Monday, December 17, 2012

MAS KAREBET 10

 BAB 10



“SEWAKTU saya bertapa di bukit Telomoyo, saya bermimpi aneh,” kata Karebet didepan Ki Buyut Jayadi. “Saya kejatuhan rembulan.”
     Mendadak tubuh Ki Buyut Jayadi gemetar.
“Oh Gusti Allah…”
Beberapa saat Ki Buyut Jayadi tidak bisa bicara.
“Kenapa Paman?”
Lelaki tua itu menatap Karebet dengan lekat-lekat dan bola matanya kemudian perlahan berair. “Saya orang bodoh, Raden. Kalau boleh saya menafsirkan, Raden telah mendapatkan wahyu keprabon.”
     Wahyu keprabon?”
     “Raden akan jadi pemimpin.” Suara Ki Buyut Jayadi sekarang benar-benar gemetar.
     Karebet jadi teringat sesuatu. “Berarti benar…”
     “Apa maksud Raden?”
     “Sunan Kalijaga juga berkata begitu.”
     “Ya Allah…..” Kali ini suara Ki Buyut serak seperti mau menangis. Lalu memeluk Karebet. Lalu benar-benar menangis. Badan rentanya terguncang-guncang di pelukan Karebet.
“Mati sekarang pun rasanya ikhlas mendengar anugerah agung ini, Raden.”
     Karebet tidak bisa berkata.
     Dadung Awuk sudah muncul di depan mereka. Mulutnya masih mengunyah kinang. “Aduh, kenapa main peluk-pelukan begitu? Ki Buyut, kenapa pakai nangis segala? Cengeng banget sih?”
     Karebet duduk tidak peduli.
     Ki Buyut Jayadi mengambil air minum.
     Dadung Awuk semakin penasaran. “Ayolah saya diberi bocoran cerita ada apa tadi?”
     “Aku mau pulang….”
     “Raden kan sudah janji sama Senopati Ringkin,” teriak Dadung Awuk. “Keadaan desa Pingit sedang siaga satu. Sebelum Senopati Ringkin kembali, raden tidak boleh pergi.”
     Lalu terdengar suara kentongan.
     “Nah lho, tanda kematian!” teriak Dadung Awuk kepalanya menoleh keluar rumah.
     Di sudut hutan pinggir desa, sudah banyak penduduk berkumpul. Jagabaya sudah berada di sana dan memerintahkan penduduk untuk menjauh dari tubuh Senopati Ringkin yang terbujur kaku. Roro Sendang berdiri diantar penduduk dengan gemetar. Dia yang pertama kali melihat tubuh Senopati Ringkin melayang dari atas dan jatuh begitu saja di pinggiran jalan. Teriakan Roro Sendang membuat para penduduk berdatangan. Termasuk Jagabaya.
     Ki Buyut Jayadi dengan Karebet dan Dadung Awuk, akhirnya sampai di kerumunan itu. Roro Sendang langsung menubruk Dadung Awuk dengan sisa ketakutannya.
     “Kakang….”
     “Lho, kok main tubruk begini, Sendang. Malu dilihat banyak tetangga.”
     Karebet menatap tubuh Senopati Ringkin yang kaku dan bagian dadanya gosong. Bajunya mencetak dua telapak tangan di bagian dadanya. Sebuah pukulan ilmu yang sangat tinggi. Seperti apakah lawan yang membuat pukulan seperti itu, tanya batinnya. Ia mencoba membayangkan seorang lelaki kurus dan bermuka dingin. Bahkan mungkin bisa terbang seperti kelelawar. Rasa penasarannya terhadap orang yang ada di bukit Siaul makin besar.
Ki Buyut Jayadi tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. “Sepertinya Senopati Ringkin meninggal dengan sangat kesakitan,” katanya lirih melihat luka di dada Senopati Ringkin.
“Apakah luka di tubuh guru ngaji yang terbunuh seperti ini juga, Paman?” tanya Karebet.
“Berbeda, Raden. Ini lebih mengerikan.”
Dadung Awuk mendekati Karebet dengan Roro Sendang. “Raden, yang melihat pertama kali Roro Sendang.”
     “Tubuhnya jatuh dari atas,” kata Roro Sendang masih gemetar.
“Seperti kelapa jatuh dari pohon?” tanya Karebet.
     “Iya begitu.”
     Karebet melihat ke arah bukit Siaul. Dari jaraknya, terbilang jauh dari tempat dimana tubuh Senopati Ringkin ditemukan. Dihitung dengan cara apapun, tidak masuk akal tubuh Senopati Ringkin bisa terlempar begitu jauhnya. Tapi ini terjadi. Dengan cara apa tubuh Senopati Ringkin sampai di pinggiran desa? Bukan saja hebat musuh Senopati Ringkin, tapi juga sadis. Jenis manusia macam apa dia, tanya Karebet dalam hati makin penasaran.
     “Jagabaya, suruh anak buahmu membawa jenazah Senopati Ringkin ke kelurahan,” perintah Ki Buyut Jayadi.
     Beberapa pemuda mengangkat tubuh Senopati Ringkin. Wajah para penduduk diliputi ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Mereka sudah tidak punya orang yang diandalkan untuk menghadapi musuh di bukit Siaul. Ki Buyut Jayadi bisa menangkap kekhawatiran mereka. Tapi ia belum bisa memberikan jalan keluar lain. Didalam lubuk hatinya, ia masih berharap dengan Karebet. Tapi ia tidak akan memaksa orang yang dihormatinya itu. Ia jauh lebih menyayangi nyawa Karebet. Bukan berarti ia akan mengorbankan nyawa penduduknya, tapi saat ini hanya Karebet yang menjadi harapan terakhirnya.
     Karebet tahu penduduk desa Pingit menghadapi hantu pencabut nyawa yang tidak bisa mereka lawan. Mereka dicekam ketakutan karena musuh mereka tidak bisa ditebak kapan datang. Ronda yang diadakan setiap malam sampai pagi tidak juga membuahkan hasil apapun. Ada saja sudut desa yang menjadi celah untuk masuknya musuh mereka. Sedangkan mereka tidak bisa menjaga setiap sudut desa sepanjang waktu.
     Untuk kesekian kalinya Karebet memandang ke arah bukit Siaul dari kejauhan. Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak tahu apakah akan mampu melawan orang yang sudah membuat Senopati Ringkin terbunuh. Tapi niatnya bulat. Gagal atau berhasil bukan urusan dia. Ada seseorang dibelakangnya dan ia menebak kalau Dadung Awuk orangnya. Tapi ia kaget.
     Di depannya sudah berdiri Roro Sendang. “Raden mau ke bukit Siaul?” tanyanya seolah tahu pikiran Karebet.
     “Untuk apa aku harus ke bukit Siaul?”
     “Raden akan membiarkan kami ketakutan?”
     “Yang saya tahu ini sudah jadi urusan kerajaan Demak Bintoro.”
     “Demak Bintoro jauh, Raden. Sedangkan desa ini jauh dari manapun.” Suara Roro Sendang seperti meminta.
     Karebet diam. Gadis ini cerdas. Tapi ia tidak habis mengerti kenapa gadis ini bisa tahu ia ada disini. Kalau hendak ke sungai, jalannya bukan jalan ini. Tapi ia tidak peduli. Saat ini pikirannya sedang memikirkan orang di atas bukit Siaul itu.
     “Raden toh harus membuktikan bahwa raden lebih hebat dari senopati Demak Bintoro itu,” kata Roro Sendang lagi ngotot.
     “Aku tidak perlu membuktikan apa-apa.” Karebet menatap gadis itu. “Tapi aku akan tetap kesana.”
     Karebet terus saja pergi. Tanpa pamit.
     “Raden selalu dingin terhadap wanita?”
     Karebet berhenti. Berbalik. Mata gadis itu menatap tajam ke arah Karebet. Pertanyaan itu membuatnya sadar bahwa gadis itu memang sengaja mengikutinya untuk bisa berbicara berdua.
     “Aku biasa ngobrol dengan wanita.”
     “Tapi sikap raden menunjukkan kalau raden tidak pernah dekat dengan seorang wanita.”
     “Aku dekat dengan ibuku.”
     “Maksud saya seorang kekasih.”
     Akhirnya gadis ini semakin memperjelas tujuannya bicara dengannya. Sayang ia sama sekali tidak tertarik dengan Roro Sendang. Ia tidak pernah berpikir untuk menyukai wanita sebelum dirinya menjadi seseorang yang bisa berarti bagi orang lain.  Perkara Roro Sendang tertarik kepadanya itu bukan urusannya.
“Bagaimana hubunganmu dengan Dadung Awuk?”
     “Saya belum menjadi milik siapapun,” jawab Roro Sendang cepat. “Sebelum ada janur kuning di depan rumah saya.”
     Gadis ini memang sedang berusaha menggodanya.
     “Maaf Roro Sendang, aku harus pergi.”
     Karebet tidak menoleh lagi.
     Roro Sendang menahan diri dan menatap lelaki yang membuatnya tertarik begitu pertama kali melihatnya. Ia merasa berhak menyukai siapapun, meskipun ia mempunyai hubungan khusus dengan Dadung Awuk.(bersambung)

No comments: