Padukuhan Pingit tenggelam dalam
kegelapan yang sunyi. Rembulan nyaris tidak menampakan diri. Seorang lelaki
yang baru turun dari mushola di sergap ketakutan. Di depannya berdiri sosok
yang membuatnya harus berlari dan sambil berteriak minta tolong. Tapi mushola
itu jauh dari rumah penduduk. Ia terus berlari dengan ketakutan. Makhluk itu
mungkin sejenis siluman. Tapi ia tidak yakin juga karena ia tidak pernah tahu
wujud siluman sebenarnya. Ia tidak lagi sempat berpikir banyak karena kemudian
kakinya tersandung. Saat ia berbalik ke belakang, sebuah sosok besar bulat
mirip cacing, yang baru pernah dilihatnya seumur hidupnya menerkamnya. Di malam
sunyi itu, hanya terdengar lolongan laki-laki itu meregang nyawa.
Besok paginya di
pendopo pedukuhan Pingit, sudah berkumpul semua tetua pedukuhan dan seorang
tamu agung dari kerajaan Demak bernama Senopati Ringkin. Pemimpin pedukuhan
Pingit itu adalah seorang lelaki tua yang biasa dipanggil Ki Buyut Jayadi. Saat
berlangsung pertemuan, datang Jagabaya dan seorang pemuda berbadan gempal
bernama Dadung Awuk.
“Lukanya persis dengan
yang sudah-sudah, Ki Buyut,” Jagabaya melaporkan. “Ini korban ke tujuh.”
“Apakah korbannya masih
penduduk pedukuhan Pingit ini?” Senopati Ringkin bertanya.
“Betul, kanjeng
Senopati. Namanya Amrozi, guru ngaji,” sahut Dadung Awuk sambil menyambar sadak yang ada di didepannya.
Sadak
adalah kinang yang sudah digulung dengan tali. “Kenapa tidak langsung kanjeng
senopati datangi saja sarang Syekh Arya Bajageni yang mengaku penjelmaan Syekh
Siti Jenar. Katanya sudah mendapat wewenang dari kanjeng Sultan Demak.”
“Jaga sopan santumu,
Dadung Awuk!” Ki Buyut Jayadi membentak keras.
“Tidak apa, Ki Buyut,”
Senopati Ringkin menyahut dan melihat Dadung Awuk. “Dadung Awuk, kau yakin yang
melakukan pembunuhan itu Syekh Arya Bajageni yang mengaku sebagai penjelmaan
Syekh Siti Jenar?”
“Dari luka dan matinya
korban, semuanya sama. Tidak ada lagi selain dia , Kanjeng Senopati.”
“Kau tahu siapa Syekh
Siti Jenar?”
“Memangnya dia orang
terkenal?”
Ki Buyut dan beberapa
orang tua menggelengkan kepala sebagai tanda kekesalan atas kebodohan Dadung
Awuk. Bagi ki Buyut Jayadi dan orang-orang tua seusianya, nama Syekh Siti Jenar
sangat dikenal. Sama terkenalnya dengan nama Sunan Kalijaga dan beberapa nama
Wali Agung keraton Demak Bintoro. Sedangkan Dadung Awuk hanya seorang pemuda
pedukuhan yang berbadan gempal, yang mempunyai kesukaan memakan sadak dan nyaris tidak pernah pergi kemana-mana.
Pengetahuannya terbatas dan dunianya sempit.
“Bukan hanya terkenal,”
jawab Senopati Ringkin, “Syekh Siti Jenar yang asli adalah seorang wali.”
“Jadi yang ini palsu?”
“Pasti palsu karena
yang asli sudah meninggal.”
Dadung Awuk melotot.
“Buset. Bangkit dari kubur?”
“Artinya ini pasti
orang lain dan hanya mengaku-aku sebagai jelmaan Syekh Siti Jenar.”
Saat itu masuklah
seorang pemuda desa dengan tergesa. “Ki Buyut, ada seorang pemuda mencurigakan
masuk desa!” teriaknya.
“Kalian
sudah tahan dia di pos jaga?” Jagabaya bertanya.
“Pemuda
ini melawan, Ki Jagabaya.”
“Oh
hebat betul. Biar ini urusan Dadung Awuk.” Dadung Awuk berdiri sok jago. “Ki
Jagabaya, biar Dadung yang urus. Duduk saja tenang disini.”
Dadung Awuk pergi
dengan membusungkan dadanya. Seolah ia orang yang paling bertanggun jawab akan
keamanan pedukuhan. Ki buyut Jayadi dan tetua pedukuhan sudah paham tingkah
laku Dadung Awuk itu. Tapi tidak dengan Senopati Ringkin.
“Siapa pemuda itu, Ki
Buyut?”
“Namanya
Dadung Awuk. Dia itu punya angan-angan tinggi. Ingin menjadi prajurit Demak,
kanjeng Senopati.”
“Saya
suka semangatnya….”
Di
pos jaga pedukuhan, beberapa pemuda pedukuhan akhirnya bertarung melawan Karebet
yang tidak mau ditangkap dan dibawa ke pendopo pedukuhan. Karebet merasa ia
hanya numpang lewat sambil cari warung makan karena perutnya belum juga diisi
sejak pagi meninggalkan tepi hutan tempatnya menginap. Sejak meninggalkan
pedukuhan Karangsaga, ia memilih jalan hutan karena tidak mau di ketahui
penduduk penduduk karangsaga yang ia yakin akan mencari dan mengejarnya untuk
di ajak ke menghadap lurahnya. Ia juga tidak memilih bermalam di keramaian
supaya bisa lebih tenang tidur mengistirahatkan badannya yang capek luar biasa
setelah bertarung melawan buaya sungai. Sejak meninggalkan hutan tempatnya
tidur, pedukuhan pertama yang ia jumpai adalah pedukuhan Pingit.
Para
pemuda pedukuhan itu mendapatkan lawan yang tangguh. Karebet memperlihatkan
kegesitannya yang luar biasa. Kecepatan gerakannya dan pukulannya. Para pemuda
pedukuhan tidak ada yang berhasil menyentuhnya sekalipun. Bahkan sudah banyak
yang menyerah dan mundur. Saat
itulah datang Dadung Awuk yang
langsung kaget melihat teman-temannya bergeletakan seperti habis dilempar angin
puyuh.
“Buset,
kalian pada kenapa? Habis mabuk ya?” Dadung Awuk lalu melihat Karebet.
“Sampeyan yang mengalahkan mereka ya?”
“Maaf, saya cuma
numpang lewat disini.”
Dadung
Awuk nyengir dan cengengesan. “Sampeyan hebat. Belajar dimana ilmu silatnya?”
“Kang
Dadung, lawan dia kalau berani.” Seorang pemuda berteriak.
“Diam.
Kalau mau lawan orang pakai otak dong. Lihat baik-baik.” Dadung Awuk masih
nyengir ke Karebet. “Maaf ya mereka, biasa darah muda. Ngomong-ngomong darimana
mau kemana?”
“Saya
cuma mau pulang.”
“Memangnya
rumah sampeyan dimana?”
“Tingkir.”
“Ooo
desa Tingkir…”
“Kang
Dadung, kenapa malah ngobrol. Ringkus dia,” teriak salah satu pemuda kesal.
“Memangnya
maling di ringkus,” Dadung Awuk balas teriak. “Sekali lagi maaf ya, mereka
tidak tahu sopan santun.”
Dadung
Awuk jadi kagum melihat Karebet yang begitu tenang. Ia tahu teman-temannya
adalah orang yang hampir tiap malam berlatih jurus-jurus silat. Bahkan ada
beberapa diantaranya sudah memiliki ilmu kanuragan cukup tinggi untuk ukuran di
pedukuhan Pingit. Tapi menghadapi Karebet, mereka sepertinya tidak memiliki
ilmu apapun. Dadung Awuk jelas jadi penasaran. Meskipun ia lebih banyak
cengengesan, ia bisa bertindak tegas.
“Tapi
maaf lagi ya, aku harus tahu seberapa hebat sebenarnya kamu. Semua
teman-temanku kau bikin kayak layangan. Tersinggung aku.”
“Maju
saja kalau kau berani.”
Dadung
Awuk naik juga darahnya. “Belum tahu Dadung Awuk. Jagoan dari Pingit. ” Lalu ia
memperagakan jurus-jurus.
Karebet
masih melihat pemuda bertubuh gempal itu. Ia tahu pemuda itu tidak mau
kehilangan muka didepan teman-temannya. Tapi ia kaget begitu Dadung Awuk
menyerangnya. Tenaganya kuat sekali. Jurusnya aneh. Seruduk sana-sini persis
kerbau. Karebet membiarkan Dadung Awuk untuk memperlihatkan kehebatannya.
Bahkan sampai pemuda itu habis jurus-jurus yang dimilikinya. Dan sejauh itu
tidak satupun pukulan yang mengenai Karebet.
Dadung
Awuk ngos-ngosan berdiri menatap Karebet. “Sampeyan berguru dimana sih?”
“Hanya
itu kemampuanmu?”
“Jangan
ngeledek. Aku belum makan tahu.”
Karebet
mengulum senyum. Tapi senyumnya lenyap ketika mendadak muncul melayang, seperti
terbang Senopati Ringkin dan berdiri didepan Karebet.
“Jangan
sok jago, anak muda.”
Begitu
perkataannya berhenti, Senopati Ringkin langsung menyerang Karebet. Gerakannya
cepat dan berisi. Pukulannya mengandung angin yang kuat untuk merobohkan
lawannya. Karebet harus terus menghindar untuk mengetahui kemampuan lawannya.
Ia tahu gerakan lelaki berbaju bagus itu bukan jurus yang biasa digunakan di
dunia persilatan atau yang diajarkan di perguruan silat. Tata geraknya halus
dan indah, seperti menari, tapi berisi. Ia menduga ilmu tata gerak itu adalah
dari orang-orang yang belajar dibalik tembok istana kerajaan.
Senopati
Ringkin bukan tidak tahu Karebet sedang mengukur kemampuannya. Sebagai orang
yang mempunyai derajat dan kedudukan tinggi, ia merasa bukan tandingan anak
pedukuhan seperti anak muda didepannya itu. Ia ingin menunjukkan kelasnya
sebagai orang yang lebih tinggi
dibanding anak pedukuhan biasa. Makanya ia mempercepat serangannya. Tidak perlu
mengeluarkan ilmu kanuragan yang lebih tinggi lagi.
Tapi ia lagi-lagi
kecewa.
Karebet
bisa mengimbangi gerakannya meskipun telah dipercepat. Bahkan Karebet mempercepat
serangannya juga. Tahu-tahu kemudian Senopati Ringkin mundur, sepertinya kena
pukulan Karebet. Muka Senopati Ringkin memerah dan menjadi marah. Ia akui
Karebet kuat dan bisa mengimbangi ilmunya. Tapi ia adalah orang berpendidikan
tinggi dan mempunyai kedudukan tinggi. Ia terhina kalau kalah. Ia langsung
mencabut kerisnya.
Tapi
di ujung jalan muncul Ki Buyut Jayadi dan berteriak, “Tunggu , Kanjeng
Senopati!”
Semua
orang menoleh ke arah datangnya Ki Buyut Jayadi yang di dampingi Jagayaba. Tapi
sebelum Ki Buyut Jayadi benar-benar sampai di dekat keramaian itu, Senopati
Ringkin sudah melanjutkan kemarahannya yang ditujukan kepada Ki Buyut.
“Apa
hak Ki Buyut melarang saya menghajar pengacau pedukuhan ini. Jangan-jangan
pemuda ini anak buah Syekh Siti Jenar palsu itu.”
“Ijinkan
saya bertanya lebih dulu, Kanjeng Senopati,” Ki Buyut Jayadi nampak tenang,
lalu menatap dalam ke arah Karebet. Ingatan tuanya kembali ke beberapa tahun
sebelumnya. “Anakmas ini berasal darimana?”
“Saya dari desa
Tingkir.”
“Apa
anakmas ada hubungannya dengan Nyai Ageng Tingkir?”
“Beliau
Ibu saya.”
“Ya
Allah….” Ki Buyut Jayadi hampir berteriak dan semua orang menatap Ki Buyut
dengan heran. “Anakmas yang bernama Jaka Tingkir?”
“Betul,
Ki Buyut.”
“Jaka
Tingkir?” Dadung Awuk berteriak.
Semua
orang dilanda kekagetan. Ki Buyut Jayadi hampir berteriak karena mengenal baik
pemuda itu pada masa beberapa tahu yang lalu, saat ia belum berada di desa
Pingit ini. Sementara Dadung Awuk berteriak dan orang-orang kaget karena nama
Jaka Tingkir sedang terkenal, setelah tersebar kabar pemuda itu mengalahkan
buaya sungai di desa Karangsaga sehari sebelumnya.
Dadung Awuk yang paling
bersemangat dan menerobos ke depan.
“Kenapa tidak bilang
dari tadi kalau sampeyan ini Jaka Tingkir?”
Karebet
menjadi bingung.
“Sampeyan
benar mengalahkan buaya raksasa di sungai Karangsaga?”
Karebet
jadi paham.
“Maaf
Kanjeng Senopati,” Ki Buyut Jayadi berkata dengan cepat. “Anakmas Jaka Tingkir
ini saya kenal dengan baik.”
Senopati
Ringkin tidak bereaksi sedikitpun.
“Jangan
sok kenal, Ki Buyut.” Dadung Awuk tidak terima Ki Buyut mengaku-aku.
“Silahkan
anakmas ke pendopo.” Ki Buyut Jayadi memberi jalan kepada Karebet.
Karebet
berjalan lebih dulu karena semua mata menatapnya dengan terus menerus. Lama
kelamaan ia merasa tidak nyaman. Tapi ternyata para pemuda pedukuhan itu ikut
berjalan di belakang Ki Buyut Jayadi.
“Lho
kalian ini pada mau kemana?” Dadung Awuk menghardik. “Ini sudah urusan tingkat
atas. Kalian tetap pada jaga disini.”
Para
pemuda itu langsung menyoraki Dadung Awuk.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment