DI tengah jalan desa yang gelap,
lima orang perampok sedang bertarung melawan Senopati Ringkin. Lima perampok
itu semuanya bertopeng hitam. Tapi baju mereka bisa dikenali dengan mudah kalau
mereka adalah murid pesantren Aryabajageni. Beberapa penduduk desa sudah berada
di sekeliling jalan. Mereka terus berdatangan membawa obor dan senjata tajam
ditangan. Jagabaya kelihatan sudah mengatur beberapa pemuda terlatih di sekitar
arena pertarungan. Dadung Awuk datang dengan tergesa-gesa.
“Apa
yang mereka curi, Ki Jagabaya?” tanya Dadung Awuk.
“Bahan
makanan di lumbung padi.”
“Lho,
mereka memakai seragam merah-merah.”
“Mereka
memang murid pesantren Aryabajageni.”
“Edan,
ada murid pesantren di suruh jadi maling.”
Senopati
Ringkin mudah sekali mengalahkan kelima maling berseragam merah itu. Bukan
tandingan Seorang senopati kerajaan. Saat ia hendak meringkus mereka, salah
satu dari mereka melemparkan senjata rahasia ke arah Senopati Ringkin. Senjata
rahasia itu meledak menimbulkan asap putih tebal. Tapi sebelum kelima maling
itu melarikan diri, Senopati Ringkin bergerak cepat meraih salah satu tangan
dari kelima orang itu. Secepat itu
dibantingnya lelaki berbaju merah itu dan diinjak dadanya.
“Kanjeng
Senopati,” teriak Jagabaya mencegah, “Sebaiknya orang ini dihadapkan kepada Ki
Buyut.”
“Aku
ingin bertanya dulu!” Senopati Ringkin tidak peduli. “Hei, kau murid pesantren
Aryabajageni?”
Maling
itu tidak menjawab.
“Jawab
atau dibakar hidup-hidup kamu.” Dadung Awuk mengancam.
Maling
itu tetap tidak menjawab.
“Baiklah,
aku tidak peduli lagi kau murid pesantren sesat itu atau bukan. Aku ingin kau
bilang kepada Aryabajageni, aku Senopati Ringkin, besok siang akan datang ke
pesantren kalian!” Senopati Ringkin mencabut kerisnya. “Karena kau telah
mencuri, maka hukumannya tangan harus dipotong.”
Kejadiannya
berlangsung sangat cepat. Tidak ada yang menduganya. Tahu-tahu tangan kanan
maling itu putus sebatas bahu. Darah segar menyembur. Maling itu teriak
melolong, lantas berlari kesetanan ke arah kegelapan. Semua mata penduduk masih
melotot dengan kejadian yang bagi mereka sadis itu. Jagabaya yang tinggi besar
tidak bisa juga menyembunyikan kengeriannya. Dadung Awuk seperti mau muntah.
“Sinting,”
bisik Dadung Awuk di telinga Jagabaya.
Senopati
Ringkin sudah berjalan santai meninggalkan tempat itu. Ia memang sengaja
melakukannya. Sejak kedatangan Karebet, ia hampir dianggap sebagai orang kedua.
Padahal saat ia datang pertama kali, ia disambut seperti seorang pahlawan.
Pemuda itu sanggup merebut perhatian penduduk desa dengan aksinya melawan
dirinya. Ia akui Karebet hebat, tapi ia tidak bisa membiarkan anak kampung itu
merebut perhatian penduduk.
Orang
kampung segan dengan orang kalau sudah melihat bukti kehebatannya. Dan ia perlu
mempertahankan kepopulerannya dimata penduduk. Maling itu menjadi sasaran
empuk. Bukan hanya bukti ia hebat tetap juga ia orang yang tidak pernah
main-main didepan musuh. Sementara Karebet tidak menampakkan batang hidungnya
sama sekali.
Senopati
Ringkin tertawa dalam hati.
Dadung Awuk langsung
tidak menyukai Senopati Ringkin. Ia barangkali orang yang pertama kali kagum
menyambutnya ketika datang. Ia bisa dekat dan ngobrol akrab. Tapi melihat
kesadisannya yang baru saja ia lihat, kekagumamnya hilang. Baginya jabatan
tinggi bukan berarti lantas bisa berbuat melampuai batas, meskipun kepada
musuhnya. Apalagi kepada musuh yang sudah tidak berdaya.
Dadung Awuk sudah
mengetok pintu kamar Karebet tapi terus saja menerobos masuk. Ia tidak bisa menahan diri untuk segera
mengatakan apa yang baru saja dilakukan Senopati Ringkin. Ia mencari Karebet
diantara kerumunan penduduk dan ia menduga Karebet ketiduran. Tapi kamar itu kosong.
Belum sempat ia teriak memanggil, dari jendela masuk Karebet. Enak saja Karebet
masuk dan kembali menutup jendela.
“Raden
darimana?”
“Kencing.”
“Kenapa
lewat jendela?”
“Lebih
cepat saja.”
“Kan
ada pintu?”
“Kalau
lewat pintu masih harus belok sana sini, keburu kencing di celana.” Karebet rebahan
di atas dipan bambu. “Kenapa ada di kamarku? Mau tidur denganku?”
“Bukan,”
jawab Dadung Awuk buru-buru. “Saya hanya mau memberitahu, Senopati Ringkin baru
saja memotong tangan maling itu.”
“Terus?”
“Raden
benar tadi tidak menyusul ya?”
“Tidak.”
“Saya
hanya kaget, ternyata seorang Senopati begitu kejam.”
“Beliau
kan mengemban tugas khusus. Apapun dilakukannya agar tugasnya berhasil.”
“Termasuk
memotong tangan? Meskipun orangnya sudah menyerah?”
“Kalau
perlu memotong lehernya.”
“Ah,
raden malah lebih gila.” Dadung memegang lehernya sendiri.
“Masih
mau tidur disini?”
“Tidak,
tidak mungkin. Saya masih sayang leher saya.” Dadung Awuk kabur keluar.
Karebet
tertawa. Ia sebenarnya kaget juga mendengar cara Senopati Ringkin menyelesaikan
masalahnya. Soal kekerasan sudah sering ia melihatnya, bahkan sering terlibat
didalamnya. Untuk ukuran dirinya ia bisa memahaminya. Tapi yang dilakukan
Senopati Ringkin ditengah penduduk yang merupakan orang-orang desa yang tidak
akrab dengan kekerasan, bisa menjadi hal yang mengerikan. Meskipun ia yakin
Senopati Demak itu mempunyai alasan sendiri melakukan tindakan itu.
Lawan
yang sedang dihadapinya masih misterius.
Karebet sudah
membuktikan sendiri. Sewaktu sebagian penduduk mengurusi maling itu, ia naik ke
kaki bukit Siaul. Saat sampai di kaki bukit, ia terpaksa berhenti. Ia sudah
merasakan kekuatan gaib yang mengelilingi bukit itu. Ia bisa saja memaksa naik
ke pesantren itu. Tapi tiba-tiba ia disergap rasa takut.
Sudah banyak tempat
angker ia datangi. Banyak tempat sepi ia singgahi untuk bertapa. Tapi di kaki
bukit Siaul, ia merasakan ketakutan. Entah kekuatan apa yang ada di atas bukit
sana. Orang itu pasti memiliki ilmu kanuragan yang tinggi sekali. Apa yang
diinginkan orang itu di daerah ini? Segenap pertanyaan terus menyerbu
kepalanya. Sebelum benar-benar
dihinggapi berbagai pertanyaan yang lebih aneh, ia segera kembali ke desa.
Besok
paginya, Senopati Ringkin benar-benar pamit untuk menuju pesantren di bukit
Siaul itu. Semua mengantarnya di halaman kelurahan. Termasuk Karebet.
“Pertimbangkanlah
untuk membawa bala bantuan, Kanjeng Senopati,” pinta Ki Buyut Jayadi dengan
sungguh-sungguh.
“Saya
tidak mau ada korban lagi, Ki Buyut,” jawab Senopati Ringkin tegas. “Doakan
saya bisa menyelesaikan masalah ini.”
“Saya
yakin Kanjeng Senopati mampu
melenyapkan durjana ini,” kata Jagabaya berharap.
Senopati
Ringkin menatap Karebet. Seperti ada yang hendak dikatakannya. Tapi Karebet
yang lebih dahulu mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Dengan sikap yang
sangat hormat.
“Saya
minta maaf karena saya lancang berani melawan Kanjeng Senopati ketika pertama
kali datang disini.” Karebet berkata dengan sungguh-sungguh. “Semoga berhasil,
Kanjeng Senopati.”
Senopati
Ringkin tersenyum. Genggaman tangannya cukup memberikan jawaban lebih dari
sekedar kalimat. Melihat ketulusan Karebet, ia merasa telah salah menjadikan
pemuda itu saingannya merebut perhatian banyak orang. Ia punya kedudukan, punya
jabatan tinggi. Dibanding Karebet, ia jauh lebih beruntung. Tapi betapa ia melihat
Karebet sangat tulus
menghormatinya.
“Berjanjilah
jangan pergi dari desa ini sebelum saya kembali.”
“Saya
berjanji, Kanjeng Senopati,” jawab Karebet mantap.
Ki
Buyut Jayadi terharu.
Bukit
Siaul masih diselimuti keheningan yang panjang. Para penduduk sering mencari
kayu bakar dan berburu disana. Disana juga digunakan untuk bercocok tanam
singkong dan palawija. Bukit itu telah memberikan mereka kehidupan yang lebih
baik buat penduduk desa Pingit. Tapi setelah berdirinya pesantren pimpinan
Aryabajageni, semuanya menjadi berubah.
Pada
mulanya penduduk senang. Pesantren adalah tempat menimba ilmu agama. Tempat
orang-orang yang dekat dengan Allah. Tapi pesantren di bukit Siaul itu lain.
Mereka tidak suka guru ngaji di desa. Mereka sengaja membuat permusuhan. Mereka
berusaha menyebarkan ajaran yang berbeda dengan ajaran islam yang diterima
penduduk. Sampai pembunuhan guru ngaji terus berulangkali, akhirnya penduduk
membuat garis batas bahwa mereka harus memerangi orang-orang di pesantren bukit
Siaul itu.
Senopati
Ringkin sampai di kaki bukit. Langkahnya terhenti dengan munculnya beberapa
lelaki berseragam merah. Mereka mengepungnya.
“Aku tidak berurusan
dengan kalian,” bentak Senopati Ringkin. “Aku menginginkan guru kalian. Suruh
keluar menemui utusan khusus Sultan Trenggono dari Demak!”
Tapi
mereka tidak peduli. Salah satu dari mereka bersiul dan bermunculan lagi lelaki
berseragam mereh. Jumlah mereka sekitar duapuluh orang sekarang. Mengepung
rapat dengan membuat pertahanan berlapis. Mereka tahu yang dihadapi kekuatannya
tidak bisa dianggap enteng.
Senopati
Ringkin merapal ilmunya. Saat belum selesai, ia telah diserang duapuluh lelaki
berseragam merah itu. Kekuatan mereka hebat tapi ia sudah pernah bertarung
dengan mereka sebelumnya. Ia bisa tahu tata gerak mereka masih lemah. Kelihatan
belum lama belajar ilmu kanuragan. Meskipun begitu, pertahanan duapuluh orang
ini kuat. Tapi tetap tidak sekuat pertahanan prajuritnya.
Ia
biasa berlatih ilmu kanuragan dengan para prajuritnya. Dikeroyok lebih dari
duapuluh orang sudah sangat biasa. Jadi menghadapi duapuluh lelaki berseragam
merah dengan ilmu kanuragan biasa, menjadi mudah baginya. Tapi aneh. Meskipun
ia mudah menjatuhkan mereka, tapi kekuatan mereka luar biasa. Seperti orang
yang tidak bisa terluka. Itu akan menguras tenaganya. Sebelum ia dipaksa terus
menerus bertarung, ia mencabut kerisnya.
Keris
itu ia tancapkan di tanah. Kejadian berikutnya tidak bisa diikuti dengan mata
biasa. Duapuluh lelaki berseragam merah itu terlempar ke segala arah seperti
daun kering yang ditiup angin. Keris itu mengeluarkan kekuatan yang mengerikan.
Duapuluh lelaki berseragam merah itu tidak bangun lagi. Ia segera memasukkan
lagi kerisnya ke dalam sarungnya.
Tapi sebelum
benar-benar beranjak, sebuah tiupan angin besar datang dari arah atas bukit,
disusul sebuah suara yang berat.
“Jangan
membusungkan dada dulu, Senopati Demak!!!”
Suara
itu berat dan seolah berada dekat sekali. Tapi nyatanya tidak ada siapapun di
depan Senopati Ringkin. Kekuatan tenaga dalam yang sangat hebat. Sebelum sadar
benar apa yang akan terjadi, dari atas bukit meluncur sebuah bongkahan batu
yang sangat besar. Benar-benar sebuah batu yang sepertinya baru diangkat dari
dasar bumi.
Secepat
luncuran batu besar itu ke arahnya, Senopati Ringkin mengerahkan kekuatannya
dan mengumpulan di tangannya. Begitu batu besar itu berjarak hanya sepuluh
langkah didepannya, ia keluarkan kekuatannya lewat tangannya. Seperti ada angin
besar yang keluar dari tangannya, meluncur menyambut batu besar itu. Ledakan besar
terjadi. Senopati Ringkin menutup mukanya menghindari pecahan batu besar itu.
“Turun
dan hadapilah aku sebagai laki-laki!!!” teriak Senopati Ringkin menantang.
“Rajamu
terlalu menyepelakan aku dengan mengirim orang bodoh sepertimu!”
“Kau
terlalu penting untuk diurusi Rajaku, durjana!” Senopati Ringkin mencabut
kerisnya lagi. “Hadapi aku saja kau tidak punya nyali.”
Keris
itu kembali ditancapkan ke dalam tanah. Tidak ada sesuatu yang terjadi. Tapi
Senopati Ringkin menunggu kekuatan keris itu memaksa musuhnya untuk memunculkan
diri didepannya. Sebuah bayangan
merah meluncur dari atas bukit, tapi hanya sesaat. Lalu lenyap. Yang tidak
diduga adalah tiba-tiba bayangan merah itu sudah didepan Senopati Ringkin.
Berdiri seorang lelaki
berjubah merah dengan muka tirus bercambang. Matanya tajam menikam. Wajahnya
menyimpan beban rahasia yang busuk. Kalau orang desa bertemu dengannya, bisa
langsung pingsan.
Senopati
Ringkin mundur beberapa langkah terdorong angin yang datang bersamaan munculnya
lelaki bernama Aryabajageni itu. Sesaat ia gemetar. Lelaki tinggi kurus itu
benar-benar membuat nyalinya ciut. Bukan hanya karena orangnya memang
menakutkan, tapi kekuatan ilmunya sudah bisa dirasakan kehebatannya. Tapi ia
adalah seorang Senopati kerajaan Demak. Menghadapi musuh adalah makanannya
sejak masih jadi prajurit.
“Aku
diberi wewenang untuk membawamu ke Demak dengan baik-baik. Tapi kalau kau
menolak, aku diberi kekuasaan untuk memaksamu.”
“Kenapa
orang kecil seperti aku masih harus diurusi?”
“Kau
mengajarkan ajaran sesat seperti gurumu Syekh Siti Jenar.”
“Akulah
Syekh Siti Jenar.!”
“Dasar
orang keblinger!”
“Kau
dan seluruh orang di Istana Demak tidak punya hak melarangku menyebarkan
ajaranku. Ini bumi bukan kepunyaan Rajamu. Sebaiknya kau pulang sebelum aku
tiup jadi debu!”
Ubun-ubun
Senopati Ringkin menguap. Belum pernah ada orang yang menghina Rajanya dengan
begitu rendahnya. Ia menerjang lelaki itu. Tapi pukulannya seperti membentur
ruang kosong. Yang tidak ia duga lagi, ia langsung melayang terlempar dan
menghantam sebuah pohon. Ia tidak punya kesiapan untuk dilawan sedemikian
cepatnya. Dari sudut mulutnya mengalir darah segar. Buru-buru ia berdiri lagi.
Aryabajageni
menyunggingkan senyum pahit di sudut bibirnya. “Kau sudah membuatku turun, jadi
aku harus membunuhmu sebagai pelampiasanku.”
Bersamaan
selesai kalimatnya, tangan Aryabajageni bergerak membuat gerakan membuka di
dada. Itu yang jadi perhatian Senopati Ringkin. Tapi gerakan selanjutnya tak
bisa ia antisipasi. Kedua tangan Aryabajageni terjulur, seperti memanjang dan
menghajar dada Senopati Ringkin. Seharusnya tubuh Senopati Ringkin terlempar
karena terkena dorongan. Apalagi dari kekuatan ilmu kanuragan yang tinggi.
Tapi
tubuh Senopati Ringkin tetap berdiri tegak.
Aryabajageni
tersenyum sinis sambil menjejakkan kakinya ditanah sekali dan tubuhnya lenyap
begitu saja. Bersamaan lenyapnya Aryabajageni, tubuh Senopati Ringkin tersedot
ke atas, seperti batu yang dilemparkan ke udara.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment