Tuesday, January 20, 2009

MENGENANG ASRUL SANI


Pada hari-hari terakhir hayatnya, Asrul Sani sempat mengutarakan kekecewaannya ketika melihat tayangan program televisi kepada Mutiara istrinya. "Tidak ada lagi penulis (skenario) yang bagus," katanya. Beliau meninggal 11 januari 2004. Itu kenapa saya ingin mengenang beliau karena moment bulan januari ini.

Soal siapa Asrul Sani, semua sudah tahu sejak duduk di bangku sekolah dasar, juga tidak perlu rasanya saya membeberkan lagi kebesaran nama dan karya-karyanya karena anak-anak SD pun pasti hafal diluar kepala. Saya hanya ingin mengenangnya sebagai penulis scenario saja karena wilayah itu yang saya tahu. Fakta bahwa Asrul Sani adalah penulis skenario ‘paling’ berkualitas yang pernah dimiliki Indonesia. Itulah mengapa menjelang akhir hayatnya beliau sangat prihatin dan kecewa karena beliau merasa belum ada penerus penulis scenario yang berkualitas.

Pertama kali Asrul Sani menulis bukan scenario langsung tapi dialog dari scenario yang dibuat Usmar Ismail berjudul Lewat Djam Malam, tahun 1954, sebuah film tentang ‘perjuangan nasional’ yang kelak tema ini akan banyak mewarnai karya Asrul Sani sewaktu masih muda. Pada tahun 1959, beliau menulis scenario sendiri –yang sangat bagus-- Titian Serambut Dibelah Tujuh, sebuah interpretasi atas novel Hamka, yang bercerita tentang pertentangan generasi muda dan tua Islam. Di tahun 1969, beliau menulis scenario dan menyutradari Apa yang Kau Tjari, Palupi? yang konon merupakan salah satu capaian terbaiknya.

Asrul Sani menulis skenarionya pada sebuah gagasan/konsep. Dimana beliau membuat skenario dengan gaya bercerita modern yang disebut sebagai struktur tiga babak. Gaya penceritaan ini ditandai terutama oleh karakter individual, ruang dan waktu yang jelas, sebab dan akibat yang jelas, cita-cita protagonist menggerakkan plot, konflik yang dibangun atas dasar motivasi psikologis, dan penutup. Unsur-unsur ini hampir bisa dikatakan tidak ada dalam film-film Indonesia praperang sebelum Asrul Sani terjun ke dunia film.

Sebagai perintis dan penulis skenario terbaik yang dimiliki film Indonesia, Asrul Sani bisa dianggap yang tidak hancur melawan ‘kelampauan’. Melihat skenario-skenario yang telah beliau tulis, sangat kelihatan bahwa Asrul Sani adalah pembaru bagi zamannya. Ia menulis skenario dengan sistem narasi modern, dengan tema-tema yang dipilih secara saksama dan personal, dengan pengembangan karakter yang khas dan cara penceritaan yang mengalir.

Melihat perkembangan film Indonesia –juga sinetron, belum muncul penulis scenario yang menonjol yang bisa diharapkan berkualitas. Karena saat ini yang terjadi adalah fase kebingungan, dimana yang akan diambil adalah jalan paling aman. Perkembangan teknologi, banjirnya ide dari belahan dunia –Hollywood, Bollywood, Taiwan, Korea, Jepang-- membuat anak-anak muda Indonesia kembali memaknai film sebagai sesuatu yang lebih bersifat permukaan daripada esensi. Tidak ada penulis yang mandiri, yang mampu keluar dari trend atau latah. Bolehlah soal factor Produser diikutsertakan, tapi rasanya identitas harus tetap dipegang. Bukan soal idelaisme akan tetapi bagaimana berani mandiri ditengah badai trend atau latah yang terjadi.

Akhirnya pelajaran penting dari Asrul Sani adalah keberaniannya untuk konsisten, menceritakan dirinya-sendiri. Tanpa bisa menjadikan film sebagai medium ekspresi dan alat bercerita, niscaya generasi ini akan kehilangan sejarah dan yang lebih penting dari itu adalah, tidak akan muncul pengganti Asrul Sani sebagai penulis scenario film Indonesia yang berkualitas.

1 comment:

Anonymous said...

beliau memang penulis skenario the best indonesia