Friday, December 7, 2012

MAS KEREBET 6

BAB 6


SENOPATI Ringkin menatap Karebet tidak suka. Tapi ia tidak bisa melarang Ki Buyut Jayadi untuk mengundang Karebet duduk dan menikmati hidangan di pendopo kelurahan. Bahkan sambutan untuk Karebet masih lebih meriah dibanding saat menyambut dirinya pertama kali datang. Sebagai seorang yang berpengalaman dan mempunyai kedudukan tinggi, ia tidak perlu mempelihatkan rasa ketidaksukaan kepada Karebet. Ia tahu harus bersikap bagaimana.
     Yang paling menonjol dalam pertemuan itu, bukan Ki Buyut Jayadi yang begitu terharu bertemu dengan Karebet. Tapi Dadung Awuk. Pemuda itu terus saja mengikuti Karebet. Dan ia sekarang duduk persis di sebelah kirinya, seolah ia ingin menjadi wakil Karebet. Sewaktu ia maju untuk melawan Karebet, ia hanya tidak ingin kehilangan muka di depan teman-temannya. Meskipun hasilnya juga sia-sia, tapi ia tetap bangga bisa melawan Jaka Tingkir yang terkenal.
     Para pedagang keliling memberikan kabar kalau Jaka Tingkir adalah seorang pemuda pemberani yang rela mempertaruhkan nyawa dengan bertarung melawan seekor buaya yang sangat besar di sungai pedukuhan Karangsaga. Berita yang dibawa para pedagang keliling itu menyebar ke pedukuhan-pedukuhan, dimana para pedagang itu singgah. Begitu juga di pedukuhan Pingit. Mereka mendengar kehebatan aksi Jaka Tingkir itu. Dan sekarang orang terkenal itu sampai di pedukuhan Pingit.
     “Maafkan sikap para pemuda pedukuhan yang berlebihan, anakmas,” kata Ki Buyut Jayadi dengan gemetar. “Pedukuhan ini memang sedang tidak aman. Setiap ada orang asing datang selalu di curigai sebagai anak buah Syekh Arya Bajageni yang mengaku sebagi jelmaan Syekh Siti Jenar.”
     “Syekh Siti Jenar? Saya pernah mendengar kabar kalau Syekh Siti Jenar sudah meninggal?”
     “Ini muridnya yang bernama Arya Bajageni.”
“Dia mengambil murid dari penduduk pedukuhan Pingit ini dan pedukuhan lain, lalu mendirikan pesantren di bukit Siaul sana,” Jagabaya meneruskan. “Anehnya meski mereka mendirikan pesantren, tapi tidak suka dengan guru ngaji yang ada di pedukuhan ini atau yang datang kemari. Dan tadi pagi ditemukan mayat ketujuh dari guru ngaji di pedukuhan ini.”
     “Saya minta maaaf kalau saya lancang masuk  pedukuhan ini.” Karebet berusaha memahami situasi. “Saya hanya lapar dan mau pulang.”
     “Ternyata orang hebat juga bisa lapar ya,” sahut Dadung Awuk meledek.
     “Kanjeng Senopati Ringkin diutus Kanjeng Sultan Demak kemari untuk menumpas Syekh Arya Bajageni itu.” Ki Buyut Jayadi sengaja memperjelas posisi Senopati Ringkin karena melihat tidak menyukai kehadiran Karebet. Tapi ia yakin Karebet tidak merasa lebih hebat meskipun namanya dikenal luas.
     “Maafkan saya, kanjeng Senopati,” kata Karebet menggangguk hormat. Ia memang tidak tahu kalau yang dihadapinya adalah seorang Senopati. Baginya seorang Senopati adalah jabatan tinggi yang mempunyai kekuasaan luas terhadap prajurit. Bahkan bisa menentukan hidup matinya prajurit. Sayang ia tidak mempunyai cita-cita menjadi seorang senopati. Ia hanya ingin menjadi orang yang berguna buat orang lain. Ibunya selalu mengajarkan agar bisa menjadi penolong bagi sesama dengan cara yang di kuasainya.
     Ibunya adalah seorang saudagar yang bagi kebanyakan orang di desanya dianggap berhasil, bahkan dianggap sebagai orang paling kaya. Tapi bukan karena dikatakan sebagai orang paling kaya, Ibunya menjadi seorang dermawan, suka membantu kesulitan warga desa. Melainkan karena Ibunya memang tidak bisa melihat orang lain dalam kesusahan. Ibunya tidak butuh disebut dermawan karena ia suka memberi bantuan. Ia tahu persis, Ibunya adalah seorang yang welas asih tanpa mengharapkan imbalan apapun.
     Pada setiap pengembaraannya, ia selalu teringat ibunya. Ia sebenarnya tidak tega sering meninggalkannya. Tapi ia harus menuruti kata hatinya. Saat ia menyendiri, ia mendapatkan kedaimaian hati yang luar biasa. Sedangkan kalau selalu berada di rumah, ia gelisah.  
     “Raden melamun.” Ki Buyut Jayadi sudah berdiri disamping Karebet. Sengaja di suruhnya Karebet makan di ruangan belakang karena ia tidak bisa lagi menunggu untuk berbicara dengan Karebet berdua saja. Ia tidak bebas berbicara karena keberadaan Senopati Ringkin sebagai pejabat Istana Demak Bintoro disitu.
“Kenapa sedikit sekali makannya, Raden?”
     “Saya tidak biasa makan banyak, Ki Buyut.”
     “Saya ingin anakmas tidak memanggil saya Ki Buyut,” mata Ki Buyut berkaca lagi.
     “Saya juga tidak mau dipanggil Raden.”
“Raden harus dipanggil Raden. Tapi saya ingin dipanggil Paman, sebagaimana almarhum ayahanda raden memanggil saya.”
     Karebet kaget. “Apa maksud, Ki Buyut?”
     “Saya tidak menyalahkan Raden yang tidak mengingat kalau saya bekas abdi Kanjeng romo, Ki Ageng Kebo Kenongo di keraton Pengging.”
     Karebet semakin kaget.
     “Beruntung saya ingat janji sebelum berpisah dengan Nyai Ageng Tingkir, untuk tidak pernah membuka rahasia anakmas sebenarnya. Makanya tadi di depan Kanjeng Senopati Ringkin, saya berusaha menahan diri untuk tidak memanggil dengan sebutan Raden Mas Karebet.”
     Ia memang sudah tahu soal pergantian namanya tapi ia belum tahu rahasia apa dibalik itu. Dari dulu ia tidak pernah ingin tahu sebab kenapa namanya diganti. Tapi kali ini ia menjadi tertarik.
     “Rahasia apa, Ki Buyut?”
     “Waktu itu, dengan disaksikan Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang, Nyai Ageng Tingkir membawa Anakmas ke desa Tingkir dengan diam-diam, supaya tidak diketahui orang-orang Demak Bintoro kalau Ki Ageng Kebo Kenongo mempunyai keturunan yang masih hidup.” Ki Buyut Jayadi bercerita dengan lancar sekali. Matanya menerawang jauh. “Untuk itulah dengan kesepakatan mereka bertiga, nama Raden segera diganti menjadi Jaka Tingkir untuk menghilangkan jejak.”
     Karebet diam sesaat. 
     “Baik, Paman.” Karebet melihat iba di wajah lelaki tua itu. Ia hampir tidak ingat lagi masa kecilnya di Pengging, tempat kelahirannya. Bahkan ia tidak pernah tahu soal Ki Buyut Jayadi sewaktu menjadi pembantu ayahnya. Ia hanya ingat besar di desa Tingkir dengan Ibu seorang saudagar kaya. Jadi ia tidak bisa tahu seberapa baik hubungan ayahnya dan Ki Buyut Jayadi. Ia hanya melihat ketulusan wajah lelaki tua itu sejak melihatnya. Seolah terus menerus ingin mengasihaninya.
     Ia juga tidak pernah ingat betul apakah ia pernah tinggal di sebuah keraton yang bernama Pengging. Sedikit sekali ingatan masa kecilnya bisa ia ingat. Apa yang dikatakan Ki buyut Jayadi ia juga belum paham semuanya. Ia tidak pernah banyak bertanya kepada Ibunya. Bukan ia tidak mau tapi ia lebih lebih menyukai kesenengannya mengembara dan bertapa.
     “Saya tahu Raden tidak mengenal saya dengan baik,” kata Ki Buyut Jayadi seolah mengerti keraguan Karebet. “Tapi saat Raden lahir, sayalah yang ikut menjaga diluar kamar Gusti Putri. Saya ikut menimang Raden. Sampai ….,” suara Ki Buyut Jayadi gemetar, matanya menerawang ke masa lalu.
“…sampai Anakmas harus di bawa Nyai Ageng Tingkir. Maaf Raden, bukan saya mau membuat Raden sedih, tapi saya seperti melihat Ki Ageng Kebo Kenongo di wajah Raden.”
     Karebet tidak bisa menahan bibit air matanya yang mulai muncul. Ia lelaki yang hampir tidak pernah bisa menangis. Ia diajarkan untuk menjadi lelaki yang tegar, tidak cengeng. Bahkan saat ia harus pergi untuk mengembara mencari tempat bertapa, ia tidak pernah menangis karena berpisah dengan Ibunya. Tapi melihat lelaki tua yang gemetar dan begitu mengharapkan dirinya, ia tidak bisa menahan dirinya. 
     “Kalau raden capek, biar saya panggil tukang pijit terbaik di pedukuhan ini. Sebelum raden melanjutkan perjalanan pulang.”
     “Terimakasih, Paman…”
     Keadaan menjadi hening.
     Sebenarnya ia ingin Ki Buyut Jayadi bercerita lagi supaya ia semakin mengerti akan masa lalunya. Supaya ia mengerti dengan jelas, seperti apakah masa kecilnya. Karena Ibunya tidak pernah sekalipun mengajaknya bicara masa kecilnya. Tapi keadaan di pedukuhan ini membuatnya harus melupakan itu. 
“Apa yang sebenarnya sedang terjadi di pedukuhan ini, Paman? “ Karebet bertanya untuk mengalihkan kesedihannya.
Ki Buyut Jayadi menggeleng. “Sebaiknya Raden pulang ke Tingkir saja.”
“Saya tidak akan ikut campur, Paman.”
“Di pedukuhan ini sedang terjadi penindasan. Tapi mudah-mudahan dengan kedatangan Kanjeng Senopti Ringkin, masalah ini akan selesai.” Ki Buyut Jayadi menatap Karebet lekat. “Seandainya Kanjeng Senopati Ringkin gagal menumpas pesantren sesat itu, keadaan di sini akan hancur….”
“Jadi Syekh Arya Bajageni itu orang jahat?”
“Jahat dan juga menyesatkan Aqidah islam warga di pedukuhan ini.”
Karebet belum mengerti benar soal agama islam secara mendalam. Sejak kecil ia memang di ajari sholat dan mengaji oleh seorang ustad yang khusus di datangkan oleh Ibunya. Tapi ia tidak pernah betah dan menurut setiap kali diajari. Berganti-ganti guru ngaji didatangkan karena dikira guru ngajinya yang kuang pintar atau ia yang tidak berkenan.  Tidak lelah Ibunya menasehatinya tapi tetap saja ia hanya ingin mengembara dan bertapa.
“Setidaknya itulah yang dikatakan Kanjeng Sunan Kalijaga,” tambah Ki buyut Jayadi melanjutkan.
Sunan Kalijaga lagi. Orang itu benar-benar sudah ada dimana-mana.
“Kanjeng Sunan Kalijaga pernah kemari, Paman?”
“Beliau sengaja datang untuk bertemu dengan Syekh Arya Bajageni itu. Kanjeng Sunan Kalijaga membujuk supaya Syekh Arya Bajageni membubarkan pesantrennya itu.”
“Apa yang diajarkan di pesantren itu, Paman?”
“Jihad.”
“Apa itu Jihad?”
           “Jihad itu perang melawan sesama manusia yang tidak sepaham dengan mereka. Itu yang diajarkan kepada murid-murid di pesantren itu.”
“Jadi mereka membunuh guru-guru ngaji di pedukuhan ini?”
“Ada juga penduduk biasa. Padahal agama islam tidak seperti itu. Jihad juga bukan begitu artinya.”
Penjelasan Ki buyut Jayadi begitu lancar dan fasih. Padahal usianya terbilang uzur. Tapi jelas terlihat keputusasaan di wajah rentanya. Nafasnya berulang kali dihelanya dengan berat. Seperti berusaha mengeluarkan beban yang menghimpit dadanya.
“Alhamdulillah kanjeng Senopati Ringkin sudah ada di pedukuhan ini,” ujar Ki buyut Jayadi seperti tahu kekhawatiran Karebet.
Tapi Ki Buyut Jayadi menjadi lebih tenang sekarang. Kehadiran Karebet menghibur dirinya saat dilanda ketegangan menghadapi musuh yang tidak bisa dilihatnya. Ia tidak pernah berhadapan langsung dengan musuhnya. Ia seperti menghadapi hantu. Makanya kemudian ia mengusulkan meminta bantuan ke Demak.
     Sewaktu pertamakali datang, Senopati Ringkin disambut seperti seorang Raja. Mereka mempunyai harapan kegelapan yang sedang melanda desa Pingit, bisa segera diatasi. Mereka ingin hidup aman dan tenang. Tapi setelah Karebet datang, Ki Buyut menjadi lebih tenang. Ia percaya anak bekas majikannya itu mempunyai daya luniwih. Apalagi setelah beredar kabar Karebet berhasil mengalahkan seekor buaya raksasa. Ki Kebo Kenongo ayah Karebet adalah seorang Adipati yang dikenal karena ketinggian ilmu pemerintahan dan kanuragannya. Ayahnya masih keturunan Prabu Brawijaya terakhir, penguasa Majapahit sebelum runtuh. Diam-diam Ki Buyut Jayadi merasa, masalah yang melanda desa Pingit bisa selesai justru di tangan Karebet.
    
 (bersambung)

No comments: