MALAM yang sepi. Seperti
malam-malam sebelumnya. Suara-suara binatang malam nyaris tidak terdengar,
seolah mereka juga dilanda ketakutan. Langkah kaki pun pasti mudah sekali
dikenali. Seperti juga di dalam pendopo kelurahan. Senopati Ringkin, Ki Buyut
Jayadi dan Jagabaya duduk seperti menunggu sesuatu. Padahal pikiran mereka
berkecamuk. Suara dengus nafas merekapun terdengar dengan jelas.
“Saya
sudah putuskan akan mendatangi pesantren Aryabajageni besok,” kata Senopati
Ringkin membuka percakapan.
“Saya
ada usul, ini juga kalau kanjeng Senopati tidak keberatan,” kata Ki Buyut
Jayadi dengan hati-hati.
“Katakan
saja, Ki Buyut.”
“Bagaimana
kalau Jaka Tingkir membantu Kanjeng Senopati?”
Jagabaya
nampak senang.
Tapi
Senopati Ringkin tidak suka sama sekali.
“Ini urusan resmi
kerajaan, bukan urusan orang luar, Ki Buyut,” jawabnya ketus. “Lagipula saya
tidak tahu siapa anak muda itu. Saya malah mencurigainya sebagai mata-mata
Aryabajageni.”
“Itu
tidak mungkin,” sahut Ki Buyut Jayadi cepat. “Saya tahu sekali Jaka Tingkir.
Saya dulu pernah mengabdi kepada ayahandanya.”
“Memangnya
siapa dia?”
Ki
Buyut Jayadi baru sadar perkataannya mengundang penasaran. “Jaka Tingkir hanya
anak seorang saudagar di desa Tingkir.”
Ki
Buyut Jayadi termasuk orang yang harus memegang rahasia bahwa Jaka Tingkir
adalah Mas Karebet, anak Ki Ageng Kebo Kenongo atau Ki Ageng Pengging. Bagi
Sultan Demak, Ki Ageng Kebo Kenongo telah mbalelo. Tidak mau sowan ke Demak lagi
sebagaimana yang dilakukan para adipati lain di tlatah Jawa. Pengging juga
tidak pernah lagi memberikan upeti ke Demak.
Tapi hal itu terjadi
setelah Ki Ageng Kebo Kenongo berguru agama kepada Syekh Siti Jenar yang
dianggap mengajarkan ajaran sesat oleh para para Wali. Setelah diberi waktu
tiga tahun untuk menentukan pilihan, Ki Ageng Kenongo tetap tidak bersedia
datang ke Demak. Maka kemudian Sunan Kudus selaku Panglima Perang diberi tugas
untuk menghukum Ki Ageng Kenongo yang sudah diputuskan membangkang kepada
pemerintahan yang sah. Hukuman itu membuahkan kematian terhadap Ki Ageng Kebo
Kenongo atau Ki Ageng Pengging.
“Maaf
Ki Buyut, di Demak sana, banyak pemuda seperti Jaka Tingkir. Baik kehebatan
ilmu kanuragannya, maupun ketampanan wajahnya. Dia hanya anak kampung.” Nada
Senopati Ringkin tinggi. Menyiratkan kebencian yang dalam.
“Maaf,
Kanjeng Senopati, saya hanya memberikan usulan.” Ki Buyut Jayadi berkata lirih.
“Semua terserah Kanjeng Senopati.”
“Tidak
usah Ki Buyut ragukan kehebatan Senopati Demak.”
Ki
Buyut Jayadi tidak menjawab. Ia hanya menunduk. Ia berharap Karebet tidak
mendengar pembicaraan ini. Ia sangat menghormati anak bekas majikannya itu. Ia
tidak mau hati anak muda itu terluka dengan jawaban Senopati Ringkin yang
sangat merendahkan.
Karebet memang tidak
mendengar pembicaraan itu karena ia sedang berada di kamarnya. Ia tidak bisa
tidur. Pikirannya terus terganggu dengan pesantren di bukit Siaul itu. Baginya
aneh sebuah pesantren tidak menyukai guru ngaji. Apalagi guru ngaji kampung.
Apakah ini hanya sebuah saingan mencari murid?
Udara
terasa panas didalam kamar. Di bukanya jendela, tapi terdengar suara benturan
diluar kamar disusul suara mengaduh. Dilihatnya Dadung Awuk mengelus-elus batok
kepalanya.
“Aduh
biyung, kepalaku bocor.” Dadung Awuk mengelus batok kepalanya yang terkena daun
jendela.
“Kalau
mau jaga malam, bilang-bilang.”
“Sialan,
buat apa orang sehebat raden dijaga segala.” Dadung Awuk duduk di jendela.
“Raden tidak ikut pertemuan di pendopo?”
“Memangnya
ada apa?”
“Katanya,
besok Kanjeng Senopati Ringkin mau ke bukit Siaul.”
“Baguslah.”
“Lho
kok bagus?”
“Bukankah
beliau datang untuk membuat aman desa ini? Lebih cepat aman lebih baik kan?”
“Tapi
saya tidak yakin.”
“Seorang
Senopati pasti seorang yang sangat hebat ilmunya. Tidak ada alasan untuk tidak
mempercayainya”
“Saya
malah yakin raden yang bisa membuat aman desa ini.”
“Jangan
meledek.”
“Sumpah
mati, saya bicara jujur….”
Lalu
terdengar suara kentongan bertalu-talu di kejauhan. Makin lama makin banyak
suara kentongannya.
“Ada
perampokan.” Dadung Awuk berdiri. “Buset, ada-ada saja kejadian. Ayo raden,
kita kesana.”
“Kamu
saja. Aku ngantuk.”
“Siapa
tahu malingnya sakti.”
“Masih
ada Senopati Ringkin.”
“Sama
Raden saja kalah.”
“Kamu
duluan saja.”
“Tapi
menyusul ya, Raden.” Dadung Awuk lantas pergi.
Karebet ke arah tempat
tidur yang terbuat dari bambu. Ia merebahkan dirinya. Ia tidak bisa menduga
kejadian apa yang melanda desa ini. Saat sedang berlangsung pembunuhan guru
ngaji, ada kejadian perampokan. Bisa jadi
saling berhubungan kalau yang melakukan pembunuhan dan perampokan orang
yang sama.
Karebet bergegas keluar dari kamar itu. Ia yakin Senopati Ringkin akan
mampu mengatasi perampokan. Ia ingin menuju bukit Siaul. Ia ingin mendapatkan
jawaban atas pertanyaan yang mulai menumpuk di kepalanya.(bersambung)
No comments:
Post a Comment