Friday, December 21, 2012

MAS KAREBET 14

BAB 14



Di depan Karebet sudah menghadang lebih dari duapuluh lelaki berseragam merah. Lengkap bersenjata dan siap untuk membunuhnya. Karebet menatap mata mereka yang buas. Ia tahu persis, mereka orang yang siap mati dalam keadaan apapun. Karebet justru lebih takut menghadapi orang semacam ini daripada orang yang sudah jelas tinggi ilmu kanuragaannya. Mereka siap melakukan cara apasaja untuk membunuh lawannya, sepanjang nyawa mereka masih ada di raga mereka. Jenis perlawanan yang dimiliki oleh ketaatan kepada pemimpinnya dan kepada ajarannya.
 “Aku hanya berurusan dengan guru kalian.”  Karebet berusaha untuk basa-basi, siapa tahu mereka masih mau mendengarnya. Tapi memang sia-sia. Mereka sudah bergerak setelah Karebet selesai bicara. Karena sudah memperkirakan serangan itu, Karebet sudah lebih dulu mengeluarkan ikat kepalanya dan dia bergerak berputar badannya menyamping.
     Para Lelaki berseragam merah itu tidak ada yang sempat melawan. Mereka jatuh dan kesakitan dalam waktu hampir bersamaan. Hampir semua tidak bisa berdiri lagi dengan cepat. Yang berdiri lagi segera akan menyerang, tapi bengong. Karebet sudah melesat lari seperti kijang. Tubuhynya bergerak menembus pepohonan lebat.
Tidak lama ia sampai di halaman rumah besar itu.
Sepi.
Angin menerbangkan dedaunan kering.       
     Karebet berdiri tegang. Ia yakin Aryabajageni tahu kedatangannya. Tanpa perlu diteriaki untuk keluar, ia yakin orang itu akan keluar sendiri. Tapi caranya keluar, Karebet tidak menduga sama sekali.
     Tanah didepannya bergetar seperti gempa bumi. Dari dalam tanah seperti ada yang sesuatu mendorong. Sesuatu yang besar sekali. Sesuatu yang hidup. Karebet mundur. Dari dalam tanah muncul seekor cacing tanah. Besar dan mengerikan wajahnya. Cacing sebesar manusia itu berguling dan berubah menjadi tubuh Aryabajageni. Duduk bersila di tanah dan tertawa.
     “Kau mampu melakukan itu?” tanya Aryabajageni meledek.
     Tenggorkan Karebet kering. Pertamakali dalam hidupnya, lawannya adalah jenis manusia yang mungkin langka. Dari kemampuannya ia tidak terlalu kagum, tapi cara hidup dan apa yang ditempuhnya adalah sesuatu yang sama sekali baru baginya. Soal kemampuannya, ia yakin masih dibawah Arybajageni. Tapi ia tidak takut. Itulah satu-satunya modalnya berdiri didepan Aryabajageni tanpa harus lari melihat cara munculnya.
“Itu hanya permainan murahan,” katanya lirih.
Aryabajageni belum sempat tertawa ketika tubuh Karebet sudah melesat dengan sangat cepat. Cara melesatnya juga bukan kebiasaan orang bertarung dari depan lawannya. Ia tahu lawannya lebih hebat. Dengan memberikan sedikit pancingan gerakan menyamping, Aryabajageni langsung serius menghadapinya. Karebet langsung mengerahkan semua kemampuannya menyerang Aryabajageni. Ia sedang melawan orang yang mungkin paling hebat sepanjang ia mengembara. Jadi ia tidak mau kesempatannya terbuang dengan sia-sia. Kalau ia tidak memulainya, ia tidak pernah tahu kapan masalahnya bisa selesai.
     Aryabajageni dipaksa melawan Karebet. Lelaki berwajah tirus itu melihat gerakan Karebet yang berbeda dari pendekar pada umumnya. Untuk itu ia kemudian memaksa Karebet bertarung dengan jurus-jurus yang tidak biasa. Jurus-jurus yang ia yakin tidak bisa diimbangi Karebet. Tapi dugaaannya meleset. Karebet bisa mengimbangi seluruh serangan balik yang datang darinya. Bahkan kemudian bisa mematahkan jurus-jurusnya.
     Karebet tidak pernah belajar silat di sebuah perguruan. Ia tidak pernah tahu dimana ia bisa mendapatkan sebuah perguruan silat yang bagus. Ia orang yang tidak pernah mau setengah-setengah. Kalau perguruan itu tidak bagus dan terkenal, lebih baik ia tidak berguru sekalian. Ia lebih banyak belajar dari pendekar yang dikenalnya di tempat bertapa, selebihnya berlatih sendiri. Jadi kalau dipaksa bertarung dengan jurus yang aneh, ia bisa jauh lebih aneh. 
     Aryabajageni mundur dan mendengus, “Ternyata kau memang mempunyai ilmu kanuragan lumayan,” katanya sengit tanpa sadar bahwa ia mengakui kehebatan Karebet. “Tapi aku tidak mau bermusuhan denganmu. Aku ingin menjadikanmu muridku.”
     “Aku akan berguru padamu kalau kau bisa mengalahkanku,” jawab Karebet tegas. Ia tahu persis ia tidak akan bisa mengalahkan lelaki didepannya itu tapi ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk membebaskan warga padukuhan Pingit. Satu-satunya cara ia harus kelihatan jauh lebih berani untuk menutupi kelemahannya.
     “Kau tidak akan mampu mengalahkanku, Karebet. Aku juga tidak akan melukaimu. Jadi percuma saja pertarungan ini.”
     “Selama kau tidak pergi dari padukuhan ini, aku tetap akan melawanmu.” Karebet tidak bergeming. “Soal aku tidak bisa mengalahkanmu, itu bukan urusanku. Tapi aku tidak akan pergi meskipun aku kalah olehmu.”
     Aryabajageni tidak menyangka akan mendapatkan lawan Karebet. Seorang pemuda yang kelihatan tidak istimewa dan tidak hebat ilmu kanuragannya. Tapi betapa Karebet ternyata seorang pemuda yang ksatria. Pemuda itu sama sekali tidak takut menghadapinya saat semua orang menakutinya. Apa yang dibela Karebet juga orang-orang padukuhan yang tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Sikap ksatria Karebet membuat Aryabajageni harus mengakui ada kehebatan tersembunyi didalam diri Karebet. Dengan ilmu pamungkasnya, ia bisa saja meremukkan tubuh Karebet. Tapi ia tidak yakin pemuda itu akan binasa. Pemuda didepannya itu menyimpan suatu yang besar. Aryabajageni tidak tahu apa itu, tapi ia tiba-tiba merasakan bahwa Karebet adalah orang yang sulit ditaklukan.
     Karebet menduga Aryabajageni sedang mempersiapkan ilmu pamungkasnya untuk menutup pertarungan dengannya. Makanya kemudian ia diam-diam merapal ilmu yang dikuasainya paling tinggi. Ia menamakan ilmunya Ajian Serat Jiwa. Ilmu yang dipelajarinya dari seorang pendekar bernama Arya Kumbara yang berasal dari Madangkara. Ia tidak tahu persis dimana Madangkara tapi ilmu yang dilihatnya adalah sejenis ilmu yang sangat mematikan dan sulit dicari tandingannya. Pada mulanya ia merasa bahwa Ajian Serat Jiwa terlalu sadis dalam membunuh musuhnya. Ilmu  itu jahat seklii.
Tapi Arya Kumbara pernah berkata, “Hitam atau putih ilmu itu tergantung dari yang memakainya. Kalau ia dipakai untuk kejahatan, hitam ilmu itu. Tapi kalau dipakai untuk kebaikan, jadi putih ilmu itu.”
Sejak itu ia mulai mempelajarinya setelah diajari dasar ilmu itu oleh Arya Kumbara. Karena ada beberapa jurus yang tidak ia sukai, maka kemudian ia menciptakan sendiri ajian itu. Setelah beberapa waktu mempelajari ajian serat jiwa, ia mencobanya pada sebuah pohon trembesi. Dan pohon trembesi luluh lantak setelah dihajar ajiannya.
     “Aku ingin masalah ini cepat selesai, jadi mari kita selesaikan pertarungan ini.” Berkata begitu Karebet menyerbu.
     Aryabajageni tidak menyangka Karebet akan menyerangnya begitu deras,  serbuan tenaga yang terlalu besar. Mau tidak mau ia harus mengerahhkan ilmunya untuk membentengi dirinya. Ia merasakan hawa panas pada serangan Karebet dan ia merasakan bahwa pemuda itu tidak main-main lagi untuk menyerangnya.   Lama kelamaan ia mulai merasakan tubuh dan tenaganya tersedot oleh serangan Karebet. Ia merasakannya jelas sekali. Sendi-sendi tulangnya mulai terasa kaku dan kulitnya mulai mengeras.
     Hanya dengan merubah tata letak tangan dan kakinya, Aryabajageni sudah membendung serangan Karebet. Ia mulai tersenyum melihat pemuda itu mulai meningkatkan serangannya tapi jelas sekali seperti membentur tembok. Karebet memang merasakan serangannya mulai tidak berhasil. Baginya luar biasa sekali Aryabajageni. Dalam waktu yang sangat singkat bisa membuat ilmunya nyaris tidak bisa menembusnya.
     Karebet meningkatkan serangan Ajian Serat Jiwanya. Tapi semakin kuat juga Aryabajageni membendungnya. Ternyata semakin kuat dibendung, semakin kuat Ilmu Serat Jiwa menembus pertahanan Aryabajageni. Hal itu membuat Aryabajageni kerepotan dan tidak ada jalan lain baginya kecuali mengahiri perlawanan Karebet dengan caranya.
     Aryabajageni sangat menghormati Ki Ageng Kenongo, ayah Karebet, sebagaimana ia menghormati gurunya Syekh Siti Jenar. Ketika bertemu Karebet ia menemukan banyak harapan. Terlebih soal ajaran gurunya yang harus disebarluaskan. Selama ini ia terus diburu pihak kerajaan Demak karena menyebarkan ajaran Syekh Siti Jenar. Ia tidak tahu dimana letak kesalahan ajarannya karena berbeda pendapat menurutnya tidak ada yang bisa melarang. Sewaktu masih hidup,  Ayah Karebet sangat mendukungnya dalam soal penyebaran ajaran Syekh Siti Jenar. Dan setelah Ki Ageng Kenongo juga dihukum pihak keerajaan Demak sebagaimana Syekh Siti Jenar, ia merasa seperti sendirian dalam menyebarluaskan ajarannya.
     Ketika bertemu dengan Karebet harapannya muncul. Paling tidak ia mempunyai banyak tawaran yang bisa diterima Karebet. Perlawanan Karebet terhadap dirinya bukan dalam soal ajarannya tapi lebih kepada pembelaan kepada warga desa Pingit. Aryabajageni masih berharap banyak Karebet adalah penerus dari ajaran Syekh Siti Jenar. Makanya ketika serangan Karebet semakin gencar, ia segera berteriak mengguntur dan mengibaskan tangannya.
     Bukan sembarang kibasan tangan. Tapi kibasan tangan yang mengandung ilmu pukulan yang sangat besar. Buktinya Karebet yang sedang mengerahkan Ajian Serat Jiwanya dalam kondisi tertinggi, langsung terdorong mundur dan dadanya seperti jebol. Hanya dalam kedipan mata, Karebet mengaum keras seperti harimau lapar. Meskipun ia merasakan dadanya jebol dan badannya luluh lantak, ia masih dapat menguasai pikirannya. Sebenarnya ia ingin pura-pura terluka parah dan tidak bisa bangun, agar Aryabajageni terpuaskan tinggal menunggu serangan terakhir. Tapi nyatanya Aryabajageni tidak menyerang, jadi Karebet berubah pikiran dengan mengaum keras.
     Dengan segenap pengerahan ilmu yang pernah dipelajarinya, ia menyerbu dengan pekikan yang dahsyat, “Kau akan tahu aku tidak akan bersahabat denganmu.”
     Terjangan Karebet kali ini membuat Aryabajageni terkesiap. Ia melihat Karebet berubah dari aslinya. Pemuda itu sudah dikuasai sesuatu dan ia tahu ada sesuatu di badan pemuda itu. Auman itu menandakan ada kekuatan tersembunyi pada diri Karebet. Tapi ia belum tahu apa karena serangan Karebet benar-benar merepotkan. Hawa serangannya sangat berbeda dengan serangan awalnya.
     Karebet sendiri sesungguhnya sudah menyadari akan bahaya yang sedang mengancam dirinya. Ia sudah telanjur terbakar hangus oleh nafsu amarah. Dan ia begitu saja mengaum, merasakan ada dorongan kekuatan lain dari dalam dirinya.  Ia tidak peduli lagi dengan kesaktian Aryabajageni. Ia orang yang sedang berusaha mempertahankan kebenaran.
     Terjadi benturan hebat di udara.
     Tubuh Karebet dan Aryabajageni bertumbukan seperti dua ekor kambing saling seruduk kepala. Karebet memang terlempar lebih dulu dan lebih kencang ke belakang tapi ia bisa mendarat tanpa terjatuh. Sedangkan Aryabajageni terdorong pelan ke belakang tapi langsung jatuh telentang dan sepertinya terluka.
     Karebet melihat itu tidak percaya.
     Arayabajageni berdiri susah payah.
     Karebet bisa saja menyerang saat lelaki bermuka aneh itu berdiri, tapi ia sedang bingung apa yang terjadi dengan dirinya. Ia menjatuhkan lelaki sakti itu dengan mudah, sedangkan dirinya tidak terluka sedikitpun.
     “Apa yang ada dibalik ikat pinggangmu, Karebet?” teriak Aryabajageni bertanya.
     Karebet bingung dan meraba ikat pinggangnya.
“Aku tahu kemampuanmu tidak bisa mengatasi ilmuku. Tapi barang yang ada dibalik ikat pinggangmu itu, yang membuatmu kuat.”
     Karebet mengeluarkan barang dari ikat pinggangnya. Surat dari kulit binatang yang berasal dari Sunan Kalijaga. Dengan entengnya ia memperlihatkan barang itu.
“Hanya ini. Kulit.”
     “Darimana kau dapatkan kulit binatang itu?”
     “Itu bukan urusanmu. Sekarang apa kau masih mau bertahan didesa ini?”
     “Aku akan pergi dari desa ini setelah kau sebutkan darimana kau dapatkan kulit binatang itu.”
     “Aku tidak percaya omonganmu.”
     “Kau memegang janjiku, Karebet.”
     Karebet menatap lelaki bermua aneh itu. Lama. Lalu ia berkata, “Kulit ini sebenarnya sebuah surat. Yang memberikan Sunan Kalijaga.”
     “Aku sudah menduganya.” Aryabajageni teriak. “Tidak ada kekuatan ilmu apapun yang mampu menembus barang yang sudah disentuh Sunan Kalijaga.” 
Lalu begitu saja tubuh Aryabajageni lenyap.
     Karebet menoleh kanan kiri.
     Lalu terdengar suara Aryabajageni menggema, “Jangan kau kira aku kalah, Karebet. Aku akan terus hidup untuk menumbuhkan dendam di hatimu kepada para wali Demak. Hanya kau orang terakhir yang di takdirkan untuk menyebarluaskan ajaran guru besar Syekh Siti Jenar. Dan akulah penuntun hidupmu.”
     Lalu sepi.
     Suara angin jelas terdengar berdesir.
     Karebet tidak bereaksi apapun. Ia yakin Aryabajageni telah pergi jauh. Orang yang ilmunya menakjubkan, batinnya. Tapi ia masih saja di hinggapi keheranan dengan surat dari kulit binatang ditangannya. Benarkah sesuatu yang pernah disentuh Sunan Kalijaga memiliki kekuatan yang sangat hebat? Dengan cara apapun ia tidak percaya, karena ia tidak pernah bertemu Sunan Kalijaga. Tapi bukti didepannya, telah dikatakan oleh orang lain. Oleh orang yang ilmu kanuragannya sangat tinggi. 
     Karebet melangkah gontai dengan segenap pertanyaan yang semakin banyak memenuhi kepalanya. 
 (bersambung)

No comments: