KI Buyut Jayadi menghela nafas
berat, menatap Karebet yang duduk didepannya, lalu berkata, “Berat rasanya saya
harus mengatakan kalau penduduk desa Pingit sekarang sangat membutuhkan
bantuan, Raden.”
“Saya
paham, Paman.”
“Tapi kalau raden tidak
bersedia membantu kami, terpaksa kami akan mengirim utusan lagi ke Demak, untuk
meminta bantuan yang lebih besar.”
Dadung
Awuk menjawab lebih dahulu, “Berapapun prajurit yang dikirimkan, sia-sia saja,
Ki Buyut,” katanya berapi-api. “Yang dibutuhkan adalah orang yang mampu
mengalahkan Aryabajageni alias Syekh Siti Jenar palsu itu.” Dadung Awuk menoleh
ke Karebet. “Bukan begitu, Raden?”
“Ini
memang urusan kerajaan Demak,” sahut Karebet menatap Ki Buyut Jayadi. “Tapi
saya akan tetap berusaha membantu.”
“Alhamduillah.”
Suara Ki Buyut Jayadi gemetar.
“Tapi
tidak ada jaminan, saya mampu melawannya.”
“Jaminan
itu ada ditangan Allah, Raden.”
“Raden
pasti sanggup.” Dadung Awuk memberikan dukungan
“Aku
mau kau ikut.”
Dadung
Awuk melotot. “Ikut kemana?”
“Ke
bukit Siaul.”
“Saya
belum mau mati.”
“Kalau
belum waktunya mati, kau pasti hidup.”
“Apa
salahnya Dadung Awuk,” kata Jagabaya yang dari tadi diam. “Katanya kau ingin
jadi prajurit Demak.”
“Ini
setor nyawa namanya, Jagabaya,” sahut Dadung Awuk panik. “Lagipula saya kan
belum kawin.”
“Tapi
aku tetap ingin kamu ikut,” kata Karebet lagi.
“Oalah
Gusti, mimpi apa aku semalam.”
Ruangan
tertawa melihat Dadung Awuk seperti mau menangis.
Beberapa
saat kemudian, Karebet dan Dadung Awuk sudah berjalan menyusuri jalan setapak
diantara rimbunan pohon menuju bukit Siaul. Karebet lebih banyak diam. Tapi
rupanya Dadung Awuk orang yang tidak betah keadaannya kaku.
“Maaf
raden, boleh bertanya?”
“Mulai
kapan bertanya dilarang.”
“Jadi
benar kabar para pedagang kalau raden benar-benar mengalahkan buaya raksasa di
sungai padukuhan Karangsaga?”
“Kalau
kamu percaya.”
“Tentu
saja percaya, Raden.”
“Itu
perbuatan bodoh.”
“Tapi
kan jadi terkenal.”
“Kalau
hanya mau terkenal, banyak cara yang lebih enak.”
“Misalnya?”
“Rampok
saja pejabat kerajaan kalau lewat.”
“Itu
namanya cari mati dengan cara cepet.”
Jalan
setapak di hutan itu mulai menanjak. Dadung Awuk mulai kepayahan. Beban
perutnya yang besar membuatnya
lambat. Karebet seperti tidak merasakan beban apapun. Jangankan
melambat, keringatnya pun belum ada yang keluar. Dadung Awuk berhenti.
“Berhenti
sebentar, Raden.”
“Baru
juga separuh jalan.”
“Perasaan
jalannya bukan ini.”
“Ini
jalan pintas. Kita bisa lebih cepat sampai ke atas.”
“Darimana
Raden tahu?”
“Aku
pernah lewat jalan ini.”
“Kapan
Raden pergi dari rumah Ki Buyut?”
“Malam
sewaktu Senopati Ringkin memotong tangan maling murid pesantren Aryabajageni.”
“Jadi
Raden tidak pergi kencing kan?”
“Tidak.”
“Sialan.”
Dadung
Awuk harus akui, Karebet lain dari pemuda yang pernah di jumpainya. Apalagi
dibandingkan pemuda desa Pingit, Karebet jauh diatasnya. Diam-diam ia bangga
bisa akrab dengan Karebet. Bahkan lebih dari itu, ia ingin mengenal pemuda itu
lebih jauh. Ia ingin mempunyai kehebatan ilmu kanuragan seperti Karebet. Lebih
dari itu lagi, ia ingin terkenal. Tapi ia bingung darimana harus mulai. Ia
hanya anak desa yang tidak juga mempunyai ilmu kanuragan yang cukup.
Karebet
berhenti. Memberi isyarat diam. Ia mendengar gerakan halus di sekelilingnya.
Dadung Awuk tak sempat berkomentar ketika tiba-tiba beberapa panah mengarah
kepada mereka. Panah-panah itu datang cepat sekali dari pepohonan. Karebet
sudah bisa mengetahuinya lebih dahulu. Ia bergerak ke samping dan menyapu semua
panah-panah yang datang kepadanya itu. Dadung Awuk berlindung di belakang tubuh
Karebet sambil melotot.
Dadung
Awuk jelas takut tapi ia sedang tidak percaya bagaimana Karebet dengan mudahnya
menghindari panah-panah yang meluncur kencang ke arahnya itu. Seperti menghalau
burung layaknya. Bagi dirinya itu mustahil. Melihat kecepatan panahnya saja ia
panik, selebihnya pasrah karena pasti ia habis terkena panah itu kalau kena di
badannya. Tapi betapa Karebet menyambut panah-panah itu dengan semangatnya.
“Berlindung
ke balik pohon, Dadung!” bentak Karebet.
Dadung
Awuk lari ke sebuah pohon dan
sebuah panah meluncur lurus ke arahnya. Begitu Dadung Awuk tiba di sebuah pohon
dan belum sempat bersembunyi, panah itu terus mengincarnya seperti punya mata.
Begitu berbalik, panah itu nyaris menembus mukanya. Hanya beberapa jari
jaraknya sebelum panah itu menembus pipinya yang tembem. Tangan Karebet sudah
menangkap panah itu.
Benar-benar
ditangkap seolah panah itu barang tidak bergerak.
Dadung
Awuk tak bernafas sejenak.
Karebet
tidak punya waktu lagi untuk bernafas lega karena beberapa lelaki berseragam
merah sudah turun dari pohon dan keluar dari semak. Mereka mengepung rapat
tempat yang sempit itu. Mereka bersenjata tajam lengkap. Karebet jalan ke
tengah tanah datar dan membiarkan Dadung Awuk. Ia melihat beberapa lelaki
berseragam itu siap untuk membunuhnya. Dengan cara apapun. Rupanya mereka dilatih untuk patuh kepada
perintah pimpinannya.
“Rupanya
kalian tidak belajar agama di pesantren, tapi belajar jadi pembunuh.”
Mereka
menjawab dengan tatapan tajam. Karebet tahu tidak butuh jawaban mereka karena
mereka hanya tahu membunuh. Gerakan mereka rapi saat menyerang Karebet.
Jurus-jurusnya lumayan bagus. Mereka memang dipersiapkan untuk jadi mesin
pembunuh. Dari semua serangan mereka, Karebet bisa mengimbanginya. Bahkan bisa
menebak serangan-serangan mereka selanjutnya.
Sebelum
Karebet mengerahkan semua kemampuannya, beberapa lelaki berseragam merah itu
mulai lemah pertahanannya. Dan sebelum mereka benar-benar jatuh oleh serangan
Karebet, mereka mundur dengan rapi dan membuat barisan layaknya menyambut tamu.
Karebet
tegang.
Dadung
Awuk menahan nafas.
Beberapa
lelaki berseragam merah itu membungkuk ke arah Karebet. Memberi hormat.
“Raden
sudah ditunggu guru kami.” Salah satu lelaki itu berkata.
Dadung
Awuk memanjangkan kepala dan berteriak, “Awas jebakan, Raden!”
“Raden
memang sudah ditunggu guru kami, Kanjeng Pangeran Aryabajageni.” Lelaki itu
berbalik dan memberi kode ke teman-temannya dan kemudian mereka pergi begitu
saja. Lari ke dalam semak dan menuju atas bukit.
Dadung
Awuk keluar dari balik pohon. Ia tidak percaya yang baru saja dilihatnya. “Aneh
sekali mereka, Raden.”
“Sepertinya
kedatanganku memang sudah ditunggu.”
“Kalau
jebakan bagaimana?”
“Kalau
ini jebakan, kita mungkin sudah diserbu mereka habis-habisan. Bukan hanya
dengan beberapa orang.”
Karebet
mulai jalan.
“Jadi
Raden mau ke pesantren itu?”
“Bukankah
tujuan kita kesana?”
“Bukan
kita, tapi Raden sendiri. Saya kepingin pulang saja.”
“Kalau
kamu pulang sendiri, malah bisa di bunuh mereka.”
Dadung
Awuk ketakutan dan jalan lebih cepat dari Karebet. “Edan. Saya bisa gila
beneran ini.”
Karebet
ingin sekali cepat sampai diatas bukit. Rasa penasarannya makin menjadi. Ia
sudah ditunggu. Berarti semua gerak geriknya telah diketahui. Aryabajageni
sudah mengetahui kalau ia hendak mendatanginya. Betapa hebatnya. Ia sudah kalah
satu langkah di depan orang yang belum pernah di jumpainya ini.
Lebih cepat bertemu lebih baik.
Ia
memang menginginkannya.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment