Tiba-tiba Karebet mengangkat kedua
tangannya dan dia berteriak mengguntur ke udara. Teriakannya menggema di lembah
padukuhan yang sepi itu. Mungkin gemanya sampai ke padukuhan. Beberapa burung
terbang ketakutan dari pepohonan di sekitarnya. Karebet terduduk dengan
kesedihan yang mendalam, kekesalan yang menumpuk dan kenangan yang tidak bisa
diingatnya.
Menjadi
dewasa tidak menyenangkan. Ia harus menanggung beban yang mulai menjadi berat.
Bertemu Aryabajageni adalah mimpi terburuk yang tidak pernah ia inginkan hadir
dalam hidupnya. Pertemuan dengan orang yang mengaku adik seperguruan Ayahnya
telah membuat hidupnya siap berantakan. Ia hanya ingin pulang dan bertemu
Ibunya. Ia tidak suka kesenangan-kesenangan yang disukai banyak pemuda
seusianya.
Ia
hanya suka bertapa.
Mencari
ilmu kanuragan.
Tapi
sekarang ia bertemu Aryabajageni.
Apakah
semua yang dikatakannya benar?
“Raden…”
Karebet
menghapus sudut matanya yang berair.
Ki
Buyut Jayadi sudah dibelakangnya. Kelihatan khawatir. “Jangan hati Raden
diselimuti amarah hanya karena hasutan orang yang tidak jelas asal usulnya,”
katanya gemetar. “Kalau Raden mau tahu semua hal yang menyangkut Ayahanda Raden
almarhum, bertanyalah kepada Kanjeng Sunan Kalijaga.”
Sunan
Kalijaga lagi?
“Sewaktu Raden menuju bukit Siaul,
Kanjeng Sunan Kalijaga mendatangi saya dan mengatakan bahwa Radenlah yang bisa
mengusir Aryabajageni.”
Karebet sudah tidak peduli.
“Memangnya siapa Sunan Kalijaga itu? Kenapa dia tidak menemui saya sendiri?
Kenapa harus lewat Paman? Siapa memangnya Sunan Kalijaga itu ha?!”
Karebet benar-benar
kesal.
Ki
Buyut Jayadi mengerti kegundahan Karebet.
“Beliau
adalah salah satu dari anggota Wali Songo, penasehat agama Kanjeng Sultan
Demak.” Ki Buyut tetap menjelaskan.
“Apa
benar Ayahanda dibunuh Sunan Kudus?”
Ki
Buyut Jayadi kaget.
“Apakah
Sunan Kudus anggota Wali Songo?”
Ki
Buyut masih diam.
“Barangkali
Aryabajageni benar.”
Ki
Buyut Jayadi berdiri. “Raden, ayo kita pulang.”
“Kalau
masih ada yang mau Paman sampaikan, selesaikan saja disini.”
“Bicaralah
di rumah, disini banyak yang mendengar.”
Karebet
melihat sekeliling. Hanya pepohonan lebat dan kesunyian yang terhampar
disekeliling lembah itu. Ki Buyut Jayadi sudah berjalan. Sepertinya memang
tidak mau bicara lagi. Apakah lelaki tua itu merasa ada yang sedang mendengar
pembicaraan mereka?
Karebet
tidak mau tahu lagi.
Pikirannya
kacau balau.
Ia
hanya ingin tenang.
Kamar
Ki Buyut Jayadi ternyata begitu tenang. Hampir tidak terdengar suara apapun
dari luar. Ki Buyut Jayadi tahu Karebet membutuhkan ketenangan. Ia duduk dan
menyalakan sentir, sejenis lampu dengan minyak jarak. Lalu ia meraih sadak dan mengunyahnya.
Wajah tuanya menjadi lebih tenang. Sementara Karebet duduk santai masih
menikmati kesenyapan kamar itu.
“Raden,
saya hanya menyampaikan amanat Kanjeng Sunan Kalijaga soal Aryabajageni,” kata
Ki Buyut Jayadi memulai. “Paling tidak, Raden akan tahu sedang berhadapan
dengan siapa.”
“Kenapa
tidak langsung disampaikan kepada saya? Sunan Kalijaga takut kepada saya?”
“Nanti
Raden tahu kenapa. Aryabajageni masih keturunan Prabu Udara yang merebut
Majapahit dan menobatkan dirinya menjadi Prabu Brawijaya terakhir. Aryabajageni
tidak suka dengan Demak yang menurutnya telah meruntuhkan Majapahit.
Aryabajageni lalu berguru kepada Syekh Siti Jenar untuk menghancurkan Demak
dari dalam, lewat ajarannya yang sesat dan menyesatkan.”
Karebet
mendengarkan.
“Syekh
Siti Jenar itu orang yang kesaktiannya luar biasa tinggi. Dia berguru kepada
beberapa anggota Wali Songo. Bahkan ilmu kebatinannya mampu menggungguli Wali
Songo. Dia menyebarkan ajarannya dengan leluasa dan islam yang diajarkan
anggota Wali Songo mulai ditinggalkan masyarakat.”
“Siapa
yang bisa mengalahkan Syekh Siti Jenar?”
“Hanya
Kanjeng Sunan Kalijaga. Meskipun Kanjeng Sunan Kalijaga itu bersahabat baik
dengan Syekh Siti Jenar.”
“Apakah
Aryabajageni sehebat Syekh Siti Jenar?”
“Itu
aku tidak tahu.”
“Aku
seperti menghadapi hantu.”
“Entah
kenapa Kanjeng Sunan Kalijaga tidak mau menemui Raden. Tapi beliau berpesan,
kalau Raden ingin tahu lebih banyak soal Ayahanda Raden, temuilah beliau.”
“Dimana?”
“Tidak
tahu.”
“Tidak
tahu?”
“Kanjeng
Sunan Kalijaga bilang Raden akan menemukannya sendiri.”
“Orang
yang selalu aneh.”
“Memang
beliau aneh.”
Karebet
diam. Pikirannya semakin dijejali banyak pertanyaan. Ia tiba-tiba harus
menghadapi kejadian yang tidak pernah bisa dimengertinya ini.
“Istirahatlah
di kamar ini, Raden…”
Karebet
berdiri. “Tidak, Paman, saya ingin keluar jalan-jalan.”
“Raden,
tenangkan diri, dan mohonlah petunjuk Gusti Allah, mintalah petunjuk yang benar
dan jangan dengarkan setan.”
Karebet
tersenyum dan keluar.
Ki
Buyut Jayadi membuang kinang dalam mulutnya. Dadanya plong. Semua yang menjadi
beban pikirannya terlepas. Ia tidak ingin Karebet terbebani dengan berbagai
pertanyaan setelah bertemu Aryabajageni. Belum sempat ia beranjak, didepannya
sudah duduk Aryabajageni. Benar-benar muncul begitu saja. Lelaki berwajah tirus
itu tersenyum penuh kebusukan. Ki Buyut Jayadi panik.
“Oh…siapakah
kisanak?”
“Aryabajageni.”
Jantung
Ki Buyut Jayadi seperti mau meledak.
“Akulah
setan itu, tua bangka.”
Ki
Buyut Jayadi terlambat bereaksi, tangan kanan Aryabajageni sudah terangkat dan
sebuah pedang tajam muncul di genggaman tangannya. Mata Ki Buyut Jayadi
berkilat. Ia tidak sempat berteriak, pedang itu sudah menghujam dadanya. Tapi
pedang itu seketika lenyap begitu dihujamkan ke dada tua itu. Aryabajageni
tertawa dan seketika menghilang dari tempat itu.
Suara
jatuhnya tubuh Ki Buyut Jayadi cukup keras. Pintu kamarnya terbuka kembali dan
Karebet masuk dengan ketegangan di kepalanya. Mengejar Ki Buyut Jayadi yang
sekarat.
“Paman….Paman,
apa yang terjadi?”
“Aryabajageni….”
Karebet
melihat ruangan itu kosong. Jendela tertutup rapat. Tidak ada celah lain
kecuali pintu.
“Raden….”
“Aku
akan balaskan ini, Paman!”
“Balaskan
untuk ketentraman padukuhan ini…” Suara Ki Buyut Jayadi melemah. “Raden harus Amar
ma’ruf nahi munkar…” Kepala Ki Buyut Jayadi lunglai. Lukanya begitu parah
sampai tubuh rentanya tidak kuat lagi menanggung kesakitannya. Ki Buyut Jayadi
mati dengan tersenyum.
Karebet
geram. Aryabajageni memang sengaja ingin bermusuhan dengan padukuhan ini.
Dengan menggunakan kekuatannya, padukuhan ini telah dijadikan ladang
pembantaian untuk tujuan yang tidak jelas dengan alasan yang tidak masuk akal.
Di pintu muncul Dadung Awuk yang segera berteriak tertahan.
“Apa
yang terjadi Raden?”
“Aryabajageni
membunuhnya.”
“Oh….Jahanam.”
Jagabaya
muncul kemudian. Kegeramannya tidak bisa disembunyikannya tapi ia harus
bertindak. Ia lalu mengumpulan warga padukuhan dan bergotong royong mengurus
jenazah pemimpin mereka. Semua warga berduka. Ki Buyut Jayadi adalah lelaki
yang dihormati karena memimpin dengan welas asih tapi tegas. Siapa yang salah di
hukum, siapa yang lalai di tegur. Semua persoalan di tumpahkan kepada Ki Buyut
Jayadi untuk dicari jalan keluarnya. Dan semua harus menghormati apapun keputusannya.
Jenazah
Ki Buyut Jayadi di arak ke pemakaman dengan tangisan. Padukuhan Pingit
kehilangan pemimpin yang langka. Setua itu dia harus melindungi warga padukuhan
dari segala masalah, termasuk dari keganasan Aryabajageni.
Karebet
tidak terima itu.
Saat
semua orang ke pemakaman, ia menuju bukit Siaul. Ia harus melakukan perlawanan.
Barangkali ia nekat. Tapi ia punya niat baik. Meskipun niat baik saja tidak
cukup, tapi ia tetap akan melawan Aryabajageni. Lawannya itu jelas orang sakti.
Hebat ilmu kanuragannya. Kalah dan menang baginya biasa dalam sebuah
pertarungan. Soal hidup dan mati juga bukan urusannya. Sehebat apapun lawannya,
kalau ia belum di takdirkan mati, maka ia akan tetap hidup.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment