BAB 10
“SEWAKTU saya bertapa di bukit
Telomoyo, saya bermimpi aneh,” kata Karebet didepan Ki Buyut Jayadi. “Saya
kejatuhan rembulan.”
Mendadak
tubuh Ki Buyut Jayadi gemetar.
“Oh Gusti Allah…”
Beberapa saat Ki Buyut
Jayadi tidak bisa bicara.
“Kenapa Paman?”
Lelaki tua itu menatap
Karebet dengan lekat-lekat dan bola matanya kemudian perlahan berair. “Saya
orang bodoh, Raden. Kalau boleh saya menafsirkan, Raden telah mendapatkan wahyu
keprabon.”
“Wahyu
keprabon?”
“Raden akan jadi pemimpin.” Suara
Ki Buyut Jayadi sekarang benar-benar gemetar.
Karebet
jadi teringat sesuatu. “Berarti benar…”
“Apa
maksud Raden?”
“Sunan
Kalijaga juga berkata begitu.”
“Ya
Allah…..” Kali ini suara Ki Buyut serak seperti mau menangis. Lalu memeluk
Karebet. Lalu benar-benar menangis. Badan rentanya terguncang-guncang di pelukan
Karebet.
“Mati sekarang pun
rasanya ikhlas mendengar anugerah agung ini, Raden.”
Karebet
tidak bisa berkata.
Dadung
Awuk sudah muncul di depan mereka. Mulutnya masih mengunyah kinang. “Aduh,
kenapa main peluk-pelukan begitu? Ki Buyut, kenapa pakai nangis segala? Cengeng
banget sih?”
Karebet
duduk tidak peduli.
Ki
Buyut Jayadi mengambil air minum.
Dadung
Awuk semakin penasaran. “Ayolah saya diberi bocoran cerita ada apa tadi?”
“Aku
mau pulang….”
“Raden
kan sudah janji sama Senopati Ringkin,” teriak Dadung Awuk. “Keadaan desa
Pingit sedang siaga satu. Sebelum Senopati Ringkin kembali, raden tidak boleh
pergi.”
Lalu
terdengar suara kentongan.
“Nah
lho, tanda kematian!” teriak Dadung Awuk kepalanya menoleh keluar rumah.
Di
sudut hutan pinggir desa, sudah banyak penduduk berkumpul. Jagabaya sudah
berada di sana dan memerintahkan penduduk untuk menjauh dari tubuh Senopati
Ringkin yang terbujur kaku. Roro Sendang berdiri diantar penduduk dengan
gemetar. Dia yang pertama kali melihat tubuh Senopati Ringkin melayang dari
atas dan jatuh begitu saja di pinggiran jalan. Teriakan Roro Sendang membuat
para penduduk berdatangan. Termasuk Jagabaya.
Ki
Buyut Jayadi dengan Karebet dan Dadung Awuk, akhirnya sampai di kerumunan itu.
Roro Sendang langsung menubruk Dadung Awuk dengan sisa ketakutannya.
“Kakang….”
“Lho,
kok main tubruk begini, Sendang. Malu dilihat banyak tetangga.”
Karebet
menatap tubuh Senopati Ringkin yang kaku dan bagian dadanya gosong. Bajunya
mencetak dua telapak tangan di bagian dadanya. Sebuah pukulan ilmu yang sangat
tinggi. Seperti apakah lawan yang membuat pukulan seperti itu, tanya batinnya.
Ia mencoba membayangkan seorang lelaki kurus dan bermuka dingin. Bahkan mungkin
bisa terbang seperti kelelawar. Rasa penasarannya terhadap orang yang ada di
bukit Siaul makin besar.
Ki Buyut Jayadi tidak
bisa menyembunyikan kekagetannya. “Sepertinya Senopati Ringkin meninggal dengan
sangat kesakitan,” katanya lirih melihat luka di dada Senopati Ringkin.
“Apakah luka di tubuh
guru ngaji yang terbunuh seperti ini juga, Paman?” tanya Karebet.
“Berbeda, Raden. Ini
lebih mengerikan.”
Dadung Awuk mendekati
Karebet dengan Roro Sendang. “Raden, yang melihat pertama kali Roro Sendang.”
“Tubuhnya
jatuh dari atas,” kata Roro Sendang masih gemetar.
“Seperti kelapa jatuh
dari pohon?” tanya Karebet.
“Iya
begitu.”
Karebet
melihat ke arah bukit Siaul. Dari jaraknya, terbilang jauh dari tempat dimana
tubuh Senopati Ringkin ditemukan. Dihitung dengan cara apapun, tidak masuk akal
tubuh Senopati Ringkin bisa terlempar begitu jauhnya. Tapi ini terjadi. Dengan
cara apa tubuh Senopati Ringkin sampai di pinggiran desa? Bukan saja hebat
musuh Senopati Ringkin, tapi juga sadis. Jenis manusia macam apa dia, tanya
Karebet dalam hati makin penasaran.
“Jagabaya,
suruh anak buahmu membawa jenazah Senopati Ringkin ke kelurahan,” perintah Ki
Buyut Jayadi.
Beberapa
pemuda mengangkat tubuh Senopati Ringkin. Wajah para penduduk diliputi
ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Mereka sudah tidak punya orang yang
diandalkan untuk menghadapi musuh di bukit Siaul. Ki Buyut Jayadi bisa
menangkap kekhawatiran mereka. Tapi ia belum bisa memberikan jalan keluar lain.
Didalam lubuk hatinya, ia masih berharap dengan Karebet. Tapi ia tidak akan
memaksa orang yang dihormatinya itu. Ia jauh lebih menyayangi nyawa Karebet.
Bukan berarti ia akan mengorbankan nyawa penduduknya, tapi saat ini hanya
Karebet yang menjadi harapan terakhirnya.
Karebet
tahu penduduk desa Pingit menghadapi hantu pencabut nyawa yang tidak bisa
mereka lawan. Mereka dicekam ketakutan karena musuh mereka tidak bisa ditebak
kapan datang. Ronda yang diadakan setiap malam sampai pagi tidak juga
membuahkan hasil apapun. Ada saja sudut desa yang menjadi celah untuk masuknya
musuh mereka. Sedangkan mereka tidak bisa menjaga setiap sudut desa sepanjang
waktu.
Untuk
kesekian kalinya Karebet memandang ke arah bukit Siaul dari kejauhan. Ia harus
melakukan sesuatu. Ia tidak tahu apakah akan mampu melawan orang yang sudah
membuat Senopati Ringkin terbunuh. Tapi niatnya bulat. Gagal atau berhasil
bukan urusan dia. Ada seseorang dibelakangnya dan ia menebak kalau Dadung Awuk
orangnya. Tapi ia kaget.
Di
depannya sudah berdiri Roro Sendang. “Raden mau ke bukit Siaul?” tanyanya
seolah tahu pikiran Karebet.
“Untuk
apa aku harus ke bukit Siaul?”
“Raden
akan membiarkan kami ketakutan?”
“Yang
saya tahu ini sudah jadi urusan kerajaan Demak Bintoro.”
“Demak
Bintoro jauh, Raden. Sedangkan desa ini jauh dari manapun.” Suara Roro Sendang
seperti meminta.
Karebet
diam. Gadis ini cerdas. Tapi ia tidak habis mengerti kenapa gadis ini bisa tahu
ia ada disini. Kalau hendak ke sungai, jalannya bukan jalan ini. Tapi ia tidak
peduli. Saat ini pikirannya sedang memikirkan orang di atas bukit Siaul itu.
“Raden
toh harus membuktikan bahwa raden lebih hebat dari senopati Demak Bintoro itu,”
kata Roro Sendang lagi ngotot.
“Aku
tidak perlu membuktikan apa-apa.” Karebet menatap gadis itu. “Tapi aku akan
tetap kesana.”
Karebet
terus saja pergi. Tanpa pamit.
“Raden
selalu dingin terhadap wanita?”
Karebet
berhenti. Berbalik. Mata gadis itu menatap tajam ke arah Karebet. Pertanyaan
itu membuatnya sadar bahwa gadis itu memang sengaja mengikutinya untuk bisa
berbicara berdua.
“Aku
biasa ngobrol dengan wanita.”
“Tapi
sikap raden menunjukkan kalau raden tidak pernah dekat dengan seorang wanita.”
“Aku
dekat dengan ibuku.”
“Maksud
saya seorang kekasih.”
Akhirnya
gadis ini semakin memperjelas tujuannya bicara dengannya. Sayang ia sama sekali
tidak tertarik dengan Roro Sendang. Ia tidak pernah berpikir untuk menyukai
wanita sebelum dirinya menjadi seseorang yang bisa berarti bagi orang
lain. Perkara Roro Sendang
tertarik kepadanya itu bukan urusannya.
“Bagaimana hubunganmu
dengan Dadung Awuk?”
“Saya
belum menjadi milik siapapun,” jawab Roro Sendang cepat. “Sebelum ada janur
kuning di depan rumah saya.”
Gadis
ini memang sedang berusaha menggodanya.
“Maaf
Roro Sendang, aku harus pergi.”
Karebet
tidak menoleh lagi.
Roro
Sendang menahan diri dan menatap lelaki yang membuatnya tertarik begitu pertama
kali melihatnya. Ia merasa berhak menyukai siapapun, meskipun ia mempunyai
hubungan khusus dengan Dadung Awuk.(bersambung)
No comments:
Post a Comment