Sunday, December 23, 2012

MAS KAREBET 15

BAB 15



KAREBET jongkok di depan kuburan Ki Buyut Jayadi. Banyak sekali yang sebenarnya ingin ia tanyakan kepada lelaki tua bekas abdi dalem almarhum ayahnya itu. Tapi rupanya ia harus mencari jawaban atas pertanyaanya entah dimana. Ia mulai disadarkan bahwa masa lalunya ternyata masih mengandung banyak teka-teki. Akan ia cari jawaban, supaya ia bisa lebih tahu siapa dirinya. Akan ia tanyakan kepada siapa saja yang bisa memberinya jawaban.
     Salah satunya adalah Ibunya. Ia yakin Ibunya tahu semua masa lalunya. Tahu semua leluhurnya. Ia sudah harus menyusun daftar pertanyaan di kepalanya sebelum tiba di padukuhan Tingkir. Tapi darimanakah ia harus mulai bertanya? Aryabajageni memberinya banyak rahasia yang masih harus dibuktikan kebenarannya. Mimpinya di bukit Telomoyo masih terus menggangu tidurnya, meskipun telah ditafsirkan oleh Sunan Kalijaga. Tapi bagaimana ia harus mempercayai jawaban itu?
Tiba-tiba kepalanya penuh.
Ia harus buru-buru meninggalkan padukuhan Pingit ini.
     Tapi di mulut kuburan, Dadung Awuk dan Roro Sendang sudah menunggunya. Dadung Awuk membawa buntalan kain di bahunya.  Seperti hendak bepergian.
     “Kau mau pergi jauh, Dadung Awuk?” tanya Karebet.
     “Seperti kata raden, saya akan mencari ilmu.”
     Karebet senyum dan berjalan melewati Dadung Awuk.
     “Tapi saya putuskan untuk ikut raden.”
     Karebet berhenti. “Saya akan pulang ke Tingkir.”
     “Sama saja bagi saya.” Dadung Awuk berkata tegas. “Yang penting buat saya, saya akan mendapatkan ilmu kanuragan yang saya inginkan.”
     “Kau masih dibutuhkan disini untuk menggantikan Ki Buyut Jayadi.”
     “Saya tidak tahu bagaimana  memimpin rakyat dan saya tidak kepingin jadi pemimpin. Kalau saya memaksakan diri, saya takut bukan menjadi baik, malah hancur tidak karuan nanti padukuhan ini.”
     Karebet melihat Roro Sendang yang diam saja. “Bagaimana dengan Roro Sendang?”
     Dadung Awuk menatap dalam Roro Sendang, seperti menembus ke dalam matanya. “Saya memang mencintainya. Tapi seperti kata raden, saya mulai ragu akan kesetiaannya.”
     Roro Sendang kaget bukan main. “Apa?!” Matanya seperti mau loncat keluar. “Jadi kakang mau mencampakkan aku seperti sampah?!”
     Dadung Awuk menjadi gugup. “Bukan begitu, Sendang. Maksud kakang….”
     Mata Roro Sendang jadi liar menatap Dadung Awuk dan Karebet. “Kalian laki-laki, sama-sama bajingan!!”
     Roro Sendang pergi berlari sambil menumpahkan air matanya. Kelihatan sangat marah dan kecewa. Dadung Awuk tidak jadi berteriak memanggil. Ia kelihatan serba salah, tapi sikapnya sudah jelas. Ia akan mengikuti Karebet. Ia ingin menjadi teman perjalanan, bahkan ia siap untuk di jadikan pembantu.
     “Aku terbiasa berjalan sendiri,” gumam Karebet.
     “Saya tidak akan merepotkan Raden. Saya juga rela di jadikan pembantu Raden.”
     “Memangnya siapa aku membutuhkan pembantu?” Karebet melihat ketulusan niat Dadung Awuk lewat matanya.
     “Saya memaksa ikut, Raden.”
     Karebet menatap Dadung Awuk.
“Kau akan berubah pikiran di perjalanan.”
“Mungkin. Tapi setelah saya banyak menimba pengalaman bersama Raden.”
Karebet berpikir lagi tapi kemudian dia berkata, “Baiklah, kau boleh ikut.”
     “Terimakasih, Raden.” Betapa gembiranya Dadung Awuk.
     “Sayang caramu tadi sama saja membunuhku,” kata Karebet sengit.
     Dadung Awuk nyengir. “Hanya itu cara saya bisa pergi, Raden.” Matanya masih melihat menghilangnya Roro Sendang di tikungan jalan. “Cita-cita saya lebih besar dari cinta saya kepada Roro Sendang.”
     “Tapi aku jadi jelek dimata Roro Sendang.”
     “Yang penting tidak jelek di mata saya.”
     Lalu mereka dikagetkan suara gemuruh dari bukit Siaul. Mereka menoleh. Tampak langit menghitam oleh asap yang membumbung ke langit. Asap dari pembakaran. Terdengar juga suara banyak orang beteriak ramai.
     “Para penduduk sudah membakar pesantren itu.”
     “Mungkin itu lebih baik.” Karebet lantas jalan.
     “Sebenarnya bagaimana Raden bisa mengusir Aryabajageni itu?”
     “Aku juga tidak tahu.”
     “Raden mengalahkan Aryabajageni, kan?”
     “Tidak.”
     “Buktinya pesantren itu sudah kosong waktu didatangi penduduk Padukuhan.”
     “Tidak penting lagi dibahas.” Karebet berbalik menghadapi Dadung Awuk. “Jadi Kau serius mau ikut aku?”
     “Duarius.”
     “Ada syaratnya.”
     “Apapun syaratnya saya sanggup.”
     “Pertama, jangan panggil aku raden.”
     “Beres.”
     “Kedua, panggil aku Karebet.”
     “Karebet?”
     “Itu nama asliku.”
     “Ooo. Pantesan waktu diatas bukit saya mendengar nama Karebet. Tapi bukankah bangga memakai nama Jaka Tingkir?”
     “Kalau kau mau, ambil saja.”
     “Memangnya barang diambil.”
     “Karena kau dari Pingit, ganti saja namamu jadi Jaka Pingit.”
     Dadung Awuk tertawa. “Jaka Pingit? Gila, keren juga. Raden…eh maaf, kau ternyata baik hati.”
     Karebet sudah berjalan.
     “Ngomong-ngomong, habis dari Tingkir, kita pergi kemana?”
     “Syarat ketiga, jangan cerewet.”
     Dadung Awuk nyengir. “Maaf. Tapi satu lagi. Bener ini yang terakhir. Bagaimana saya memanggilmu. Bet, Kar atau Rebet?”
     “Tidak mutu blas pertanyaanmu.”
     Dadung Awuk tertawa terbahak-bahak.  
(bersambung) 

No comments: