itu tidak bagus dan terkenal, lebih baik
ia tidak berguru sekalian. Ia lebih banyak belajar dari pendekar yang
dikenalnya di tempat bertapa, selebihnya berlatih sendiri. Jadi kalau dipaksa
bertarung dengan jurus yang aneh, ia bisa jauh lebih aneh.
Aryabajageni
mundur dan mendengus, “Ternyata kau memang mempunyai ilmu kanuragan lumayan,”
katanya sengit tanpa sadar bahwa ia mengakui kehebatan Karebet. “Tapi aku tidak
mau bermusuhan denganmu. Aku ingin menjadikanmu muridku.”
“Aku
akan berguru padamu kalau kau bisa mengalahkanku,” jawab Karebet tegas. Ia tahu
persis ia tidak akan bisa mengalahkan lelaki didepannya itu tapi ia sudah
berjanji pada dirinya sendiri untuk membebaskan warga padukuhan Pingit.
Satu-satunya cara ia harus kelihatan jauh lebih berani untuk menutupi
kelemahannya.
“Kau
tidak akan mampu mengalahkanku, Karebet. Aku juga tidak akan melukaimu. Jadi
percuma saja pertarungan ini.”
“Selama
kau tidak pergi dari padukuhan ini, aku tetap akan melawanmu.” Karebet tidak
bergeming. “Soal aku tidak bisa mengalahkanmu, itu bukan urusanku. Tapi aku
tidak akan pergi meskipun aku kalah olehmu.”
Aryabajageni
tidak menyangka akan mendapatkan lawan Karebet. Seorang pemuda yang kelihatan
tidak istimewa dan tidak hebat ilmu kanuragannya. Tapi betapa Karebet ternyata
seorang pemuda yang ksatria. Pemuda itu sama sekali tidak takut menghadapinya
saat semua orang menakutinya. Apa yang dibela Karebet juga orang-orang
padukuhan yang tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Sikap ksatria Karebet
membuat Aryabajageni harus mengakui ada kehebatan tersembunyi didalam diri
Karebet. Dengan ilmu pamungkasnya, ia bisa saja meremukkan tubuh Karebet. Tapi
ia tidak yakin pemuda itu akan binasa. Pemuda didepannya itu menyimpan suatu
yang besar. Aryabajageni tidak tahu apa itu, tapi ia tiba-tiba merasakan bahwa
Karebet adalah orang yang sulit ditaklukan.
Karebet
menduga Aryabajageni sedang mempersiapkan ilmu pamungkasnya untuk menutup
pertarungan dengannya. Makanya kemudian ia diam-diam merapal ilmu yang
dikuasainya paling tinggi. Ia menamakan ilmunya Ajian Serat Jiwa. Ilmu yang
dipelajarinya dari seorang pendekar bernama Arya Kumbara yang berasal dari
Madangkara. Ia tidak tahu persis dimana Madangkara tapi ilmu yang dilihatnya
adalah sejenis ilmu yang sangat mematikan dan sulit dicari tandingannya. Pada
mulanya ia merasa bahwa Ajian Serat Jiwa terlalu sadis dalam membunuh musuhnya.
Ilmu itu jahat seklii.
Tapi Arya Kumbara
pernah berkata, “Hitam atau putih ilmu itu tergantung dari yang memakainya.
Kalau ia dipakai untuk kejahatan, hitam ilmu itu. Tapi kalau dipakai untuk
kebaikan, jadi putih ilmu itu.”
Sejak itu ia mulai
mempelajarinya setelah diajari dasar ilmu itu oleh Arya Kumbara. Karena ada
beberapa jurus yang tidak ia sukai, maka kemudian ia menciptakan sendiri ajian
itu. Setelah beberapa waktu mempelajari ajian serat jiwa, ia mencobanya pada
sebuah pohon trembesi. Dan pohon trembesi luluh lantak setelah dihajar
ajiannya.
“Aku
ingin masalah ini cepat selesai, jadi mari kita selesaikan pertarungan ini.”
Berkata begitu Karebet menyerbu.
Aryabajageni
tidak menyangka Karebet akan menyerangnya begitu deras, serbuan tenaga yang terlalu besar. Mau
tidak mau ia harus mengerahhkan ilmunya untuk membentengi dirinya. Ia merasakan
hawa panas pada serangan Karebet dan ia merasakan bahwa pemuda itu tidak
main-main lagi untuk menyerangnya.
Lama kelamaan ia mulai merasakan tubuh dan tenaganya tersedot oleh
serangan Karebet. Ia merasakannya jelas sekali. Sendi-sendi tulangnya mulai
terasa kaku dan kulitnya mulai mengeras.
Hanya
dengan merubah tata letak tangan dan kakinya, Aryabajageni sudah membendung
serangan Karebet. Ia mulai tersenyum melihat pemuda itu mulai meningkatkan
serangannya tapi jelas sekali seperti membentur tembok. Karebet memang
merasakan serangannya mulai tidak berhasil. Baginya luar biasa sekali
Aryabajageni. Dalam waktu yang sangat singkat bisa membuat ilmunya nyaris tidak
bisa menembusnya.
Karebet
meningkatkan serangan Ajian Serat Jiwanya. Tapi semakin kuat juga Aryabajageni
membendungnya. Ternyata semakin kuat dibendung, semakin kuat Ilmu Serat Jiwa
menembus pertahanan Aryabajageni. Hal itu membuat Aryabajageni kerepotan dan
tidak ada jalan lain baginya kecuali mengahiri perlawanan Karebet dengan
caranya.
Aryabajageni
sangat menghormati Ki Ageng Kenongo, ayah Karebet, sebagaimana ia menghormati
gurunya Syekh Siti Jenar. Ketika bertemu Karebet ia menemukan banyak harapan.
Terlebih soal ajaran gurunya yang harus disebarluaskan. Selama ini ia terus
diburu pihak kerajaan Demak karena menyebarkan ajaran Syekh Siti Jenar. Ia
tidak tahu dimana letak kesalahan ajarannya karena berbeda pendapat menurutnya
tidak ada yang bisa melarang. Sewaktu masih hidup, Ayah Karebet sangat mendukungnya dalam soal penyebaran
ajaran Syekh Siti Jenar. Dan setelah Ki Ageng Kenongo juga dihukum pihak
keerajaan Demak sebagaimana Syekh Siti Jenar, ia merasa seperti sendirian dalam
menyebarluaskan ajarannya.
Ketika bertemu dengan
Karebet harapannya muncul. Paling tidak ia mempunyai banyak tawaran yang bisa
diterima Karebet. Perlawanan Karebet terhadap dirinya bukan dalam soal
ajarannya tapi lebih kepada pembelaan kepada warga desa Pingit. Aryabajageni
masih berharap banyak Karebet adalah penerus dari ajaran Syekh Siti Jenar.
Makanya ketika serangan Karebet semakin gencar, ia segera berteriak mengguntur
dan mengibaskan tangannya.
Bukan
sembarang kibasan tangan. Tapi kibasan tangan yang mengandung ilmu pukulan yang
sangat besar. Buktinya Karebet yang sedang mengerahkan Ajian Serat Jiwanya
dalam kondisi tertinggi, langsung terdorong mundur dan dadanya seperti jebol.
Hanya dalam kedipan mata, Karebet mengaum keras seperti harimau lapar. Meskipun
ia merasakan dadanya jebol dan badannya luluh lantak, ia masih dapat menguasai
pikirannya. Sebenarnya ia ingin pura-pura terluka parah dan tidak bisa bangun,
agar Aryabajageni terpuaskan tinggal menunggu serangan terakhir. Tapi nyatanya
Aryabajageni tidak menyerang, jadi Karebet berubah pikiran dengan mengaum
keras.
Dengan
segenap pengerahan ilmu yang pernah dipelajarinya, ia menyerbu dengan pekikan
yang dahsyat, “Kau akan tahu aku tidak akan bersahabat denganmu.”
Terjangan
Karebet kali ini membuat Aryabajageni terkesiap. Ia melihat Karebet berubah
dari aslinya. Pemuda itu sudah dikuasai sesuatu dan ia tahu ada sesuatu di
badan pemuda itu. Auman itu menandakan ada kekuatan tersembunyi pada diri
Karebet. Tapi ia belum tahu apa karena serangan Karebet benar-benar merepotkan.
Hawa serangannya sangat berbeda dengan serangan awalnya.
Karebet
sendiri sesungguhnya sudah menyadari akan bahaya yang sedang mengancam dirinya.
Ia sudah telanjur terbakar hangus oleh nafsu amarah. Dan ia begitu saja
mengaum, merasakan ada dorongan kekuatan lain dari dalam dirinya. Ia tidak peduli lagi dengan kesaktian
Aryabajageni. Ia orang yang sedang berusaha mempertahankan kebenaran.
Terjadi
benturan hebat di udara.
Tubuh
Karebet dan Aryabajageni bertumbukan seperti dua ekor kambing saling seruduk
kepala. Karebet memang terlempar lebih dulu dan lebih kencang ke belakang tapi
ia bisa mendarat tanpa terjatuh. Sedangkan Aryabajageni terdorong pelan ke
belakang tapi langsung jatuh telentang dan sepertinya terluka.
Karebet
melihat itu tidak percaya.
Arayabajageni
berdiri susah payah.
Karebet
bisa saja menyerang saat lelaki bermuka aneh itu berdiri, tapi ia sedang
bingung apa yang terjadi dengan dirinya. Ia menjatuhkan lelaki sakti itu dengan
mudah, sedangkan dirinya tidak terluka sedikitpun.
“Apa
yang ada dibalik ikat pinggangmu, Karebet?” teriak Aryabajageni bertanya.
Karebet
bingung dan meraba ikat pinggangnya.
“Aku tahu kemampuanmu
tidak bisa mengatasi ilmuku. Tapi barang yang ada dibalik ikat pinggangmu itu,
yang membuatmu kuat.”
Karebet
mengeluarkan barang dari ikat pinggangnya. Surat dari kulit binatang yang
berasal dari Sunan Kalijaga. Dengan entengnya ia memperlihatkan barang itu.
“Hanya ini. Kulit.”
“Darimana
kau dapatkan kulit binatang itu?”
“Itu
bukan urusanmu. Sekarang apa kau masih mau bertahan didesa ini?”
“Aku
akan pergi dari desa ini setelah kau sebutkan darimana kau dapatkan kulit
binatang itu.”
“Aku
tidak percaya omonganmu.”
“Kau
memegang janjiku, Karebet.”
Karebet
menatap lelaki bermua aneh itu. Lama. Lalu ia berkata, “Kulit ini sebenarnya
sebuah surat. Yang memberikan Sunan Kalijaga.”
“Aku
sudah menduganya.” Aryabajageni teriak. “Tidak ada kekuatan ilmu apapun yang
mampu menembus barang yang sudah disentuh Sunan Kalijaga.”
Lalu begitu saja tubuh
Aryabajageni lenyap.
Karebet
menoleh kanan kiri.
Lalu
terdengar suara Aryabajageni menggema, “Jangan kau kira aku kalah, Karebet. Aku
akan terus hidup untuk menumbuhkan dendam di hatimu kepada para wali Demak.
Hanya kau orang terakhir yang di takdirkan untuk menyebarluaskan ajaran guru
besar Syekh Siti Jenar. Dan akulah penuntun hidupmu.”
Lalu
sepi.
Suara
angin jelas terdengar berdesir.
Karebet
tidak bereaksi apapun. Ia yakin Aryabajageni telah pergi jauh. Orang yang
ilmunya menakjubkan, batinnya. Tapi ia masih saja di hinggapi keheranan dengan
surat dari kulit binatang ditangannya. Benarkah sesuatu yang pernah disentuh
Sunan Kalijaga memiliki kekuatan yang sangat hebat? Dengan cara apapun ia tidak
percaya, karena ia tidak pernah bertemu Sunan Kalijaga. Tapi bukti didepannya,
telah dikatakan oleh orang lain. Oleh orang yang ilmu kanuragannya sangat
tinggi.
Karebet
melangkah gontai dengan segenap pertanyaan yang semakin banyak memenuhi
kepalanya.
(bersambung)