NYAI Ageng Tingkir memeluk Karebet
lama sambil menangis. Airmatanya membanjiri kulit pipinya yang mulai keriput.
Tidak biasanya wanita itu menangis seperti itu. Memeluk anaknya seperti baru
berpisah puluhan tahun. Karebet membiarkan Ibunya menangis dan memeluknya.
Padahal mereka baru berpisah tidak lebih dari limapuluh hari. Ia biasa pulang
dari menyepi dan bertapa dan sambutan Ibunya biasa saja. Tapi kali ini lain.
Air mata Ibunya seperti tidak bisa berhenti. Tapi Karebet berusaha memahami
bahwa Ibunya sangat menyayangi dirinya. Hanya mereka berdua yang masih saling
memiliki.
Nyai Ageng Tingkir
duduk dan setelah bisa mengendalikan tangisnya, ditatapnya wajah Karebet dengan lama, seolah Karebet akan
hilang dari hadapannya.
“Aku takut tidak bisa
melihatmu lagi,” kata Nyai Ageng Tingkir terbata. “Sudah hampir tujuh hari
terakhir ini aku bermimpi kalau kamu kesulitan mendaki sebuah gunung, Karebet.
”
“Saya toh kembali dalam
keadaan sehat wal afiat, Kanjeng Ibu.”
“Umur manusia bukan
kita yang menentukan, tapi kamu satu-satunya yang aku miliki, Karebet.”
Tangis Nyai Ageng
kembali pecah.
Karebet diam.
“Ibu
tidak melarangmu mencari ilmu dengan meniru orang menyepi di gunung, hutan dan
goa-goa, Karebet,” kata Nyai Ageng Tingkir lagi dengan pelan. “Tapi orang-orang
itu belum menganut agamanya Kanjeng Nabi. Lebih baik kamu berguru kepada orang
mukmin.”
“Maafkan
kalau yang saya lakukan, membuat Kanjeng Ibu tidak berkenan,” jawab Karebet
sopan. “Tapi apa yang saya lakukan selama ini, karena saya ingin mendapatkan
pegangan hidup saya.”
“Berpeganganlah
kamu dengan agama Allah.” Nada Nyai Ageng Tingkir meninggi. “Ibu banyak kenal
guru agama yang sudah dalam ilmunya. Kamu tinggal pilih dimana kamu akan
belajar kepada mereka.”
“Saat
ini, keinginan saya ingin bertemu Sunan Kudus.”
Nyai
Ageng Tingkir menatap Karebet dengan rasa kaget yang besar. “Apa maksudmu,
Karebet?”
“Saya
ingin meminta keadilan kepada Sunan Kudus.”
“Ya
Allah, keadilan apa?” Begitu tinggi nada Nyai Ageng Tingkir sampai harus
berdiri.
“Saya ingin meminta
keadilan atas kematian ayahanda Kebo Kenongo.”
Kekagetan
Nyai Ageng Tingkir berubah mejadi kemarahan. “Siapa yang menghasutmu untuk
berbuat kurangajar seperti itu? Kamu tahu siapa Kanjeng Sunan Kudus?” Nyai
Ageng Tingkir bertanya tapi kemudian menjawabnya sendiri, “Beliau itu orang suci. Kanjeng Sultan Demak saja
sangat menghormatinya.”
“Kalau
memang beliau orang suci, kenapa harus membunuh?”
Nyai
Ageng Tingkir terdiam. Lama. Jelas sekali ia menahan kemarahannya yang
tiba-tiba memuncak di kepalanya. Ia tahu anaknya tidak akan memulai sesuatu
kalau tidak karena disebabkab sesuatu.
“Aku
marah mendengarmu mengatakan soal ini.”
“Kenapa
kanjeng Ibu harus marah?” Karebet tidak paham dengan sikap Ibunya. “Saya hanya
ingin mendapatkan jawaban yang tidak saya ketahui soal kematian ayahnda Kebo
Kenongo. Apakah salah mencari kebenaran?”
“Carilah
kebenaran, tapi jangan soal kematian ayahandamu.”
“Kenapa
saya tidak boleh mendapatkan kebenaran?” Karebet semakin tidak paham jalan
pikiran Ibunya. “Kalau saya tidak bisa mendapatkan jawaban dari Sunan Kudus,
dari siapa lagi saya mesti tahu masa lalu saya?”
“Dari
Kanjeng Sunan Kalijaga,” jawab Nyai Ageng Tingkir tenang.
“Ah kenapa
segala hal yang menyangkut saya harus bertanya kepada Kanjeng Sunan Kalijaga?”
“Apa
maksudmu?”
“Sewaktu
saya di gunung Telomoyo, saya mendapatkan mimpi aneh dan oleh Mbah Marjo saya
disuruh menemui Kanjeng Sunan Kalijaga untuk mendapatkan tafsir mimpi itu.”
“Jadi
kamu sudah bertemu Kanjeng Sunan Kalijaga?”
“Belum.
Beliau sudah pergi saat saya datang.” Karebet kembali meneruskan, “Sewaktu saya
di desa Pingit, saya bertemu Ki Buyut Jayadi yang mengaku dulu bekerja kepada
ayahanda kebo kenongo di Pengging dan mengatakan didatangi kanjeng Sunan
Kalijaga dan berpesan agar saya menemui beliau.”
“Memang
sudah waktunya kamu menemui Kanjeng Sunan Kalijaga, Karebet.” Nyai Ageng
Tingkir nampak jadi cerah mukanya. “Ya,inilah waktunya kamu bertemu beliau
seperti pesan beliau beberapa tahun yang lalu.”
“Beberapa
tahun yang lalu?”
“Saat
kamu berumur limabelas tahun, Kanjeng Sunan Kalijaga datang menemuiku dan
mengatakan, kalau suatu waktu kamu sudah mendapatkan isyarat dari langit kamu
harus menemui beliau.”
“Isyarat
dari langit?”
“Ya. Isyarat itu bisa berupa mimpi, bisa
berupa tanda yang lain.” Nyai Ageng Tingkir menatap Karebet. “Mimpimu yang kau
dapatkan di bukit Telomoyo aku yakin isyarat dari langit.”
“Saya
belum paham, kanjeng Ibu.”
“Temuilah
Kanjeng Sunan Kalijaga. Kamu akan mendapatkan semua jawaban atas semua
pertanyaan yang ada dibenakmu. Beliau ingin kamu menjadi muridnya.”
“Tapi saat ini saya hanya ingin
mendapatkan penjelasan tentang kematian Ayahanda Kebo Kenongo kepada Sunan
Kudus.”
“Demi
Allah, Karebet, temuilah Kanjeng Sunan Kalijaga dan lupakan bertemu kanjeng
Sunan Kudus.”
Nyai Ageng Tingkir sama
sekali tidak menyangka. Setelah sekian lama ia biarkan anaknya mengembara,
bertapa di berbagai daerah, tapi setelah pulang menginginkan sesuatu yang
diluar jangkauan pemikirannya. Sunan Kudus adalah panglima perang Kerajaan
Demak, seorang ulama besar. Tidak bisa bertemu setiap waktu dan tentu saja
mustahil untuk bisa bertemu begitu saja membuat janji. Tapi Karebet mengatakan
keinginannya seperti ia menginginkan bertemu dengan kepala desa.
Yang
lebih tidak dimengerti Nyai Ageng Tingkir, darimana Karebet mengetahui bahwa
Sunan Kudus yang bertanggung jawab atas kematian Ki Ageng Kebo Kenongo alias Ki
Ageng Pengging. Mungkin ia bertemu seseorang, batinnya.
“Sebaiknya
kamu istirahat, Karebet.”
Karebet
melihat sikap Ibunya yang tiba-tiba berubah. Ia tahu Ibunya marah tapi
kelihatan ada sesuatu yang sangat mengganggunya. Ia yakin Ibunya tidak
menyangka ia mempunyai permintaan bertemu Sunan Kudus. Ia sendiri merasa bahawa
rasa penasarannya harus terjawab. Barangkali Aryabajageni bermusuhan dengan
kerajaan Demak, tapi keterangan tentang keluarganya membuatnya terus menerus
terganggu. Ia tidak mau menyakiti hati Ibunya dengan bertanya masa lalunya.
Tapi rasa penasarannya harus terjawab.
Kalau
masih bertemu Mbah Marjo, mungkin akan menyuruhnya minta petunjuk Sunan
Kalijaga. Tapi ia sekarang harus menjawab teka-teki ini dengan caranya sendiri.
Ia tidak peduli dengan Sunan Kalijaga. Ia mempunyai tanggung jawab atas
hidupnya sendiri. Ia tidak tahu akan menjadi apa kelak, tapi sekarang ia hanya
ingin mendapatkan jawaban atas segenap pertanyaan di kepalanya.
Dadung
Awuk masuk ke kamar Karebet begitu saja.
“Bet,
aku banyak ditanya sama Nyai Ageng.”
“Soal
apa?”
“Dikira
aku yang menghasut kamu meminta bertemu kanjeng Sunan Kudus. Memangnya kamu
kepingin bertemu kanjeng Sunan Kudus?”
“Ya.”
“Tapi
saya ikut kalau bener kamu mau bertemu Kanjeng Sunan Kudus, Bet.”
“Kanjeng
Ibu tanya apalagi?”
“Ya
tanya kamu bertemu siapa memangnya?”
“Kamu
jawab apa?”
“Bertemu
Aryabajageni.”
“Terus?”
“Nyai
Ageng tanya siapa Aryabajageni.”
“Terus?”
“Aku
jawab, orang gila.”
“Sok
tahu.”
“Lha
kan memang orang itu gila. Pembunuh guru ngaji. Masa saya bilang orang
suci.”
Karebet
tidak menginginkan Ibunya terlibat dalam masalahnya. Tapi ia tahu, tidak
mungkin Ibunya tinggal diam. Ibunya sangat menyayanginya. Apapun masalah yang
terjadi dengan Karebet, Ibunya selalu terlibat. Barangkali merepotkan, tapi
Nyai Ageng terlalu banyak berharap kepada Karebet.
(bersambung)
4 comments:
tolong di update dong kelanjutannya :D
aku suka banget cerita ini :D
Lanjutkan cerita nya gan....
Sayang yaaa .... Sampai 2018, sambungannya belum ada, padahal ceritanya sangat menarik -- bikin penasaran.
Mna kelanjutanya boss.saya sdh menunggu2 dri 2thn yg lalu.
Post a Comment