Wednesday, December 19, 2012

MAS KAREBET 12

BAB 12



DI DEPAN mereka berdiri sebuah bangunan yang megah. Untuk ukuran di ditengah hutan, di atas bukit, di sebuah padukuhan kecil seperti Pingit, bangunan itu terlalu mewah. Karebet melihat betapa seriusnya orang yang mendirikan bangunan ini. Sepertinya hendak mendirikan sebuah tempat untuk berkuasa. Tapi sekelilingnya sepi. Tidak ada kegiatan apapun. Halaman rumah itu bersih dan rapi. Siapa orang ini sebenarnya, tanyanya dalam hati.
Dadung Awuk sudah melotot begitu melihat bangunan itu. “Ini rumah orang apa rumah hantu?”
Karebet tegang.
“Kenapa tidak ada orang?”
“Tapi kita sedang mereka awasi.”
“Jangan bikin takut saya, Raden.”
“Coba saja kau kabur. Begitu kau melewati pintu gerbang keluar, badanmu yang gemuk itu jadi sasaran empuk mereka.”
Dadung Awuk semakin ketakutan. Ia merasa benar-benar sedang diantar ke kuburan. Tadinya ia ikut untuk mendapatkan pengalaman. Ia pergi dengan Karebet, orang hebat yang baru dikenalnya. Tapi sekarang ia memilih tinggal di padukuhan ketimbang datang ke tempat pesantren yang menyeramkan ini.
“Aku sudah menunggumu, Jaka Tingkir alias Karebet.”
Karebet menoleh ke Dadung Awuk karena dikiranya pemuda itu yang bicara. Tapi Dadung Awuk sedang ketakutan. Suara itu entah darimana datangnya, tapi persis di telinganya.
“Kau mendengar suara itu, Dadung?”
“Aku hanya mendengar suara detak jantungku yang mau copot.”
“Masuklah, Karebet.”
Kali ini suara itu lebih jelas dan Dadung Awuk kaget. Menoleh ke Karebet. “Karebet? Siapa Karebet?”
“Tunjukkan siapa kisanak,” kata Karebet tegas.
Bersamaan selesai kalimat itu, didepan mereka muncul Aryabajageni. Dadung Awuk melompat mundur karena begitu kaget. Aryabajageni tersenyum kepada Karebet dan kelihatan bahagia.
“Inilah pertemuan yang aku sudah tunggu lebih dari empatpuluh malam.”
“Orang ini seperti hantu, Raden,” bisik Dadung Awuk gemetar.
“Aku adik seperguruan almarhum ayahmu. Masuklah, tapi hanya kamu sendiri.” Kalimat itu selesai dan tubuh Aryabajageni ikut menghilang begitu saja.    
     Dadung Awuk masih berdiri kaku.
     Karebet tidak percaya dengan pendengarnya. Aku adik seperguruan almarhum ayahmu. Darimana orang ini tahu siapa dirinya dan ayahnya? Hal yang sangat mustahil. Bertemu Ki Buyut Jayadi saja ia baru pertama kali, karena ia tidak pernah ingat lagi masa kecilnya. Dan ia juga baru tahu kalau Ki Buyut Jayadi pernah menjadi abdi ayahnya. Tidak mungkin semua ini kebetulan. Ia tidak pernah percaya dengan kebetulan.
     “Kalau Raden masuk seorang diri, saya bagaimana?” Wajah Dadung Awuk pucat pasi.
     “Kau tidak akan kenapa-kenapa. Aku jamin.” Karebet langsung pergi ke arah pintu rumah besar itu. Dadung Awuk berdiri seorang diri semakin panik. Tapi ia lega karena Karebet menjamin keselamatannya. Ia harus percaya itu. Paling tidak agar hatinya jauh lebih tenang.
     Karebet masuk ke sebuah ruangan besar.
     Di ujung sana, duduk Aryabajageni, di sebuah kursi besar.
     Karebet berhenti di ujung ruangan, dekat dengan pintu keluar. Ia belum yakin dengan lelaki kurus bermuka menakutkan itu.
     “Duduklah dekatku, Karebet,” kata Aryabajageni meminta. “Akan aku ceritakan apa yang menjadi pertanyaanmu.”
     “Aku datang bukan untuk bertanya.”
     Aryabajageni tertawa.
     “Kau sudah membuat permusuhan dengan warga padukuhan Pingit.”
     “Siapa bilang? Kau hanya terhasut, Karebet. Mereka hanya tidak senang ajaran agama islam yang aku bawa.”
     “Kalau kau mengajar agama islam, kenapa guru ngaji di desa kau bunuhi?” Karebet bertanya dengan sengit. “Artinya kau bukan mengajar agama islam.”
     “Ah itu nanti saja kita bahas. Aku disini sebenarnya menunggu untuk bertemu denganmu.” Aryabajageni tetap saja tersenyum senang. “Aku hanya mau mengingatkanmu kalau aku adik seperguruan almarhum ayahmu. Kita dulu sama-sama berguru kepada guru besar Syekh Siti Jenar.”
     “Kenapa aku dengar kau sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar?”
     “Namaku Aryabajageni, tapi aku penjelmaan guruku, karena Syekh Siti Jenar tidak pernah mati dan tidak bisa mati.” Kalimat itu terdengar sangat tegas. “Karebet, satu hal yang harus kau tahu kalau kau belum tahu, almarhum ayahmu dibunuh Sunan Kudus…”
     Karebet  mendadak disergap ketegangan baru. Sejak kecil ia sudah diboyong dari Kadipaten Pengging ke Padukuhan Tingkir oleh Nyai Ageng Tingkir. Ia hanya tahu ia pindah dan diangkat sebagai anak oleh Nyai Ageng Tingkir karena ia akan mendapatkan kehidupan yang lebih tenang. Ia tidak pernah tahu di Pengging keadaannya tidak tenang. Ia juga tidak pernah tahu kalau Ayahnya sedang berselisih paham dengan Istana Demak Bintoro. Ia juga tidak pernah tahu kalau Ibu kandungnya begitu menderita setelah kematian ayahnya dan akhirnya meninggal dunia.
     Ia hanya tahu bahwa ia anak Nyai Ageng Tingkir, seorang saudagar paling kaya di padukuhan Tingkir. Ia dibesarkan di lingkungan yang sangat memanjakan dirinya. Semakin dewasa ia semakin paham bahwa ia berbeda dengan Nyai Ageng Tingkir yang dianggap Ibunya. Ia tidak suka dagang sama sekali. Ia hanya suka dengan ilmu kanuragan. Kemudian Ibunya membayar seorang guru silat di desa itu. Karebet hanya bertahan tiga hari. Guru silat itu hanya mencari uang dan bukan sungguh-sungguh mengajarinya ilmu kanuragan.
     Sampai kemudian dia suka pergi ke tempat-tempat sepi dan diajari bertapa. Ia sudah lupa siapa yang mengajarkannya. Sepertinya ia ditunjukkan jalannya begitu saja. Semakin dewasa, ia semakin banyak bepergian. Bertemu siapa saja dan mendapatkan ilmu kanuragan berbagai macam. Sampai kemudian ia sampai di padukuhan Pingit, dan di bukit Siaul ini telinganya panas mendengar siapa yang membunuh almarhum ayahnya.
     Ia menatap Aryabajageni.
     “Sudah sepantasnyalah kau tunjukkan baktimu sebagai anak, Karebet,” kata Aryabajageni menegaskan lagi. “Mintalah keadilan dan pertanggungjawaban Sunan Kudus.”
     Siapa Sunan Kudus?
     Mendengar namanya saja baru kali ini.
     “Kenapa aku harus percaya padamu?” tanya Karebet dingin.
     “Aku satu-satunya yang berani bicara ini padamu. Kakekmu adalah Pangeran Handayaningrat, keturunan Prabu Brawijaya terakhir yang bertahkta di kerajaan Agung Majapahit….”
     Karebet diam mendengarkan.   
     “Ayahmu ditakuti Sultan Demak karena mempunyai banyak pengikut, maka dia disingkirkan dengan cara yang keji.” Aryabajageni terus bicara. “Kau harus ingat Karebet, apa yang didapat Ayahmu adalah kematian yang menyakitkan. Sampai Ibumu tidak kuat menanggung kesedihan dan akhirnya juga meninggal!!”
     Karebet mukanya memerah. “Ayo kita bertarung di luar!!!” Suaranya mengguntur menahan luapan amarahnya. Penjelasan Aryabajageni memang membuatnya  tertarik. Tapi isi kepalanya semakin dipenuhi berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi kalap.
     Aryabajageni tetap tersenyum. Tidak marah sama sekali. “Buat apa kita bertarung? Kita tidak bermusuhan. Aku hanya ingin mengingatkanmu supaya kau tidak lupa asal usulmu!”
     “Hidupku adalah urusanku. Kau tidak punya hak apapun ikut campur!”
     “Jangan sampai kau menjadi anak durhaka, Karebet. Jangan khawatir, aku selalu akan membantumu. Begitu juga sebaliknya, kau bisa ikut menyebarkan ajaran guru besar Syekh Siti Jenar seperti Ayahmu.”
     “Rupanya kau hanya memanfaatkan aku.” Karebet mengepalkan tangannya. “Kita tentukan saja, apakah kau bisa menyuruhku.” Karebet berbalik jalan.
     “Aku tidak mau.”
     Karebet terus berjalan.
     Aryabajageni menatap pemuda itu. “Kau merasa jauh lebih hebat daripada Senopati Demak yang aku kirim mayatnya itu?”
     Karebet berhenti. Menoleh.
“Aku lebih hebat daripada dia.” Lalu terus berjalan keluar. Tapi pintu didepannya langsung menutup dengan sendirinya. Karebet merasa pertempurannya akan berlangsung didalam ruangan.
     “Sudahlah, Karebet. Kau boleh melanjutkan perjalananmu pulang. Tinggalkan saja padukuhan ini.”
     “Aku akan melanjutkan perjalananku, kalau kau juga sudah pergi dari sini.”
     “Kau tidak mungkin mau membantu orang-orang padukuhan yang bodoh itu.”
     “Aku sudah berjanji kepada mereka.”
     Aryabajageni tertawa. “Kau persis Ayahmu.”
     “Jangan bawa nama Ayahku!”
     “Tapi kita tidak mungkin berhadapan sebagai musuh.”
     “Selama kau tidak meninggalkan padukuhan ini, kita akan tetap bermusuhan.” Karebet menatap lelaki bermuka aneh itu. “Kalau kau tidak mau melawanku sekarang, aku tunggu sampai kapan kau siap.”
     Karebet pergi.
     Aryabajageni tetap tersenyum dan membiarkan pemuda itu pergi.
     (bersambung)

No comments: