SENOPATI Ringkin menatap Karebet
tidak suka. Tapi ia tidak bisa melarang Ki Buyut Jayadi untuk mengundang
Karebet duduk dan menikmati hidangan di pendopo kelurahan. Bahkan sambutan
untuk Karebet masih lebih meriah dibanding saat menyambut dirinya pertama kali
datang. Sebagai seorang yang berpengalaman dan mempunyai kedudukan tinggi, ia
tidak perlu mempelihatkan rasa ketidaksukaan kepada Karebet. Ia tahu harus
bersikap bagaimana.
Yang
paling menonjol dalam pertemuan itu, bukan Ki Buyut Jayadi yang begitu terharu
bertemu dengan Karebet. Tapi Dadung Awuk. Pemuda itu terus saja mengikuti
Karebet. Dan ia sekarang duduk persis di sebelah kirinya, seolah ia ingin
menjadi wakil Karebet. Sewaktu ia maju untuk melawan Karebet, ia hanya tidak
ingin kehilangan muka di depan teman-temannya. Meskipun hasilnya juga sia-sia,
tapi ia tetap bangga bisa melawan Jaka Tingkir yang terkenal.
Para
pedagang keliling memberikan kabar kalau Jaka Tingkir adalah seorang pemuda
pemberani yang rela mempertaruhkan nyawa dengan bertarung melawan seekor buaya
yang sangat besar di sungai pedukuhan Karangsaga. Berita yang dibawa para
pedagang keliling itu menyebar ke pedukuhan-pedukuhan, dimana para pedagang itu
singgah. Begitu juga di pedukuhan Pingit. Mereka mendengar kehebatan aksi Jaka
Tingkir itu. Dan sekarang orang terkenal itu sampai di pedukuhan Pingit.
“Maafkan
sikap para pemuda pedukuhan yang berlebihan, anakmas,” kata Ki Buyut Jayadi
dengan gemetar. “Pedukuhan ini memang sedang tidak aman. Setiap ada orang asing
datang selalu di curigai sebagai anak buah Syekh Arya Bajageni yang mengaku
sebagi jelmaan Syekh Siti Jenar.”
“Syekh
Siti Jenar? Saya pernah mendengar kabar kalau Syekh Siti Jenar sudah
meninggal?”
“Ini
muridnya yang bernama Arya Bajageni.”
“Dia mengambil murid
dari penduduk pedukuhan Pingit ini dan pedukuhan lain, lalu mendirikan
pesantren di bukit Siaul sana,” Jagabaya meneruskan. “Anehnya meski mereka
mendirikan pesantren, tapi tidak suka dengan guru ngaji yang ada di pedukuhan
ini atau yang datang kemari. Dan tadi pagi ditemukan mayat ketujuh dari guru
ngaji di pedukuhan ini.”
“Saya
minta maaaf kalau saya lancang masuk
pedukuhan ini.” Karebet berusaha memahami situasi. “Saya hanya lapar dan
mau pulang.”
“Ternyata
orang hebat juga bisa lapar ya,” sahut Dadung Awuk meledek.
“Kanjeng
Senopati Ringkin diutus Kanjeng Sultan Demak kemari untuk menumpas Syekh Arya
Bajageni itu.” Ki Buyut Jayadi sengaja memperjelas posisi Senopati Ringkin
karena melihat tidak menyukai kehadiran Karebet. Tapi ia yakin Karebet tidak
merasa lebih hebat meskipun namanya dikenal luas.
“Maafkan
saya, kanjeng Senopati,” kata Karebet menggangguk hormat. Ia memang tidak tahu
kalau yang dihadapinya adalah seorang Senopati. Baginya seorang Senopati adalah
jabatan tinggi yang mempunyai kekuasaan luas terhadap prajurit. Bahkan bisa
menentukan hidup matinya prajurit. Sayang ia tidak mempunyai cita-cita menjadi
seorang senopati. Ia hanya ingin menjadi orang yang berguna buat orang lain.
Ibunya selalu mengajarkan agar bisa menjadi penolong bagi sesama dengan cara
yang di kuasainya.
Ibunya
adalah seorang saudagar yang bagi kebanyakan orang di desanya dianggap
berhasil, bahkan dianggap sebagai orang paling kaya. Tapi bukan karena
dikatakan sebagai orang paling kaya, Ibunya menjadi seorang dermawan, suka
membantu kesulitan warga desa. Melainkan karena Ibunya memang tidak bisa
melihat orang lain dalam kesusahan. Ibunya tidak butuh disebut dermawan karena
ia suka memberi bantuan. Ia tahu persis, Ibunya adalah seorang yang welas
asih
tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Pada
setiap pengembaraannya, ia selalu teringat ibunya. Ia sebenarnya tidak tega
sering meninggalkannya. Tapi ia harus menuruti kata hatinya. Saat ia
menyendiri, ia mendapatkan kedaimaian hati yang luar biasa. Sedangkan kalau
selalu berada di rumah, ia gelisah.
“Raden
melamun.” Ki Buyut Jayadi sudah berdiri disamping Karebet. Sengaja di suruhnya
Karebet makan di ruangan belakang karena ia tidak bisa lagi menunggu untuk
berbicara dengan Karebet berdua saja. Ia tidak bebas berbicara karena
keberadaan Senopati Ringkin sebagai pejabat Istana Demak Bintoro disitu.
“Kenapa sedikit sekali
makannya, Raden?”
“Saya
tidak biasa makan banyak, Ki Buyut.”
“Saya
ingin anakmas tidak memanggil saya Ki Buyut,” mata Ki Buyut berkaca lagi.
“Saya
juga tidak mau dipanggil Raden.”
“Raden harus dipanggil
Raden. Tapi saya ingin dipanggil Paman, sebagaimana almarhum ayahanda raden
memanggil saya.”
Karebet
kaget. “Apa maksud, Ki Buyut?”
“Saya
tidak menyalahkan Raden yang tidak mengingat kalau saya bekas abdi Kanjeng
romo, Ki Ageng Kebo Kenongo di keraton Pengging.”
Karebet
semakin kaget.
“Beruntung
saya ingat janji sebelum berpisah dengan Nyai Ageng Tingkir, untuk tidak pernah
membuka rahasia anakmas sebenarnya. Makanya tadi di depan Kanjeng Senopati
Ringkin, saya berusaha menahan diri untuk tidak memanggil dengan sebutan Raden
Mas Karebet.”
Ia
memang sudah tahu soal pergantian namanya tapi ia belum tahu rahasia apa
dibalik itu. Dari dulu ia tidak pernah ingin tahu sebab kenapa namanya diganti.
Tapi kali ini ia menjadi tertarik.
“Rahasia
apa, Ki Buyut?”
“Waktu
itu, dengan disaksikan Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang, Nyai Ageng Tingkir
membawa Anakmas ke desa Tingkir dengan diam-diam, supaya tidak diketahui orang-orang
Demak Bintoro kalau Ki Ageng Kebo Kenongo mempunyai keturunan yang masih
hidup.” Ki Buyut Jayadi bercerita dengan lancar sekali. Matanya menerawang
jauh. “Untuk itulah dengan kesepakatan mereka bertiga, nama Raden segera
diganti menjadi Jaka Tingkir untuk menghilangkan jejak.”
Karebet
diam sesaat.
“Baik,
Paman.” Karebet melihat iba di wajah lelaki tua itu. Ia hampir tidak ingat lagi
masa kecilnya di Pengging, tempat kelahirannya. Bahkan ia tidak pernah tahu
soal Ki Buyut Jayadi sewaktu menjadi pembantu ayahnya. Ia hanya ingat besar di
desa Tingkir dengan Ibu seorang saudagar kaya. Jadi ia tidak bisa tahu seberapa
baik hubungan ayahnya dan Ki Buyut Jayadi. Ia hanya melihat ketulusan wajah
lelaki tua itu sejak melihatnya. Seolah terus menerus ingin mengasihaninya.
Ia
juga tidak pernah ingat betul apakah ia pernah tinggal di sebuah keraton yang
bernama Pengging. Sedikit sekali ingatan masa kecilnya bisa ia ingat. Apa yang
dikatakan Ki buyut Jayadi ia juga belum paham semuanya. Ia tidak pernah banyak
bertanya kepada Ibunya. Bukan ia tidak mau tapi ia lebih lebih menyukai
kesenengannya mengembara dan bertapa.
“Saya
tahu Raden tidak mengenal saya dengan baik,” kata Ki Buyut Jayadi seolah
mengerti keraguan Karebet. “Tapi saat Raden lahir, sayalah yang ikut menjaga
diluar kamar Gusti Putri. Saya ikut menimang Raden. Sampai ….,” suara Ki Buyut
Jayadi gemetar, matanya menerawang ke masa lalu.
“…sampai Anakmas harus
di bawa Nyai Ageng Tingkir. Maaf Raden, bukan saya mau membuat Raden sedih,
tapi saya seperti melihat Ki Ageng Kebo Kenongo di wajah Raden.”
Karebet
tidak bisa menahan bibit air matanya yang mulai muncul. Ia lelaki yang hampir
tidak pernah bisa menangis. Ia diajarkan untuk menjadi lelaki yang tegar, tidak
cengeng. Bahkan saat ia harus pergi untuk mengembara mencari tempat bertapa, ia
tidak pernah menangis karena berpisah dengan Ibunya. Tapi melihat lelaki tua
yang gemetar dan begitu mengharapkan dirinya, ia tidak bisa menahan
dirinya.
“Kalau
raden capek, biar saya panggil tukang pijit terbaik di pedukuhan ini. Sebelum
raden melanjutkan perjalanan pulang.”
“Terimakasih,
Paman…”
Keadaan
menjadi hening.
Sebenarnya
ia ingin Ki Buyut Jayadi bercerita lagi supaya ia semakin mengerti akan masa
lalunya. Supaya ia mengerti dengan jelas, seperti apakah masa kecilnya. Karena
Ibunya tidak pernah sekalipun mengajaknya bicara masa kecilnya. Tapi keadaan di
pedukuhan ini membuatnya harus melupakan itu.
“Apa yang sebenarnya
sedang terjadi di pedukuhan ini, Paman? “ Karebet bertanya untuk mengalihkan kesedihannya.
Ki Buyut Jayadi
menggeleng. “Sebaiknya Raden pulang ke Tingkir saja.”
“Saya tidak akan ikut
campur, Paman.”
“Di pedukuhan ini
sedang terjadi penindasan. Tapi mudah-mudahan dengan kedatangan Kanjeng Senopti
Ringkin, masalah ini akan selesai.” Ki Buyut Jayadi menatap Karebet lekat.
“Seandainya Kanjeng Senopati Ringkin gagal menumpas pesantren sesat itu,
keadaan di sini akan hancur….”
“Jadi Syekh Arya
Bajageni itu orang jahat?”
“Jahat dan juga
menyesatkan Aqidah islam warga di pedukuhan ini.”
Karebet belum mengerti
benar soal agama islam secara mendalam. Sejak kecil ia memang di ajari sholat
dan mengaji oleh seorang ustad yang khusus di datangkan oleh Ibunya. Tapi ia
tidak pernah betah dan menurut setiap kali diajari. Berganti-ganti guru ngaji
didatangkan karena dikira guru ngajinya yang kuang pintar atau ia yang tidak
berkenan. Tidak lelah Ibunya
menasehatinya tapi tetap saja ia hanya ingin mengembara dan bertapa.
“Setidaknya itulah yang
dikatakan Kanjeng Sunan Kalijaga,” tambah Ki buyut Jayadi melanjutkan.
Sunan Kalijaga lagi.
Orang itu benar-benar sudah ada dimana-mana.
“Kanjeng Sunan Kalijaga
pernah kemari, Paman?”
“Beliau sengaja datang
untuk bertemu dengan Syekh Arya Bajageni itu. Kanjeng Sunan Kalijaga membujuk
supaya Syekh Arya Bajageni membubarkan pesantrennya itu.”
“Apa yang diajarkan di
pesantren itu, Paman?”
“Jihad.”
“Apa itu Jihad?”
“Jihad itu perang melawan sesama manusia yang tidak
sepaham dengan mereka. Itu yang diajarkan kepada murid-murid di pesantren itu.”
“Jadi mereka membunuh guru-guru
ngaji di pedukuhan ini?”
“Ada juga penduduk
biasa. Padahal agama islam tidak seperti itu. Jihad juga bukan begitu artinya.”
Penjelasan Ki buyut
Jayadi begitu lancar dan fasih. Padahal usianya terbilang uzur. Tapi jelas
terlihat keputusasaan di wajah rentanya. Nafasnya berulang kali dihelanya
dengan berat. Seperti berusaha mengeluarkan beban yang menghimpit dadanya.
“Alhamdulillah kanjeng
Senopati Ringkin sudah ada di pedukuhan ini,” ujar Ki buyut Jayadi seperti tahu
kekhawatiran Karebet.
Tapi Ki Buyut Jayadi
menjadi lebih tenang sekarang. Kehadiran Karebet menghibur dirinya saat dilanda
ketegangan menghadapi musuh yang tidak bisa dilihatnya. Ia tidak pernah
berhadapan langsung dengan musuhnya. Ia seperti menghadapi hantu. Makanya
kemudian ia mengusulkan meminta bantuan ke Demak.
Sewaktu
pertamakali datang, Senopati Ringkin disambut seperti seorang Raja. Mereka
mempunyai harapan kegelapan yang sedang melanda desa Pingit, bisa segera
diatasi. Mereka ingin hidup aman dan tenang. Tapi setelah Karebet datang, Ki
Buyut menjadi lebih tenang. Ia percaya anak bekas majikannya itu mempunyai daya
luniwih.
Apalagi setelah beredar kabar Karebet berhasil mengalahkan seekor buaya
raksasa. Ki Kebo Kenongo ayah Karebet adalah seorang Adipati yang dikenal
karena ketinggian ilmu pemerintahan dan kanuragannya. Ayahnya masih keturunan
Prabu Brawijaya terakhir, penguasa Majapahit sebelum runtuh. Diam-diam Ki Buyut
Jayadi merasa, masalah yang melanda desa Pingit bisa selesai justru di tangan
Karebet.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment