KAREBET jongkok di depan kuburan
Ki Buyut Jayadi. Banyak sekali yang sebenarnya ingin ia tanyakan kepada lelaki
tua bekas abdi dalem almarhum ayahnya itu. Tapi rupanya ia harus mencari
jawaban atas pertanyaanya entah dimana. Ia mulai disadarkan bahwa masa lalunya
ternyata masih mengandung banyak teka-teki. Akan ia cari jawaban, supaya ia
bisa lebih tahu siapa dirinya. Akan ia tanyakan kepada siapa saja yang bisa
memberinya jawaban.
Salah
satunya adalah Ibunya. Ia yakin Ibunya tahu semua masa lalunya. Tahu semua
leluhurnya. Ia sudah harus menyusun daftar pertanyaan di kepalanya sebelum tiba
di padukuhan Tingkir. Tapi darimanakah ia harus mulai bertanya? Aryabajageni
memberinya banyak rahasia yang masih harus dibuktikan kebenarannya. Mimpinya di
bukit Telomoyo masih terus menggangu tidurnya, meskipun telah ditafsirkan oleh
Sunan Kalijaga. Tapi bagaimana ia harus mempercayai jawaban itu?
Tiba-tiba kepalanya
penuh.
Ia harus buru-buru
meninggalkan padukuhan Pingit ini.
Tapi
di mulut kuburan, Dadung Awuk dan Roro Sendang sudah menunggunya. Dadung Awuk
membawa buntalan kain di bahunya.
Seperti hendak bepergian.
“Kau
mau pergi jauh, Dadung Awuk?” tanya Karebet.
“Seperti
kata raden, saya akan mencari ilmu.”
Karebet
senyum dan berjalan melewati Dadung Awuk.
“Tapi
saya putuskan untuk ikut raden.”
Karebet
berhenti. “Saya akan pulang ke Tingkir.”
“Sama
saja bagi saya.” Dadung Awuk berkata tegas. “Yang penting buat saya, saya akan
mendapatkan ilmu kanuragan yang saya inginkan.”
“Kau
masih dibutuhkan disini untuk menggantikan Ki Buyut Jayadi.”
“Saya
tidak tahu bagaimana memimpin
rakyat dan saya tidak kepingin jadi pemimpin. Kalau saya memaksakan diri, saya
takut bukan menjadi baik, malah hancur tidak karuan nanti padukuhan ini.”
Karebet
melihat Roro Sendang yang diam saja. “Bagaimana dengan Roro Sendang?”
Dadung
Awuk menatap dalam Roro Sendang, seperti menembus ke dalam matanya. “Saya
memang mencintainya. Tapi seperti kata raden, saya mulai ragu akan
kesetiaannya.”
Roro
Sendang kaget bukan main. “Apa?!” Matanya seperti mau loncat keluar. “Jadi
kakang mau mencampakkan aku seperti sampah?!”
Dadung
Awuk menjadi gugup. “Bukan begitu, Sendang. Maksud kakang….”
Mata
Roro Sendang jadi liar menatap Dadung Awuk dan Karebet. “Kalian laki-laki,
sama-sama bajingan!!”
Roro
Sendang pergi berlari sambil menumpahkan air matanya. Kelihatan sangat marah
dan kecewa. Dadung Awuk tidak jadi berteriak memanggil. Ia kelihatan serba
salah, tapi sikapnya sudah jelas. Ia akan mengikuti Karebet. Ia ingin menjadi
teman perjalanan, bahkan ia siap untuk di jadikan pembantu.
“Aku
terbiasa berjalan sendiri,” gumam Karebet.
“Saya
tidak akan merepotkan Raden. Saya juga rela di jadikan pembantu Raden.”
“Memangnya
siapa aku membutuhkan pembantu?” Karebet melihat ketulusan niat Dadung Awuk
lewat matanya.
“Saya
memaksa ikut, Raden.”
Karebet
menatap Dadung Awuk.
“Kau akan berubah
pikiran di perjalanan.”
“Mungkin. Tapi setelah
saya banyak menimba pengalaman bersama Raden.”
Karebet berpikir lagi
tapi kemudian dia berkata, “Baiklah, kau boleh ikut.”
“Terimakasih,
Raden.” Betapa gembiranya Dadung Awuk.
“Sayang
caramu tadi sama saja membunuhku,” kata Karebet sengit.
Dadung
Awuk nyengir. “Hanya itu cara saya bisa pergi, Raden.” Matanya masih melihat
menghilangnya Roro Sendang di tikungan jalan. “Cita-cita saya lebih besar dari
cinta saya kepada Roro Sendang.”
“Tapi
aku jadi jelek dimata Roro Sendang.”
“Yang
penting tidak jelek di mata saya.”
Lalu
mereka dikagetkan suara gemuruh dari bukit Siaul. Mereka menoleh. Tampak langit
menghitam oleh asap yang membumbung ke langit. Asap dari pembakaran. Terdengar
juga suara banyak orang beteriak ramai.
“Para
penduduk sudah membakar pesantren itu.”
“Mungkin
itu lebih baik.” Karebet lantas jalan.
“Sebenarnya
bagaimana Raden bisa mengusir Aryabajageni itu?”
“Aku
juga tidak tahu.”
“Raden
mengalahkan Aryabajageni, kan?”
“Tidak.”
“Buktinya
pesantren itu sudah kosong waktu didatangi penduduk Padukuhan.”
“Tidak
penting lagi dibahas.” Karebet berbalik menghadapi Dadung Awuk. “Jadi Kau
serius mau ikut aku?”
“Duarius.”
“Ada
syaratnya.”
“Apapun
syaratnya saya sanggup.”
“Pertama,
jangan panggil aku raden.”
“Beres.”
“Kedua,
panggil aku Karebet.”
“Karebet?”
“Itu
nama asliku.”
“Ooo.
Pantesan waktu diatas bukit saya mendengar nama Karebet. Tapi bukankah bangga memakai
nama Jaka Tingkir?”
“Kalau
kau mau, ambil saja.”
“Memangnya
barang diambil.”
“Karena
kau dari Pingit, ganti saja namamu jadi Jaka Pingit.”
Dadung
Awuk tertawa. “Jaka Pingit? Gila, keren juga. Raden…eh maaf, kau ternyata baik
hati.”
Karebet
sudah berjalan.
“Ngomong-ngomong,
habis dari Tingkir, kita pergi kemana?”
“Syarat
ketiga, jangan cerewet.”
Dadung
Awuk nyengir. “Maaf. Tapi satu lagi. Bener ini yang terakhir. Bagaimana saya
memanggilmu. Bet, Kar atau Rebet?”
“Tidak
mutu blas pertanyaanmu.”
Dadung
Awuk tertawa terbahak-bahak. (bersambung)
No comments:
Post a Comment