Sunday, January 18, 2009

ILUSTRASI STRUKTUR DRAMATIK DAN KONSTRUKSINYA


Sebagai ilustrasi pembahasan struktur dramatik scenario, berikut akan dibahas scenario film yang ditulis Asrul sani (almarhum) berjudul TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH yang disutradarai Chaerul Umam.
Berikut ini adalah Basic Story-nya :

Ibrahim adalah santri muda yang diperintahkan gurunya untuk menjadi guru agama di sebuah kampung yang jauh terpencil bernama Batu Hampar. Setelah sampai di kampung itu, Ibrahim menemukan keganjilan-keganjilan. Ia bertemu Sulaiman sebagai satu-satunya guru agama di kampung itu, tapi betapa Sulaiman seorang guru yang munafik. Tidak bisa berbuat apapun dibawah kekuasaan Harun, orang paling kaya di kampung, serta Arsyad seorang pemuda yang menonjol dan sombong. Ibrahim dapat merasakan kampung berada pada kekacauan akibat ulah Harun dan Arsyad. Seorang gadis bernama Halimah telah menjadi korban kesewenangan mereka. Terutama Arsyad yang ditolak cintanya oleh Halimah. Orang-orang kampung juga membenci Halimah sebagai aib karena dituduh pernah diperkosa serdadu Belanda.

Ibrahim memulai usahanya memerangi kebatilan tersebutdengan modal keimanan. Ia mendapat rintangan dari Sulaiman, Harun dan Arsyad. Puncak rintangannya adalah Saleha, istri Harun yang selalu merayunya. Sampai kemudian ibrahim difitnah oleh Saleha telah memperkosanya. Ibrahim diadili oleh orang sekampung. Halimah yang berusaha menolongnya tak berrarti apa-apa dan tak merubah keputusan harun untuk memenggal kepala Ibrahim. Saat itulah dating musyafir tua yang pertama kali dijumpai ibrahim saat menuju kampung itu. Musafir tua itulah yang membuktikan baha Ibrahim tidak bersalah. ****


Berikut ini akan saya cuplikan beberapa scene dari sKenario asli TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH. Saya hanya akan menuliskan 2 scene yang saya anggap mewakili keseluruhan ceritanya.

SCENE 6.EXT. JALAN DEKAT MASJID - PAGI

IBRAHIM naik sepeda. Waktu sampai di tempat yang agak sepi ia berhenti, lalu menyandarkan sepedanya ke sebatang pohon. Ia melepaskan ikatan sebuah botol yang berisi air dan sebuah caan (mangkok) dari alumunium lalu minum. Distang sepeda itu juga diikatkan sebuah karung kecil dari kain belacu (bekas karung terigu) berisi beras. Tapi kemudian ia mendengar suara seorang lelaki tua mengucapkan salam.

LELAKI TUA
Assalamu’alaikum!

IBRAHIM
Alaikumsalam!

Ibrahim duduk. Dan waktu orang tua itu mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengannya, Ibrahim berdiri. Orangtua itu mengenakan peci resam, brbaju gunting cina sedangkan celananya terbuat dari kain merekan sepanjang setengah lutut (dibawah lutut tapi tak sampai kemata kaki:sampai ke betis), sedangkan sehelai kain pelekat terlilit dipinggangnya. Dibahunya ia menyandang sebuah kampil beras yang sudah hampir kosong. Ibrahim bergeser sedikit dari tempatnya untuk memberikan tempat bagi orangtua itu dibagian yang kelindungan baying-bayang. Orangtua itu berjalan menggunakan sebuah tongkat, biarpun ia kelihatannya sehat dan kuat. Tongkat itu lebih banyak merupakan alat mainan tangan daripada sesuatu yang ia perlukan untuk bertopang. Rupanya ia baru sarapan pagi.

IBRAHIM
Bapak mau kemana?

ORANGTUA
Ke Tanjung Beringin.

IBRAHIM
Sehari perjalanan dari sini. Bapak akan
Kemalaman dijalan. Antara tempat ini
Dan Tanjung Beringin tidak ada kampung.

ORANGTUA
Tidak apa. Saya biasa tidur dibawah
Kolong langit.

IBRAHIM
Apakah bapak mau menjenguk keluarga disana?

ORANGTUA
Tidak. Saya berjalan dari kampung ke
Kampung. Kalau ada ulama besar di kampung
itu saya belajar, kalau tidak saya mengajar.
Anak mau kemana?

IBRAHIM
Ke Batu Hampar.

Orangtua itu terdiam sebentar, lalu ia berkata sambil tercenung.

ORANGTUA
Rakyat di kampung itu seperti laying-
layang putus

IBRAHIM
Kenapa pak? Disana mengajar Haji Sulaiman.

Orangtua itu diam tidak menjawab

ORANGTUA
Nanti anak akan lihat sendiri. Ah, sudah
Turun matahari.Saya mau terus.

Ibrahim memandang ke kampil beras orangtua yang sudah hampir kosong itu.

IBRAHIM
Sebentar pak.

Ia berdiri mengambil kampil berasnya dari ikatan sepedanya dan kemudian menuangkan isinya kedalam kampil beras kepunyaan orantua itu.

IBRAHIM
Hanya ini yang dapat saya berikan.

ORANGTUA
Alhamdulillah. Semoga Allah melindungimu.

Kedua mereka bersalaman. Orantua itu mengucapkan salam lalu pergi meninggalkan tempat itu. Ibrahim memperhatikannya sebentar lalu menaiki sepedanya.

107. EXT. TIKUNGAN JALAN - PAGI
Ibrahim menaiki sepedanya. Tanpa ia ketahui ia melewati Lelaki Tua (di scene atas Orangtua- penulis) yang sedang asyik dengan sarapan paginya, duduk sambil membakar singkong dan sedang ngopi.

LELAKI TUA
Ibrahim!

Ibrahim mendengar. Ia seolah mengenali suara itu. Lalu ia menghentikan sepedanya. Ketika ia melihat siapa yang menegurnya, ia mengangguk hormat.

LELAKI TUA
Kau mau kemana?

IBRAHIM
Mau kembali.

LELAKI TUA
Kau tidak bisa lagi meninggalkan kampung ini

IBRAHIM
Aku harus belajar bayak…

LELAKI TUA
Kau baru saja lulus sekolah. Mereka percaya
Padamu. Kalau kamu pergi mereka akan jadi
Kapan tanpa nakoda. Kau telah menyelamatkan
Kampung dari dosa.

IBRAHIM
Aku seorang guru Pak. Yang mereka
Perlukan adalah pemimpin.

LELAKI TUA
Setiap muslim adalah pemimpin bagi
sesamanya. Berat nak, tapi terimalah itu
sebagai amanat Tuhan yang kau bawa dari
rahim ibumu.

Orangtua itu berkata sambil mengemasi barang perlengkapan kelananya. Selesai memberesi segalanya

LELAKI TUA
Assalamualaikum.

LElaki Tua itu pergi.
Ibrahim tak mampu melawan kebenaran kata-kata yang diucapkan oleh lelaki Tua itu. Dipandanginya kepergian orangtua ituyang kian menjauh, sampai tak terlihat lagi.
Dengan kemantapan hati seorang muslim. Ibrahim memutar arah sepedanya, mengarah ke kampung kembali.

Selesai.****


TITITAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH adalah sebuah cerita yang serius. Hal tersebut sudah dimulai dari judulnya. Suatu perlambang perjuangan melewati ujian yang kelewat mustahil. Sebuah cerita religius yang tidak jatuh menjadi verbal. Cerita ini bicara moral, bukan melulu tentang khotbah Firman Tuhan atau sekadar menggambarkan orang sembahyang atau sedang mengaji Al Qur’an atau orang bersorban dan berjilbab. Inilah sikap orang beragama yang benar.

Bangunan ceritanya menguat. Mulai dari opening gaya bertuturnya menganut pola AB-AB atau garis lurus. Stuktur dramatiknya tertata dengan pelan tapi pasti dan terus menanjak konfliknya menuju klimaks. Konflik sebagai unsure utama cerita merupakan konflik besar yang berkembang membesar. Jenis konflik hitam putih yang dihadapkan pada konflik situasional dan social. Unsur seperti curiosity, suspense dan identifikasi hadir melengkapi bangunan cerita dengan cermat.

Curiosity muncul ketika tokoh Halimah hadir sebagai gadis yang selalu kelihatan ketakutan sambil membawa sangkar burung, serta tokoh Ibrahim yang dihadapkan pada persoalan rumit dan harus mencari jalan keluarnya seorang diri. Suspense muncul ketika Ibrahim sepertinya tidak menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapinya. Ibrahim tetap sebagai manusia biasa yang mempunyai ketakutan menghadapi masalah yang tengah dihadapinya. Ia harus berjuang seorang diri di suatu tempat yang asing. Apalagi tokoh-tokoh antagonis trus diberi ruang sehingga persoalannya sulit diduga kapan selesainya dan seperti apa jenis penyelesaiannya nanti. Identifikasi muncul pada tokoh Ibrahim sebagai sosok pejuang seorang diri, Sulaiman sebagai seorang Haji yang munafik, tokoh halimah yang selalu kalah. Bukankah mereka tokoh yang selalu ada disekitar kita.

Konflik yang ditawarkan mempunyai arti penting bagi tokoh-tokoh yang terlibat dan pemecahan masalahnya membawa perubahan penting bagi tokoh-tokohnya dan lingkungan dimana peristiwa tersebut terjadi.

Konflik berawal dari konflik Ibrahim dengan kampung Batu Hampar sebagai konflik situasional, yang berkembang menjadi konflik-konflik:
- konflik ibrahim dengan warga (konflik social)
- konflik ibrahim dengan Sulaiman
- Konflik Ibrahim dengan Arsyad
- Konflik ibrahim dengan Harun
- Konflik Ibrahim dengan Saleha
- Konflik Ibrahim dengan Halimah

Sebelum kedatangan Ibrahim ke Kampung Batu Hampar, konflik sudah terjadi di tempat itu. Konflik itu adalah:
- Konflik Halimah dengan warga kampung
- Konflik Halimah dengan Arsyad
- Konflik Saleha dengan Harun

Satu budaya yang bisa ditangkap dari sifat konflik film ini adalah bahasa yang diucapkan oleh para tokohnya. Yang paling mudah orang menebaknya adalah logat Sumatra. Pola dramatik yang dipakai scenario film ini adalah struktur tiga babak. Penyusunan opening yang cermat dan mengurai konfliknya dengan matang dan menyelesaikannya dengan menjaga emosi yang rapi dan tidak buru-buru sehingga pada hasil akhirnya kita mendapatkan perenungan yang dalam setelah selesai menontonnya.

Catatan: Mendapat piala citra sebagai skenario terbaik FFI tahun 1983

No comments: