DI DEPAN mereka berdiri sebuah
bangunan yang megah. Untuk ukuran di ditengah hutan, di atas bukit, di sebuah
padukuhan kecil seperti Pingit, bangunan itu terlalu mewah. Karebet melihat
betapa seriusnya orang yang mendirikan bangunan ini. Sepertinya hendak
mendirikan sebuah tempat untuk berkuasa. Tapi sekelilingnya sepi. Tidak ada
kegiatan apapun. Halaman rumah itu bersih dan rapi. Siapa orang ini
sebenarnya,
tanyanya dalam hati.
Dadung Awuk sudah
melotot begitu melihat bangunan itu. “Ini rumah orang apa rumah hantu?”
Karebet tegang.
“Kenapa tidak ada
orang?”
“Tapi kita sedang
mereka awasi.”
“Jangan bikin takut
saya, Raden.”
“Coba saja kau kabur.
Begitu kau melewati pintu gerbang keluar, badanmu yang gemuk itu jadi sasaran
empuk mereka.”
Dadung Awuk semakin
ketakutan. Ia merasa benar-benar sedang diantar ke kuburan. Tadinya ia ikut
untuk mendapatkan pengalaman. Ia pergi dengan Karebet, orang hebat yang baru
dikenalnya. Tapi sekarang ia memilih tinggal di padukuhan ketimbang datang ke
tempat pesantren yang menyeramkan ini.
“Aku sudah menunggumu,
Jaka Tingkir alias Karebet.”
Karebet menoleh ke
Dadung Awuk karena dikiranya pemuda itu yang bicara. Tapi Dadung Awuk sedang
ketakutan. Suara itu entah darimana datangnya, tapi persis di telinganya.
“Kau mendengar suara
itu, Dadung?”
“Aku hanya mendengar
suara detak jantungku yang mau copot.”
“Masuklah, Karebet.”
Kali ini suara itu
lebih jelas dan Dadung Awuk kaget. Menoleh ke Karebet. “Karebet? Siapa
Karebet?”
“Tunjukkan siapa
kisanak,” kata Karebet tegas.
Bersamaan selesai
kalimat itu, didepan mereka muncul Aryabajageni. Dadung Awuk melompat mundur
karena begitu kaget. Aryabajageni tersenyum kepada Karebet dan kelihatan
bahagia.
“Inilah pertemuan yang
aku sudah tunggu lebih dari empatpuluh malam.”
“Orang ini seperti
hantu, Raden,” bisik Dadung Awuk gemetar.
“Aku adik seperguruan
almarhum ayahmu. Masuklah, tapi hanya kamu sendiri.” Kalimat itu selesai dan
tubuh Aryabajageni ikut menghilang begitu saja.
Dadung
Awuk masih berdiri kaku.
Karebet
tidak percaya dengan pendengarnya. Aku adik seperguruan almarhum ayahmu. Darimana orang ini
tahu siapa dirinya dan ayahnya? Hal yang sangat mustahil. Bertemu Ki Buyut
Jayadi saja ia baru pertama kali, karena ia tidak pernah ingat lagi masa
kecilnya. Dan ia juga baru tahu kalau Ki Buyut Jayadi pernah menjadi abdi ayahnya. Tidak mungkin
semua ini kebetulan. Ia tidak pernah percaya dengan kebetulan.
“Kalau
Raden masuk seorang diri, saya bagaimana?” Wajah Dadung Awuk pucat pasi.
“Kau
tidak akan kenapa-kenapa. Aku jamin.” Karebet langsung pergi ke arah pintu
rumah besar itu. Dadung Awuk berdiri seorang diri semakin panik. Tapi ia lega
karena Karebet menjamin keselamatannya. Ia harus percaya itu. Paling tidak agar
hatinya jauh lebih tenang.
Karebet
masuk ke sebuah ruangan besar.
Di
ujung sana, duduk Aryabajageni, di sebuah kursi besar.
Karebet
berhenti di ujung ruangan, dekat dengan pintu keluar. Ia belum yakin dengan
lelaki kurus bermuka menakutkan itu.
“Duduklah
dekatku, Karebet,” kata Aryabajageni meminta. “Akan aku ceritakan apa yang
menjadi pertanyaanmu.”
“Aku
datang bukan untuk bertanya.”
Aryabajageni
tertawa.
“Kau
sudah membuat permusuhan dengan warga padukuhan Pingit.”
“Siapa
bilang? Kau hanya terhasut, Karebet. Mereka hanya tidak senang ajaran agama
islam yang aku bawa.”
“Kalau
kau mengajar agama islam, kenapa guru ngaji di desa kau bunuhi?” Karebet
bertanya dengan sengit. “Artinya kau bukan mengajar agama islam.”
“Ah
itu nanti saja kita bahas. Aku disini sebenarnya menunggu untuk bertemu
denganmu.” Aryabajageni tetap saja tersenyum senang. “Aku hanya mau
mengingatkanmu kalau aku adik seperguruan almarhum ayahmu. Kita dulu sama-sama
berguru kepada guru besar Syekh Siti Jenar.”
“Kenapa
aku dengar kau sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar?”
“Namaku
Aryabajageni, tapi aku penjelmaan guruku, karena Syekh Siti Jenar tidak pernah
mati dan tidak bisa mati.” Kalimat itu terdengar sangat tegas. “Karebet, satu
hal yang harus kau tahu kalau kau belum tahu, almarhum ayahmu dibunuh Sunan
Kudus…”
Karebet mendadak disergap ketegangan baru.
Sejak kecil ia sudah diboyong dari Kadipaten Pengging ke Padukuhan Tingkir oleh
Nyai Ageng Tingkir. Ia hanya tahu ia pindah dan diangkat sebagai anak oleh Nyai
Ageng Tingkir karena ia akan mendapatkan kehidupan yang lebih tenang. Ia tidak
pernah tahu di Pengging keadaannya tidak tenang. Ia juga tidak pernah tahu
kalau Ayahnya sedang berselisih paham dengan Istana Demak Bintoro. Ia juga
tidak pernah tahu kalau Ibu kandungnya begitu menderita setelah kematian
ayahnya dan akhirnya meninggal dunia.
Ia
hanya tahu bahwa ia anak Nyai Ageng Tingkir, seorang saudagar paling kaya di
padukuhan Tingkir. Ia dibesarkan di lingkungan yang sangat memanjakan dirinya.
Semakin dewasa ia semakin paham bahwa ia berbeda dengan Nyai Ageng Tingkir yang
dianggap Ibunya. Ia tidak suka dagang sama sekali. Ia hanya suka dengan ilmu
kanuragan. Kemudian Ibunya membayar seorang guru silat di desa itu. Karebet hanya
bertahan tiga hari. Guru silat itu hanya mencari uang dan bukan sungguh-sungguh
mengajarinya ilmu kanuragan.
Sampai
kemudian dia suka pergi ke tempat-tempat sepi dan diajari bertapa. Ia sudah
lupa siapa yang mengajarkannya. Sepertinya ia ditunjukkan jalannya begitu saja.
Semakin dewasa, ia semakin banyak bepergian. Bertemu siapa saja dan mendapatkan
ilmu kanuragan berbagai macam. Sampai kemudian ia sampai di padukuhan Pingit,
dan di bukit Siaul ini telinganya panas mendengar siapa yang membunuh almarhum
ayahnya.
Ia
menatap Aryabajageni.
“Sudah
sepantasnyalah kau tunjukkan baktimu sebagai anak, Karebet,” kata Aryabajageni
menegaskan lagi. “Mintalah keadilan dan pertanggungjawaban Sunan Kudus.”
Siapa
Sunan Kudus?
Mendengar
namanya saja baru kali ini.
“Kenapa
aku harus percaya padamu?” tanya Karebet dingin.
“Aku
satu-satunya yang berani bicara ini padamu. Kakekmu adalah Pangeran
Handayaningrat, keturunan Prabu Brawijaya terakhir yang bertahkta di kerajaan
Agung Majapahit….”
Karebet
diam mendengarkan.
“Ayahmu
ditakuti Sultan Demak karena mempunyai banyak pengikut, maka dia disingkirkan
dengan cara yang keji.” Aryabajageni terus bicara. “Kau harus ingat Karebet,
apa yang didapat Ayahmu adalah kematian yang menyakitkan. Sampai Ibumu tidak
kuat menanggung kesedihan dan akhirnya juga meninggal!!”
Karebet
mukanya memerah. “Ayo kita bertarung di luar!!!” Suaranya mengguntur menahan
luapan amarahnya. Penjelasan Aryabajageni memang membuatnya tertarik. Tapi isi kepalanya semakin
dipenuhi berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi kalap.
Aryabajageni
tetap tersenyum. Tidak marah sama sekali. “Buat apa kita bertarung? Kita tidak
bermusuhan. Aku hanya ingin mengingatkanmu supaya kau tidak lupa asal usulmu!”
“Hidupku
adalah urusanku. Kau tidak punya hak apapun ikut campur!”
“Jangan
sampai kau menjadi anak durhaka, Karebet. Jangan khawatir, aku selalu akan
membantumu. Begitu juga sebaliknya, kau bisa ikut menyebarkan ajaran guru besar
Syekh Siti Jenar seperti Ayahmu.”
“Rupanya
kau hanya memanfaatkan aku.” Karebet mengepalkan tangannya. “Kita tentukan
saja, apakah kau bisa menyuruhku.” Karebet berbalik jalan.
“Aku
tidak mau.”
Karebet
terus berjalan.
Aryabajageni
menatap pemuda itu. “Kau merasa jauh lebih hebat daripada Senopati Demak yang
aku kirim mayatnya itu?”
Karebet
berhenti. Menoleh.
“Aku lebih hebat
daripada dia.” Lalu terus berjalan keluar. Tapi pintu didepannya langsung
menutup dengan sendirinya. Karebet merasa pertempurannya akan berlangsung
didalam ruangan.
“Sudahlah,
Karebet. Kau boleh melanjutkan perjalananmu pulang. Tinggalkan saja padukuhan
ini.”
“Aku
akan melanjutkan perjalananku, kalau kau juga sudah pergi dari sini.”
“Kau
tidak mungkin mau membantu orang-orang padukuhan yang bodoh itu.”
“Aku
sudah berjanji kepada mereka.”
Aryabajageni
tertawa. “Kau persis Ayahmu.”
“Jangan
bawa nama Ayahku!”
“Tapi
kita tidak mungkin berhadapan sebagai musuh.”
“Selama
kau tidak meninggalkan padukuhan ini, kita akan tetap bermusuhan.” Karebet
menatap lelaki bermuka aneh itu. “Kalau kau tidak mau melawanku sekarang, aku
tunggu sampai kapan kau siap.”
Karebet
pergi.
Aryabajageni
tetap tersenyum dan membiarkan pemuda itu pergi.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment