Thursday, December 20, 2012

MAS KAREBET 13

BAB 13




Tiba-tiba Karebet mengangkat kedua tangannya dan dia berteriak mengguntur ke udara. Teriakannya menggema di lembah padukuhan yang sepi itu. Mungkin gemanya sampai ke padukuhan. Beberapa burung terbang ketakutan dari pepohonan di sekitarnya. Karebet terduduk dengan kesedihan yang mendalam, kekesalan yang menumpuk dan kenangan yang tidak bisa diingatnya.
     Menjadi dewasa tidak menyenangkan. Ia harus menanggung beban yang mulai menjadi berat. Bertemu Aryabajageni adalah mimpi terburuk yang tidak pernah ia inginkan hadir dalam hidupnya. Pertemuan dengan orang yang mengaku adik seperguruan Ayahnya telah membuat hidupnya siap berantakan. Ia hanya ingin pulang dan bertemu Ibunya. Ia tidak suka kesenangan-kesenangan yang disukai banyak pemuda seusianya.
     Ia hanya suka bertapa.
     Mencari ilmu kanuragan.
     Tapi sekarang ia bertemu Aryabajageni.
     Apakah semua yang dikatakannya benar?
     “Raden…”
     Karebet menghapus sudut matanya yang berair.
     Ki Buyut Jayadi sudah dibelakangnya. Kelihatan khawatir. “Jangan hati Raden diselimuti amarah hanya karena hasutan orang yang tidak jelas asal usulnya,” katanya gemetar. “Kalau Raden mau tahu semua hal yang menyangkut Ayahanda Raden almarhum, bertanyalah kepada Kanjeng Sunan Kalijaga.”
     Sunan Kalijaga lagi?
     “Sewaktu Raden menuju bukit Siaul, Kanjeng Sunan Kalijaga mendatangi saya dan mengatakan bahwa Radenlah yang bisa mengusir Aryabajageni.”
Karebet sudah tidak peduli. “Memangnya siapa Sunan Kalijaga itu? Kenapa dia tidak menemui saya sendiri? Kenapa harus lewat Paman? Siapa memangnya Sunan Kalijaga itu ha?!”
Karebet benar-benar kesal.
     Ki Buyut Jayadi mengerti kegundahan Karebet.
     “Beliau adalah salah satu dari anggota Wali Songo, penasehat agama Kanjeng Sultan Demak.” Ki Buyut tetap menjelaskan.
     “Apa benar Ayahanda dibunuh Sunan Kudus?”
     Ki Buyut Jayadi kaget.
     “Apakah Sunan Kudus anggota Wali Songo?”
     Ki Buyut masih diam.
     “Barangkali Aryabajageni benar.”
     Ki Buyut Jayadi berdiri. “Raden, ayo kita pulang.”
     “Kalau masih ada yang mau Paman sampaikan, selesaikan saja disini.”
     “Bicaralah di rumah, disini banyak yang mendengar.”
     Karebet melihat sekeliling. Hanya pepohonan lebat dan kesunyian yang terhampar disekeliling lembah itu. Ki Buyut Jayadi sudah berjalan. Sepertinya memang tidak mau bicara lagi. Apakah lelaki tua itu merasa ada yang sedang mendengar pembicaraan mereka?
     Karebet tidak mau tahu lagi.
     Pikirannya kacau balau.
     Ia hanya ingin tenang.
     Kamar Ki Buyut Jayadi ternyata begitu tenang. Hampir tidak terdengar suara apapun dari luar. Ki Buyut Jayadi tahu Karebet membutuhkan ketenangan. Ia duduk dan menyalakan sentir, sejenis lampu dengan minyak jarak. Lalu ia meraih sadak dan mengunyahnya. Wajah tuanya menjadi lebih tenang. Sementara Karebet duduk santai masih menikmati kesenyapan kamar itu.
     “Raden, saya hanya menyampaikan amanat Kanjeng Sunan Kalijaga soal Aryabajageni,” kata Ki Buyut Jayadi memulai. “Paling tidak, Raden akan tahu sedang berhadapan dengan siapa.”
     “Kenapa tidak langsung disampaikan kepada saya? Sunan Kalijaga takut kepada saya?”
     “Nanti Raden tahu kenapa. Aryabajageni masih keturunan Prabu Udara yang merebut Majapahit dan menobatkan dirinya menjadi Prabu Brawijaya terakhir. Aryabajageni tidak suka dengan Demak yang menurutnya telah meruntuhkan Majapahit. Aryabajageni lalu berguru kepada Syekh Siti Jenar untuk menghancurkan Demak dari dalam, lewat ajarannya yang sesat dan menyesatkan.”
     Karebet mendengarkan.
     “Syekh Siti Jenar itu orang yang kesaktiannya luar biasa tinggi. Dia berguru kepada beberapa anggota Wali Songo. Bahkan ilmu kebatinannya mampu menggungguli Wali Songo. Dia menyebarkan ajarannya dengan leluasa dan islam yang diajarkan anggota Wali Songo mulai ditinggalkan masyarakat.”
     “Siapa yang bisa mengalahkan Syekh Siti Jenar?”
     “Hanya Kanjeng Sunan Kalijaga. Meskipun Kanjeng Sunan Kalijaga itu bersahabat baik dengan Syekh Siti Jenar.”
     “Apakah Aryabajageni sehebat Syekh Siti Jenar?”
     “Itu aku tidak tahu.”
     “Aku seperti menghadapi hantu.”
     “Entah kenapa Kanjeng Sunan Kalijaga tidak mau menemui Raden. Tapi beliau berpesan, kalau Raden ingin tahu lebih banyak soal Ayahanda Raden, temuilah beliau.”
     “Dimana?”
     “Tidak tahu.”
     “Tidak tahu?”
     “Kanjeng Sunan Kalijaga bilang Raden akan menemukannya sendiri.”
     “Orang yang selalu aneh.”
     “Memang beliau aneh.”
     Karebet diam. Pikirannya semakin dijejali banyak pertanyaan. Ia tiba-tiba harus menghadapi kejadian yang tidak pernah bisa dimengertinya ini.
     “Istirahatlah di kamar ini, Raden…”
     Karebet berdiri. “Tidak, Paman, saya ingin keluar jalan-jalan.”
     “Raden, tenangkan diri, dan mohonlah petunjuk Gusti Allah, mintalah petunjuk yang benar dan jangan dengarkan setan.”
     Karebet tersenyum dan keluar.
     Ki Buyut Jayadi membuang kinang dalam mulutnya. Dadanya plong. Semua yang menjadi beban pikirannya terlepas. Ia tidak ingin Karebet terbebani dengan berbagai pertanyaan setelah bertemu Aryabajageni. Belum sempat ia beranjak, didepannya sudah duduk Aryabajageni. Benar-benar muncul begitu saja. Lelaki berwajah tirus itu tersenyum penuh kebusukan. Ki Buyut Jayadi panik.
     “Oh…siapakah kisanak?”
     “Aryabajageni.”
     Jantung Ki Buyut Jayadi seperti mau meledak.
     “Akulah setan itu, tua bangka.”
     Ki Buyut Jayadi terlambat bereaksi, tangan kanan Aryabajageni sudah terangkat dan sebuah pedang tajam muncul di genggaman tangannya. Mata Ki Buyut Jayadi berkilat. Ia tidak sempat berteriak, pedang itu sudah menghujam dadanya. Tapi pedang itu seketika lenyap begitu dihujamkan ke dada tua itu. Aryabajageni tertawa dan seketika menghilang dari tempat itu.
     Suara jatuhnya tubuh Ki Buyut Jayadi cukup keras. Pintu kamarnya terbuka kembali dan Karebet masuk dengan ketegangan di kepalanya. Mengejar Ki Buyut Jayadi yang sekarat.
     “Paman….Paman, apa yang terjadi?”
     “Aryabajageni….”
     Karebet melihat ruangan itu kosong. Jendela tertutup rapat. Tidak ada celah lain kecuali pintu.
     “Raden….”
     “Aku akan balaskan ini, Paman!”
     “Balaskan untuk ketentraman padukuhan ini…” Suara Ki Buyut Jayadi melemah. “Raden harus Amar ma’ruf nahi munkar…” Kepala Ki Buyut Jayadi lunglai. Lukanya begitu parah sampai tubuh rentanya tidak kuat lagi menanggung kesakitannya. Ki Buyut Jayadi mati dengan tersenyum.
     Karebet geram. Aryabajageni memang sengaja ingin bermusuhan dengan padukuhan ini. Dengan menggunakan kekuatannya, padukuhan ini telah dijadikan ladang pembantaian untuk tujuan yang tidak jelas dengan alasan yang tidak masuk akal. Di pintu muncul Dadung Awuk yang segera berteriak tertahan.
     “Apa yang terjadi Raden?”
     “Aryabajageni membunuhnya.”
     “Oh….Jahanam.”
     Jagabaya muncul kemudian. Kegeramannya tidak bisa disembunyikannya tapi ia harus bertindak. Ia lalu mengumpulan warga padukuhan dan bergotong royong mengurus jenazah pemimpin mereka. Semua warga berduka. Ki Buyut Jayadi adalah lelaki yang dihormati karena memimpin dengan welas asih tapi tegas. Siapa yang salah di hukum, siapa yang lalai di tegur. Semua persoalan di tumpahkan kepada Ki Buyut Jayadi untuk dicari jalan keluarnya. Dan semua harus menghormati apapun keputusannya.
     Jenazah Ki Buyut Jayadi di arak ke pemakaman dengan tangisan. Padukuhan Pingit kehilangan pemimpin yang langka. Setua itu dia harus melindungi warga padukuhan dari segala masalah, termasuk dari keganasan Aryabajageni.
     Karebet tidak terima itu.
     Saat semua orang ke pemakaman, ia menuju bukit Siaul. Ia harus melakukan perlawanan. Barangkali ia nekat. Tapi ia punya niat baik. Meskipun niat baik saja tidak cukup, tapi ia tetap akan melawan Aryabajageni. Lawannya itu jelas orang sakti. Hebat ilmu kanuragannya. Kalah dan menang baginya biasa dalam sebuah pertarungan. Soal hidup dan mati juga bukan urusannya. Sehebat apapun lawannya, kalau ia belum di takdirkan mati, maka ia akan tetap hidup.   
(bersambung)
    

No comments: