BAB 7
KAREBET melihat di kejauhan bukit
Siaul, tempat dimana pesantren Aryabajageni didirikan. Hanya pepohonan hijau
yang kelihatan. Deguban jantungnya merasakan getaran gaib yang kuat dari arah
bukit itu. Entah kekuatan apa yang menguasai bukit itu. Ada gerakan halus
dibelakangnya. Hampir tidak didengarnya. Tapi hembusan anginnya sudah berbeda.
Tangannya bergerak cepat dan menangkap leher seseorang.
“Aduh
biyung, ini saya raden, Dadung Awuk!”
Karebet
melepaskan tangannya. Dilihatnya pemuda bertubuh gempal itu memegangi lehernya
yang sakit. Wajahnya masih menyisakan rasa takut.
“Maaf,
raden.”
“Kamu
suka menggangu orang rupanya.”
“Tergantung
orangnya. Kalau orang sehebat raden, apa salahnya.”
“Kamu
kira aku orang baik?”
“Saya
hanya tahu raden orang terkenal karena kehebatan raden.”
“Jangan
semua yang kamu dengar kamu percaya.”
“Tadinya
saya tidak percaya raden bisa mengalahkan buaya raksasa. Tapi sewaktu melawan
Senopati Ringkin, saya jadi percaya.”
“Siapa
bilang saya menang.”
“Meski
tidak diumumkan, semua orang tahu sebenarnya raden lebih hebat daripada
Senopati Ringkin.”
Benarkah
ia lebih hebat dari Senopati Demak itu? Ia mendengar kata-kata itu sepertinya
hanya sebagai hiburan. “Kau mempunyai impian, Dadung?”
“Saya
ingin menjadi prajurit Demak.”
“Sudah
pernah ke Bintoro Demak?”
“Belum
pernah. Tapi saya sendiri tidak yakin. Ilmu kanuragan saya masih terlalu
rendah.”
“Carilah
guru.”
“Dimana?”
“Pergilah
ke tempat jauh.”
“Tapi
kemana?”
“Kemana
saja kamu suka.”
“Aku
tidak mudeng blas.”
“Ada
orang bijak bilang, pergilah ke tempat jauh untuk mendapatkan
pengalaman-pengalaman, lalu jadikan pengalaman itu sebagai guru.”
“Saya
kan ingin guru ilmu kanuragan, bukan guru begituan.”
“Kamu
akan mendapatkan juga.”
Dadung
Awuk mengambil sebuah sadak didalam pinggangnya. Karebet yang hendak pergi
tertarik melihat Dadung Awuk memakan sadak itu. Karebet sering melihat orang
memakan kinang. Tapi kebanyakan adalah wanita tua. Tapi yang dilihatnya Dadung
Awuk makan kinang.
“Ini
sadak raden,” kata Dadung Awuk menjelaskan, seolah tahu keheranan Karebet.
“Kinang yang sudah digulung. Raden mau?”
“Tidak.
Kelihatannya kau sangat suka sadak?”
“Saya
tidak tahu kenapa saya suka sadak. Mungkin Ibu saya dulu nyidam sadak tidak
kesampaian, saya yang akhirnya doyan sadak.”
“Hati-hati.”
“Maksud
Raden?”
“Apa
yang sangat kau suka kadang bisa menjadi senjata makan tuan.”
“Saya
kok tidak mengerti. Apa hubungannya sadak sama senjata. Ini kan hanya daun
sirih. ”
“Suatu
saat kau akan mengerti.”
Karebet lantas
beranjak. Tapi nampak mendekat seorang gadis berwajah manis membawa bakul
berisi baju-baju. Rupanya gadis itu mau ke sungai untuk mencuci. Karebet tidak
begitu peduli tapi gadis itu menatapnya terus.
“Sendang.”
Dadung Awuk berteriak. “Kebetulan, sini kakang kenalkan dengan orang terkenal,
Jaka Tingkir. Raden, kenalkan ini Roro Sendang, calon istri saya kalau
direstui.”
Karebet
mengangguk ke gadis itu.
Roro
Sendang juga tersenyum manis. “Saya ke sungai dulu, kakang.”
“Hati-hati
ya.”
Roro
Sendang berlalu sambil terus melirik ke arah Karebet. Gadis itu bukan tidak
tahu Karebet. Sejak kedatangannya di sambut beberapa pemuda yang melawannya,
semua warga desa mengetahui semua hal itu. Termasuk dirinya. Apalagi dengan
berita yang beredar luas kalau Karebet adalah orang hebat yang mengalahkan
buaya sungai seorang diri.
Karebet
nyaris tidak pernah mengenal wanita dengan baik kecuali dengan Ibunya. Apalagi
sampai memutuskan untuk berhubungan dekat dan akhirnya berjanji untuk menikah.
Ia belum bisa berpikir sejauh itu. Bukan karena ia orang yang selalu pergi
untuk bertapa dan mengunjungi tempat-tempat keramat. Tapi ia merasa belum
tertarik untuk melakukan hubungan seperti itu. Ia masih ingin melihat dunia
dengan lebih luas. Ia ingin menuntut ilmu setinggi mungkin, termasuk ilmu kanuragan.
“Bagaimana
kalau kita ke sungai?” ajak Karebet.
“Raden
mau mandi?”
“Udara
mulai panas begini, mungkin lebih enak berendam di sungai.”
“Ayolah
kalau raden mau.”
Mereka
lantas berjalan searah dengan perginya Roro Sendang.
Sungai
di desa Pingit hanyalah sungai dangkal dengan arus yang kecil. Airnya jernih
dan banyak bebatuan. Hampir semua warga desa Pingit menggunakan sungai itu
untuk mandi dan mencuci. Siang menjelang sore itu, beberapa gadis berkumpul
mencuci baju. Roro Sendang sudah bergabung dengan teman-teman sebayanya. Tidak
ada lagi yang berada di sungai kecuali para gadis-gadis itu. Mereka serius
mencuci baju sambil berbincang.
Sejak
terjadi pembunuhan terhadap guru ngaji, Ki Buyut Jayadi memberi perintah agar
setiap bepergia, bersama-sama. Termasuk ke sungai. Selama ini tidak ada
gangguan terhadap gadis-gadis desa. Tapi dari balik semak, beberapa pasang mata
menatap ke arah gadis-gadis itu dengan buas. Mereka berbaju merah semua,
seperti seragam.
Salah
satu dari mereka memberi isyarat untuk keluar dan mereka segera ke arah sungai.
Mereka dikenal sebagai murid pesantren diatas bukit Siaul. Selama ini mereka
hampir tidak pernah menampakkan diri. Tapi sekarang mereka bukan hanya
menampakkan diri tapi juga mempunyai niat untuk menggoda gadis-gadis desa itu.
Itulah
anehnya. Kalau memang benar di bukit Siaul berdiri sebuah pesantren, artinya
murid-muridnya diajarkan cara beragama yang benar. Cara berkehidupan yang
benar. Tapi rupanya pesantren itu lain. Hampir semua murid pesantren itu bukan penduduk
desa Pingit. Mereka adalah pendatang yang entah darimana. Guru ngaji di desa
Pingit selalu memperingatkan kepada warga kalau pesantren di bukit itu
mengajarkan ajaran islam yang salah. Makanya kemudian penduduk desa Pingit
tidak ada yang mau menjadi murid di pesantren bukit Siaul pimpinan
Aryabajageni.
Gadis-gadis
itu disergap ketakutan melihat beberapa lelaki berseragam merah itu mendekati
mereka. Roro Sendang berada paling depan diantara teman-temannya. Ia memang
takut tapi ia harus mengatasi ketakutannya sendiri. Kunci dari mengatasi
ketakutan adalah dengan nekat.
“Kalau
kalian mau mandi , mandi saja, tapi jangan ganggu kami,” bentak Roro Sendang.
“Kami
memang mau mandi, tapi mandinya bersama kalian,” jawab salah satu lelaki
berseragam merah itu, yang disambut suara tawa teman-temannya.
“Kalau
kalian tidak pergi, kami akan teriak dan semua penduduk akan datang kemari.
Kalian semua akan di cincang tahu!” Suara Roro Sendang mulai gemetar.
“Oo
takut.” Salah seorang belagak ketakutan dan yang lain segera tertawa menimpali.
Seorang lelaki
berseragam merah yang lain lantas mau menarik Roro Sendang, tapi mendadak
tangannya langsung dikibaskan dan dia teriak kesakitan, persis seperti orang
kebakaran tangannya.
Semua
kaget melihatnya.
Di
belakang mereka sudah muncul Dadung Awuk. “Makanya punya tangan jangan kayak
maling.”
Roro
Sendang tertawa. Tapi tawanya lenyap saat melihat Karebet di belakang Dadung
Awuk.
“Raden,
biar saya yang pepes mereka ya?” pinta Dadung Awuk dengan bangga.
Karebet
hanya tersenyum.
Lelaki
berseragam merah itu menjadi marah dan berbalik ke arah Dadung Awuk. Mereka
segera mencabut senjata yang mereka sembunyikan di balik baju.
“Kau
tahu sedang berhadapan dengan siapa ha?”
“Melihat
seragam kalian, berarti kalian murid pesantren di bukit Siaul.”
“Bagus.
Jadi kau tidak akan mati penasaran.”
“Tunggu
dulu.” Karebet maju. “Kalau kalian murid pesantren, kenapa kelakukan kalian
seperti maling pasar?”
“Wedus
gembel,” umpat salah satu lelaki berseragam merah dan ia memberi isyarat untuk
menyerang. “Bunuh dia.”
Karebet
langsung menyingkir karena sengaja memberikan kesempatan Dadung Awuk untuk
menghadapi mereka. Meskipun Dadung Awuk sendiri kelihatan kaget.
“Raden,
ayo lawan mereka.”
“Katanya
kau mau melawan mereka…..”
Dadung
Awuk tidak bisa berkata lagi karena serangan pertama menuju dirinya. Meskipun
tubuhnya gempal, ia bisa bergerak cepat untuk menghindar. Pukulan Dadung Awuk
keras tapi sekarang ia menghadapi beberapa orang lawan. Kegesitannya berkurang
karena berada di atas sungai. Kakinya sulit mencari pijakan yang benar.
Akibatnya ia mudah mendapatkan serangan. Dan ia jatuh terjerembab. Dan tinggal
menjadi bulan-bulanan lawannya.
Tapi
Karebet sudah bergerak cepat tangannya meraih kerikil sungai dan menyambitnya
satu-satu ke arah pengeroyok Dadung Awuk.
Mereka kesakitan seperti terkena sengatan binatang di punggung mereka.
Mereka berbalik mengejar Karebet dan menyerang dengan senjata terhunus. Karebet
bukannya tidak sadar serangan mereka akan sangat mengerikan. Tapi kelemahan
mereka juga justru sangat mudah dilihat. Mereka sudah terpancing untuk
menyerang dengan sembarangan, apalagi diatas sungai yang jelas tidak rata
permukaannya. Dengan gerakan menipu sedikit saja, Karebet sudah bisa
menggagalkan serangan mereka, bahkan tangannya bergerak dengan lebih cepat
meraih senjata mereka tanpa perlu memukul. Itu saja mereka langsung kaget
karena senjata mereka tahu-tahu sudah berpindah tangan. Sebelum mereka sadar
kembali, Karebet sudah melemparkan senjata itu ke depan mereka dan menancap di
bebatuan.
Sebuah kekuatan tenaga dalam yang luar
biasa. Melemparkan pisau ke pohon pisang saja sering tidak menancap, padahal
sudah jelas batang pohon pisang mudah ditembus oleh pisau. Tapi sebuah batu
begitu mudah ditembus senjata. Tanpa berpikir dua kali, para lelaki berseram
merah itu kabur. Lari dengan ketakutan membayangkan kepala mereka seperti batu
sungai itu.
Bukan
hanya Dadung Awuk yang terbengong-bengong melihat kehebatan itu, tapi juga Roro
Sendang dan teman-temannya. Dadung Awuk mengucek-ucek bola matanya seolah
bermimpi di siang bolong.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment