Wednesday, December 12, 2012

MAS KAREBET (7)


BAB 7



KAREBET melihat di kejauhan bukit Siaul, tempat dimana pesantren Aryabajageni didirikan. Hanya pepohonan hijau yang kelihatan. Deguban jantungnya merasakan getaran gaib yang kuat dari arah bukit itu. Entah kekuatan apa yang menguasai bukit itu. Ada gerakan halus dibelakangnya. Hampir tidak didengarnya. Tapi hembusan anginnya sudah berbeda. Tangannya bergerak cepat dan menangkap leher seseorang.
     “Aduh biyung, ini saya raden, Dadung Awuk!”
     Karebet melepaskan tangannya. Dilihatnya pemuda bertubuh gempal itu memegangi lehernya yang sakit. Wajahnya masih menyisakan rasa takut.
     “Maaf, raden.”
     “Kamu suka menggangu orang rupanya.”
     “Tergantung orangnya. Kalau orang sehebat raden, apa salahnya.”
     “Kamu kira aku orang baik?”
     “Saya hanya tahu raden orang terkenal karena kehebatan raden.”
     “Jangan semua yang kamu dengar kamu percaya.”
     “Tadinya saya tidak percaya raden bisa mengalahkan buaya raksasa. Tapi sewaktu melawan Senopati Ringkin, saya jadi percaya.”
     “Siapa bilang saya menang.”
     “Meski tidak diumumkan, semua orang tahu sebenarnya raden lebih hebat daripada Senopati Ringkin.”
     Benarkah ia lebih hebat dari Senopati Demak itu? Ia mendengar kata-kata itu sepertinya hanya sebagai hiburan. “Kau mempunyai impian, Dadung?”
     “Saya ingin menjadi prajurit Demak.”
     “Sudah pernah ke Bintoro Demak?”
     “Belum pernah. Tapi saya sendiri tidak yakin. Ilmu kanuragan saya masih terlalu rendah.”
     “Carilah guru.”
     “Dimana?”
     “Pergilah ke tempat jauh.”
     “Tapi kemana?”
     “Kemana saja kamu suka.”
     “Aku tidak mudeng blas.”
     “Ada orang bijak bilang, pergilah ke tempat jauh untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman, lalu jadikan pengalaman itu sebagai guru.”
     “Saya kan ingin guru ilmu kanuragan, bukan guru begituan.”
     “Kamu akan mendapatkan juga.”
     Dadung Awuk mengambil sebuah sadak didalam pinggangnya. Karebet yang hendak pergi tertarik melihat Dadung Awuk memakan sadak itu. Karebet sering melihat orang memakan kinang. Tapi kebanyakan adalah wanita tua. Tapi yang dilihatnya Dadung Awuk makan kinang.
     “Ini sadak raden,” kata Dadung Awuk menjelaskan, seolah tahu keheranan Karebet. “Kinang yang sudah digulung. Raden mau?”
     “Tidak. Kelihatannya kau sangat suka sadak?”
     “Saya tidak tahu kenapa saya suka sadak. Mungkin Ibu saya dulu nyidam sadak tidak kesampaian, saya yang akhirnya doyan sadak.”
     “Hati-hati.”
     “Maksud Raden?”
     “Apa yang sangat kau suka kadang bisa menjadi senjata makan tuan.”
     “Saya kok tidak mengerti. Apa hubungannya sadak sama senjata. Ini kan hanya daun sirih. ”
     “Suatu saat kau akan mengerti.”
Karebet lantas beranjak. Tapi nampak mendekat seorang gadis berwajah manis membawa bakul berisi baju-baju. Rupanya gadis itu mau ke sungai untuk mencuci. Karebet tidak begitu peduli tapi gadis itu menatapnya terus.
     “Sendang.” Dadung Awuk berteriak. “Kebetulan, sini kakang kenalkan dengan orang terkenal, Jaka Tingkir. Raden, kenalkan ini Roro Sendang, calon istri saya kalau direstui.”
     Karebet mengangguk ke gadis itu.
     Roro Sendang juga tersenyum manis. “Saya ke sungai dulu, kakang.”
     “Hati-hati ya.”
     Roro Sendang berlalu sambil terus melirik ke arah Karebet. Gadis itu bukan tidak tahu Karebet. Sejak kedatangannya di sambut beberapa pemuda yang melawannya, semua warga desa mengetahui semua hal itu. Termasuk dirinya. Apalagi dengan berita yang beredar luas kalau Karebet adalah orang hebat yang mengalahkan buaya sungai seorang diri.
     Karebet nyaris tidak pernah mengenal wanita dengan baik kecuali dengan Ibunya. Apalagi sampai memutuskan untuk berhubungan dekat dan akhirnya berjanji untuk menikah. Ia belum bisa berpikir sejauh itu. Bukan karena ia orang yang selalu pergi untuk bertapa dan mengunjungi tempat-tempat keramat. Tapi ia merasa belum tertarik untuk melakukan hubungan seperti itu. Ia masih ingin melihat dunia dengan lebih luas. Ia ingin menuntut ilmu setinggi mungkin, termasuk ilmu kanuragan.
     “Bagaimana kalau kita ke sungai?” ajak Karebet.
     “Raden mau mandi?”
     “Udara mulai panas begini, mungkin lebih enak berendam di sungai.”
     “Ayolah kalau raden mau.”
     Mereka lantas berjalan searah dengan perginya Roro Sendang.
     Sungai di desa Pingit hanyalah sungai dangkal dengan arus yang kecil. Airnya jernih dan banyak bebatuan. Hampir semua warga desa Pingit menggunakan sungai itu untuk mandi dan mencuci. Siang menjelang sore itu, beberapa gadis berkumpul mencuci baju. Roro Sendang sudah bergabung dengan teman-teman sebayanya. Tidak ada lagi yang berada di sungai kecuali para gadis-gadis itu. Mereka serius mencuci baju sambil berbincang.
     Sejak terjadi pembunuhan terhadap guru ngaji, Ki Buyut Jayadi memberi perintah agar setiap bepergia, bersama-sama. Termasuk ke sungai. Selama ini tidak ada gangguan terhadap gadis-gadis desa. Tapi dari balik semak, beberapa pasang mata menatap ke arah gadis-gadis itu dengan buas. Mereka berbaju merah semua, seperti seragam.
     Salah satu dari mereka memberi isyarat untuk keluar dan mereka segera ke arah sungai. Mereka dikenal sebagai murid pesantren diatas bukit Siaul. Selama ini mereka hampir tidak pernah menampakkan diri. Tapi sekarang mereka bukan hanya menampakkan diri tapi juga mempunyai niat untuk menggoda gadis-gadis desa itu.
     Itulah anehnya. Kalau memang benar di bukit Siaul berdiri sebuah pesantren, artinya murid-muridnya diajarkan cara beragama yang benar. Cara berkehidupan yang benar. Tapi rupanya pesantren itu lain. Hampir semua murid pesantren itu bukan penduduk desa Pingit. Mereka adalah pendatang yang entah darimana. Guru ngaji di desa Pingit selalu memperingatkan kepada warga kalau pesantren di bukit itu mengajarkan ajaran islam yang salah. Makanya kemudian penduduk desa Pingit tidak ada yang mau menjadi murid di pesantren bukit Siaul pimpinan Aryabajageni.
     Gadis-gadis itu disergap ketakutan melihat beberapa lelaki berseragam merah itu mendekati mereka. Roro Sendang berada paling depan diantara teman-temannya. Ia memang takut tapi ia harus mengatasi ketakutannya sendiri. Kunci dari mengatasi ketakutan adalah dengan nekat.
     “Kalau kalian mau mandi , mandi saja, tapi jangan ganggu kami,” bentak Roro Sendang.
     “Kami memang mau mandi, tapi mandinya bersama kalian,” jawab salah satu lelaki berseragam merah itu, yang disambut suara tawa teman-temannya.
     “Kalau kalian tidak pergi, kami akan teriak dan semua penduduk akan datang kemari. Kalian semua akan di cincang tahu!” Suara Roro Sendang mulai gemetar.
     “Oo takut.” Salah seorang belagak ketakutan dan yang lain segera tertawa menimpali.
Seorang lelaki berseragam merah yang lain lantas mau menarik Roro Sendang, tapi mendadak tangannya langsung dikibaskan dan dia teriak kesakitan, persis seperti orang kebakaran tangannya.
     Semua kaget melihatnya.
     Di belakang mereka sudah muncul Dadung Awuk. “Makanya punya tangan jangan kayak maling.”
     Roro Sendang tertawa. Tapi tawanya lenyap saat melihat Karebet di belakang Dadung Awuk. 
     “Raden, biar saya yang pepes mereka ya?” pinta Dadung Awuk dengan bangga.
     Karebet hanya tersenyum.
     Lelaki berseragam merah itu menjadi marah dan berbalik ke arah Dadung Awuk. Mereka segera mencabut senjata yang mereka sembunyikan di balik baju.
     “Kau tahu sedang berhadapan dengan siapa ha?”
     “Melihat seragam kalian, berarti kalian murid pesantren di bukit Siaul.”
     “Bagus. Jadi kau tidak akan mati penasaran.”
     “Tunggu dulu.” Karebet maju. “Kalau kalian murid pesantren, kenapa kelakukan kalian seperti maling pasar?”
     “Wedus gembel,” umpat salah satu lelaki berseragam merah dan ia memberi isyarat untuk menyerang. “Bunuh dia.”
     Karebet langsung menyingkir karena sengaja memberikan kesempatan Dadung Awuk untuk menghadapi mereka. Meskipun Dadung Awuk sendiri kelihatan kaget.
     “Raden, ayo lawan mereka.”
     “Katanya kau mau melawan mereka…..”
     Dadung Awuk tidak bisa berkata lagi karena serangan pertama menuju dirinya. Meskipun tubuhnya gempal, ia bisa bergerak cepat untuk menghindar. Pukulan Dadung Awuk keras tapi sekarang ia menghadapi beberapa orang lawan. Kegesitannya berkurang karena berada di atas sungai. Kakinya sulit mencari pijakan yang benar. Akibatnya ia mudah mendapatkan serangan. Dan ia jatuh terjerembab. Dan tinggal menjadi bulan-bulanan lawannya.
     Tapi Karebet sudah bergerak cepat tangannya meraih kerikil sungai dan menyambitnya satu-satu ke arah pengeroyok Dadung Awuk.  Mereka kesakitan seperti terkena sengatan binatang di punggung mereka. Mereka berbalik mengejar Karebet dan menyerang dengan senjata terhunus. Karebet bukannya tidak sadar serangan mereka akan sangat mengerikan. Tapi kelemahan mereka juga justru sangat mudah dilihat. Mereka sudah terpancing untuk menyerang dengan sembarangan, apalagi diatas sungai yang jelas tidak rata permukaannya. Dengan gerakan menipu sedikit saja, Karebet sudah bisa menggagalkan serangan mereka, bahkan tangannya bergerak dengan lebih cepat meraih senjata mereka tanpa perlu memukul. Itu saja mereka langsung kaget karena senjata mereka tahu-tahu sudah berpindah tangan. Sebelum mereka sadar kembali, Karebet sudah melemparkan senjata itu ke depan mereka dan menancap di bebatuan.
      Sebuah kekuatan tenaga dalam yang luar biasa. Melemparkan pisau ke pohon pisang saja sering tidak menancap, padahal sudah jelas batang pohon pisang mudah ditembus oleh pisau. Tapi sebuah batu begitu mudah ditembus senjata. Tanpa berpikir dua kali, para lelaki berseram merah itu kabur. Lari dengan ketakutan membayangkan kepala mereka seperti batu sungai itu.
     Bukan hanya Dadung Awuk yang terbengong-bengong melihat kehebatan itu, tapi juga Roro Sendang dan teman-temannya. Dadung Awuk mengucek-ucek bola matanya seolah bermimpi di siang bolong. 
(bersambung)

No comments: